NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: sedang berlangsung
Genre:Dunia Lain
Popularitas:393
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kota Perbatasan

Tiga hari setelah penyergapan di hutan, rombongan kecil Edrick tiba di kota perbatasan Windmere. Kota itu dikelilingi dinding batu rendah, pasar terbuka di pintu gerbang, dan bendera kerajaan berkibar di menara jaga.

Namun bahkan sebelum mereka masuk, jelas bahwa kabar api biru sudah sampai lebih dulu.

Rakyat berkumpul di jalanan, berbisik-bisik sambil menatap Edrick. Beberapa berlutut, beberapa menatap dengan curiga, dan beberapa lagi menyingkir seolah ia membawa penyakit.

Seorang anak kecil berani maju, membawa bunga liar. “Pangeran Hale… tolong lindungi kami dari bayangan.”

Edrick turun dari kudanya, menerima bunga itu, dan menaruhnya di pelana. “Aku akan menyalakan api selama kalian berani berdiri di bawah cahayanya.”

Sorak kecil terdengar, tapi di balik kerumunan, mata-mata mengintai.

Di penginapan kota, mereka akhirnya bisa beristirahat. Tapi Selene segera mengangkat kepalanya dari mangkuk sup. “Ada bisikan sihir di sini. Dinding penginapan ini… mendengarkan.”

Alden menggebrak meja. “Sial. Bahkan di kota kecil pun mata-mata Malrik sudah menunggu.”

Edrick menatap bunga liar di pelana kuda lewat jendela. “Bukan hanya Malrik. Mata mahkota juga ada di sini. Mereka ingin melihat apakah api biru adalah berkah… atau kutukan.”

Malamnya, kota mendadak gaduh.

Asap hitam merayap dari lorong-lorong. Orang-orang berteriak, kabur ke alun-alun.

Edrick, Selene, dan Alden segera keluar. Di tengah kota, sesosok tinggi berjubah hitam berdiri, membawa tongkat yang bergetar dengan energi gelap.

“Pangeran Hale!” suaranya bergema. “Malrik menawarimu jalan. Serahkan pedang itu, dan kami biarkan kota ini hidup. Tolak… dan api birumu akan membakar mereka semua.”

Edrick melangkah maju, Ashenlight menyala. “Api biru bukan untuk menyerah. Api ini untuk melawan kegelapan. Kalau kau ingin kota ini… kau harus melewatinya.”

Jubah hitam mengangkat tongkat. Dari tanah, bayangan merangkak, membentuk makhluk-makhluk menyerupai serigala, matanya merah menyala.

Rakyat berteriak panik, berlarian.

Pertempuran pecah di jalan kota.

Alden menebas serigala bayangan, pedangnya berkilat di bawah bulan. Selene mengangkat tongkat, mantra cahaya menghantam makhluk-makhluk itu hingga buyar.

Edrick menantang jubah hitam langsung. Pedang biru melawan tongkat hitam, setiap benturan meledakkan pecahan batu jalanan.

“Kau bukan pahlawan!” teriak jubah hitam. “Kau hanya percikan api yang akan padam!”

Edrick mendorongnya mundur, api biru membakar tanah. “Kalau aku padam… maka aku akan padam setelah membakar seluruh bayangan menjadi abu!”

Dengan tebasan keras, Ashenlight memutus tongkat hitam itu dua. Jubah hitam menjerit, tubuhnya hancur jadi asap.

Makhluk-makhluk bayangan lenyap, menyisakan kota yang porak poranda tapi masih berdiri.

Rakyat keluar dari persembunyian, menatap Edrick. Beberapa berlutut, beberapa bersorak, dan sebagian hanya terdiam dengan ketakutan.

Selene menoleh pelan. “Kau lihat? Api biru membuat mereka berdoa… atau membuat mereka gemetar. Tidak ada di antaranya.”

Edrick memandang bunga liar di pelana kudanya yang masih segar meski malam penuh asap. “Kalau mereka berdoa, aku harus jadi jawaban. Kalau mereka gemetar… aku harus membuat mereka berdiri.”

Malam setelah pertempuran di Windmere, rombongan beristirahat di menara pengawas kota. Api unggun kecil menyala, tapi cahaya biru Ashenlight diselubungi kain agar tidak menarik perhatian lagi.

Selene tidur ringan di dekat jendela, tongkatnya di pangkuan. Alden berdiri berjaga di pintu, pedang disandarkan di bahunya.

Edrick sendiri duduk sendirian, memandang pedangnya.

Api biru itu bergetar… lalu berbisik.

“Hale… Hale Dvorak…”

Suara itu bukan suara ayahnya, bukan suara manusia. Dalamnya dingin, bergema seolah datang dari dalam bumi.

Edrick terdiam, menggenggam gagang pedang. “Malrik.”

“Kau sudah menyalakan lilinmu… tapi lilin sekecil itu tidak bisa mengusir malam. Bergabunglah denganku. Bayangan tidak akan melawanmu… bayangan akan tunduk.”

Edrick mengepal. “Kau ingin aku jadi alatmu.”

“Alat? Tidak. Aku ingin kau jadi pewaris sejati. Api biru bukan milik mahkota emas, bukan milik rakyat. Itu milikmu. Dengan api itu… kau bisa jadi raja bukan hanya Arvendral. Kau bisa jadi raja atas segala negeri.”

