NovelToon NovelToon
Kodasih, Nyi Ratu Kelam

Kodasih, Nyi Ratu Kelam

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Hantu
Popularitas:11k
Nilai: 5
Nama Author: Arias Binerkah

Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.

Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.

Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik


Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 28.

Satu per satu mereka menghilang.

Bukan melarikan diri. Tak ada jasad. Mereka semua terhapus, dari kenyataan. Diseret ke tempat asing, tempat arwah seperti Tuan Menir bersemayam.

Tak ada darah. Tapi bau besi menusuk udara.

Nyi Kodasih masih membacakan mantra. Bibirnya berdarah. Tubuhnya berguncang hebat. Tapi ia tak henti, melantunkan matra mantra , kata kata sakti yang membakar langit.

Mbok Piyah menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya membelalak tanpa kedip, tubuhnya mengejang.

Sanah tergeletak di lantai, pingsan.

Tinggal satu yang tersisa.

Perwira Jepang itu berdiri sendiri. Ia mengangkat pistolnya, menembak ke arah bayangan.

Dor! Dor!

Peluru hanya menembus kehampaan.

Ia mundur selangkah, lalu membeku.

Sesuatu berbisik di telinganya. Suara asing.

Bahasa Belanda.

Bukan Jepang.

“Deze lodge is niet van jou”

Loji ini... bukan milik kalian.

Dan dalam sekejap, tubuhnya terangkat dari lantai. Tergantung tanpa tali.

Lehernya menekuk perlahan, seolah dipelintir oleh tangan tak kasat mata.

"AAAAAAAAAAHHH!!!"

Jeritannya meledak, lalu hening.

Tubuhnya jatuh seperti boneka kain, kosong. Tak berjiwa. Tubuh Perwira Jepang itu pun lenyap, hanya meninggalkan asap.

Hening.

Asap menipis.

Yang tertinggal hanya aroma dupa, peluh, dan kematian.

Nyi Kodasih terkapar di bawah foto besar Tuan Menir. Tubuhnya masih bergerak pelan, tapi sorot matanya kosong. Ia telah menjadi medium...

Perlahan, cahaya kembali masuk lewat jendela yang terbuka.

Ruang tengah itu kembali terang.

“Nyi...”

suara Mbok Piyah lirih. Bibirnya gemetar. Ia bangkit perlahan dan berjalan mendekati Nyi Kodasih.

“Air putih... ambilkan aku air putih,” ucap Nyi Kodasih datar.

“Baik, Nyi...” jawab Mbok Piyah, sedikit lega karena Nyi Kodasih masih bisa bicara.

“Dan bakar lagi kemenyan di altar... di kamarku.”

“Ngih, Nyi. Sendiko dawuh...” Mbok Piyah segera berbalik.

Tiba-tiba, dari pintu utama loji, muncullah Pak Karto, Pardi, dan para pegawai lelaki loji.

Pardi berlari paling depan.

“Sanah!”

teriaknya panik melihat kekasihnya tak sadarkan diri.

“Nyi, di mana tentara tentara Jepang tadi? Maaf... kami sempat ingin masuk, tapi pintu terkunci rapat. Kami tak bisa membukanya,” ucap Pak Karto. Wajahnya pucat, ketakutan dan cemas dimarahi Nyi Kodasih.

Nyi Kodasih bangkit perlahan, lalu duduk bersila di bawah foto Tuan Menir.

“Mereka lenyap... menjadi asap, tanpa perlu dibakar,” ucapnya dingin, menatap Pak Karto yang masih bingung.

Ia lalu menoleh ke arah Pardi yang sedang membantu Sanah siuman.

“Sanah tidak apa-apa. Ia hanya pingsan karena takut. Serdadu Jepang itu tak sempat menyentuhnya.”

Pardi menelan ludah. Lalu dengan suara pelan, penuh hati-hati, ia berkata,

“Maaf, Nyi... Ampuni saya kalau perkataan ini lancang...”

“Katakan.”

suara Nyi Kodasih pelan, namun tajam.

“Saya dan Sanah... mohon izin keluar dari loji untuk sementara waktu, Nyi. Kami ingin menikah...”

Nyi Kodasih menatap mereka tajam.

“Apa kalian masih takut tinggal di loji ini? Kalian lihat sendiri... aku masih berkuasa di tempat ini.”

Pardi tercekat. Sanah menunduk.

“Ka... kami...”

suara Pardi bergetar.

“Tidak perlu pergi dari loji ini,” potong Nyi Kodasih. “Kalian akan menikah di sini. Di loji ini.”

“Aku yang akan menyelenggarakan pestanya. Undang keluarga kalian. Biar semua orang tahu... loji ini aman.”

Ia tersenyum tipis.

“Dan Kodasih, adalah pemiliknya.”

Langkah Mbok Piyah terdengar pelan namun tergesa. Di tangannya, segelas air putih hampir tumpah karena gemetar.

Ia mendekat sambil menunduk, meletakkan gelas itu di hadapan Nyi Kodasih, yang masih duduk bersila di bawah foto Tuan Menir. Wajah Nyi Kodasih pucat, tapi sorot matanya telah kembali. Tegas, berwibawa, namun jauh. Seperti masih separuhnya berada di dunia lain.

“Airnya, Nyi...” bisik Mbok Piyah lirih.

Nyi Kodasih tak segera meraih. Ia menatap gelas itu lama. Lalu, dengan tangan gemetar ringan, ia angkat dan teguk perlahan. Hanya seteguk. Sisanya ia guyurkan ke tanah di depannya.

“Untuk penyejuk roh yang berkeliaran...” gumamnya lirih.

Mbok Piyah mengangguk paham, lalu berbalik arah. Ia tahu perintah berikutnya: kemenyan di altar kamar.

Ia berjalan melewati para pegawai yang masih berdiri bingung di ambang pintu. Beberapa dari mereka menyingkir memberi jalan, tapi tak satu pun berani membuka mulut.

Beberapa saat kemudian, dari arah kamar di ujung lorong loji, kepulan asap putih mulai mengepul. Harumnya kemenyan menyebar cepat, mengusir bau kematian dan mesiu yang masih menggantung di udara.

Aroma itu... hangat, pedas, dan menyengat mistis.

Perlahan, loji tua itu kembali terasa seperti semula. Namun tidak sepenuhnya.

Pardi memeluk Sanah yang kini sudah duduk bersandar di dinding. Ia menatap sekeliling dengan mata masih sembab.

Pak Karto mengusap wajah, seperti menepis sisa mimpi buruk.

Sementara itu, Nyi Kodasih menunduk. Bibirnya mulai bergerak pelan. Tak lagi mengucap mantra. Kali ini, hanya doa.

Mata foto Tuan Menir di atasnya seakan ikut menatap seluruh ruangan. Diam. Tapi hadir.

Dari loteng terdengar lagi nada piano dimainkan, meskipun hanya sebentar .. Seperti hanya ingin menyampaikan kalau dia masih berada di dalam loji ini.

🌸🌸🌸

Sementara itu di dusun Akarwangi.

Angin pagi berembus pelan menembus dinding bambu rumah kecil berdiri di ujung kebun singkong. Lantainya tanah padat, dingin dan lembap, mengabarkan musim hujan yang belum juga berakhir.

Di dapur yang remang, tanpa jendela dan pintu ditutup rapat. Tiyem duduk bersimpuh di atas tikar anyaman pandan. Wajahnya pucat, mata cekung menahan kantuk dan lapar. Di depannya, bonggol pisang setengah busuk ia iris pelan-pelan untuk dijadikan sayur.

Di dekat tungku, seorang perempuan setengah baya bertubuh kurus, rambutnya digelung asal-asalan, sedang meniup api untuk merebus singkong. Ia adalah ibunya, yang biasa dipanggil Simbok.