Tangan Edrick bergetar. Suara itu menusuk pikirannya, mengingatkan pada penghinaan bangsawan, eksekusi ayahnya, semua luka yang ia simpan.

“Lihat mereka,” suara itu mendesak. “Mereka bersorak padamu, lalu bergetar ketakutan padamu. Mereka tidak akan pernah menerima api biru. Mereka akan membakarmu di tiang pancang jika bukan karena takut. Jadi, mengapa kau masih berjuang untuk mereka?”

Edrick berdiri, menatap keluar jendela. Kota Windmere terlelap, tapi bekas pertempuran masih ada: dinding hangus, jalan retak.

“Karena mereka butuh cahaya,” gumamnya pelan.

Suara itu tertawa rendah, seperti angin di gua kosong. “Cahaya? Api biru bukan cahaya. Api biru adalah luka. Luka yang diwariskan darahmu. Luka yang bisa kau gunakan untuk membakar dunia… atau membakar dirimu sendiri.”

“Edrick?”

Suara Selene memecah keheningan. Ia berdiri, menatapnya dengan mata letih tapi tajam. “Kau mendengar sesuatu, ya?”

Edrick menoleh, napasnya berat. “Malrik… dia bicara padaku. Tidak lewat utusan, tidak lewat bayangan. Langsung.”

Alden masuk cepat, wajahnya menegang. “Apa yang dia katakan?”

Edrick menatap api biru, lalu menjawab lirih. “Dia menawariku dunia.”

Keheningan jatuh di ruangan. Selene memandangnya lama, lalu berkata pelan, “Dan apa jawabanmu?”

Edrick menggenggam Ashenlight, menatap ke dalam api biru yang bergetar. “Jawabanku… belum.”

Malam itu di Windmere belum benar-benar tenang. Setelah suara Malrik hilang dari benaknya, Edrick baru saja hendak memejamkan mata ketika pintu kamarnya diketuk pelan.

Bukan Alden, bukan Selene. Suara asing berbisik dari balik pintu.

“Pangeran Hale… aku datang bukan sebagai musuh. Aku membawa pesan dari ayahmu.”

Edrick langsung menggenggam Ashenlight. “Buka pintumu sendiri, atau aku tebas dari dalam.”

Pintu terbuka perlahan. Seorang pria berjubah abu-abu masuk, wajahnya sebagian tertutup topeng logam tipis. Gerakannya tenang, bukan seperti pembunuh.

Ia membungkuk rendah. “Aku utusan pribadi Raja Aldric. Tidak ada nama, hanya pesan.”

Selene muncul dari kamar sebelah, tongkat sihir di tangannya. “Utusan yang tidak bernama… itu cara lain untuk bilang kau tidak boleh dipercaya.”

Pria itu tersenyum samar di balik topeng. “Kepercayaan bukan urusanku. Pesan ini hanya untuk sang putra.”

Alden masuk, menutup pintu rapat, pedang terhunus. “Bicara cepat sebelum aku bosan dan mengiris lidahmu.”

Pria itu menatap Edrick. “Raja Aldric tahu kau menuju ke selatan. Dia tahu pula bahwa bayangan sudah berusaha menghalangimu… tapi dia juga tahu bahwa ada tangan bangsawan yang ikut mengincarmu.”

Edrick menatap tajam. “Dan ayahku mengirimmu untuk… apa? Memperingatkan? Mengancam?”

Pria itu mengeluarkan gulungan kecil dari jubahnya, disegel lilin emas dengan lambang singa mahkota. Ia meletakkannya di meja, lalu mundur selangkah.

“Baca sendiri. Kata-kata ini ditulis oleh tangan raja, untukmu.”

Edrick membuka gulungan itu. Tulisan tegas memenuhi perkamen:

“Hale, darahku. Dunia tahu kau membawa api yang bukan milikku. Dunia tahu kau memegang senjata yang bukan dibuat oleh mahkota. Kau akan datang ke istana, dan di sana aku akan menanyakan satu hal: apakah kau masih putraku, ataukah kau sudah menjadi sesuatu yang lain? Pilihlah dengan hati-hati. Mahkota tidak berbagi cahaya dengan api. – Aldric.”

Ruangan itu hening.

Selene meremas tongkatnya. “Dia tidak menuliskan undangan. Dia menuliskan peringatan.”

Alden mendengus. “Atau lebih tepatnya, ancaman.”

Edrick menatap huruf-huruf itu lama, lalu berkata pelan, “Bahkan ayahku sendiri… melihatku bukan sebagai anak. Hanya sebagai api yang harus dia padamkan.”

Pria bertopeng itu melangkah mundur ke pintu. “Pesan sudah kusampaikan. Hidupmu sekarang tergantung pada jawaban yang akan kau bawa ke istana. Tapi ingatlah ini: tidak semua yang duduk di singgasana benar-benar ingin kau padam.”

Ia membuka pintu, lalu menghilang ke malam, seolah ditelan kabut.

Edrick menatap gulungan di tangannya. Api biru di pedangnya bergetar pelan, seakan menunggu keputusan.

“Kalau mahkota tidak bisa berbagi cahaya dengan api,” gumamnya, “maka aku akan jadi cahaya yang membakar mahkota, atau yang membuatnya berlutut di bawahku.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!