“Si Mbok juga ora nyangka, Yem... Belanda bisa kalah perang. Tuan Menir itu, yang dulu galak e kayak setan, sekarang malah dihukum mati sama pasukan kita,” gumam Simbok lirih, seolah khawatir dinding bambu bisa mengadu.

Tiyem menggenggam pisau lebih erat. Suaranya gemetar saat bicara, “Iya, Mbok... aku melihat sendiri Tuan Menir arwahnya gentayangan di loji. Aku takut... Apalagi katanya tentara Jepang mau rebut loji itu. Tapi yang paling aku takutkan sebenernya bukan itu, Mbok...”

Ucapan Tiyem terhenti. Ia menatap langit-langit rumah yang hanya ditopang bambu bambu tua, tak ada plafon, hanya gelap dan sarang laba-laba. Sinar matahari mengintip dari celah celah genting.

Simbok menoleh. “Apa, Nduk? Opo sing paling kok wedi? Kena marah Nyi Kodasih?”

“Kang Pono, Mbok...” jawab Tiyem lirih. Ia menoleh ke arah pintu, matanya waspada. Di luar sana, angin berhembus, gemersik suaranya menggoyang pepohonan bambu.

Simbok menyipitkan mata. “Kang Pono kenapa? Masih gandrung karo Nyi Kodasih kuwi?”

“Aku ora ngerti, Mbok. Hati manungsa ora iso diwaca. Tapi kemarin... aku lihat dia ikut membantu ritual Nyi Kodasih. Setelah itu, Kang Pono mulutnya keluar cairan ireng, kaya lendir gosong... terus dia mendadak bisu. Orang orang bilang, dia mau ditarik ke alam gaib... dijadikan tumbal, mungkin...”

“Husss! Ojo ngapusi, Yem! Opo kamu ora wedi ngomong koyo ngono?” tegur Simbok dengan suara rendah, tapi tajam.

Sebelum Tiyem bisa membalas, mereka berdua serentak menoleh.

Dari luar, terdengar suara langkah kaki mendekat... pelan, tapi pasti.

Tiyem refleks menoleh ke arah sumber suara..

1
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ
aduh ruwet.. 😥 ini baru nayu kudasi kolab sama menil ya blom ketemu sama gusti junjungan nya yg suka pelil 🙄
Ai Emy Ningrum: sudahlah ceu jgn merendahkan diri meninggikan mutu...😙 kelen berdua ini sama2 kuat potensinya sebagey ratu typo ,tp lebih kuatan mbak @💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒 siy 😚
total 9 replies
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ
kasian tiyem kalau jadi korban 😥
Ai Emy Ningrum: tiyum online 😘😚😙
total 3 replies
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ
wiiih... 😱😱
Ai Emy Ningrum: nah iya...bisa buat bom cabe lawan kumpeni nti kan /Bomb//Bomb//Bomb/
total 10 replies
☠ᵏᵋᶜᶟ Қiᷠnꙷaͣŋͥ❁︎⃞⃟ʂ⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔
serem banget tapi penasaran 🤭
Cindy
lanjut
Cindy
lanjut kak
YuniSetyowati 1999
Masih ada manusia yg tinggal saja aura rumah dan kamar2nya sehoror itu apalagi jika di kosongkan.Seandainya Loji itu nyata,pasti serem banget auranya.
YuniSetyowati 1999: Iyo 😅
total 2 replies
YuniSetyowati 1999
Kodasih masih jadi manusia biasa saja sudah serem.Apalagi saat sudah jadi dukun mumpuni.Tumnal orang yang mencintai dengan tulus mungkin tumbal pertama Kodasih jadi agak berat di pikiran tp setelah itu pasti tumbal2 berikutnya akan berjatuhan dengan entengnya.
Ai Emy Ningrum: kopi nya kak 😚☕
total 3 replies
YuniSetyowati 1999
Benar mbok.Ikatan tuan menir dan nyi Kodasih tak kan terputus.Ikatan yang terikat tanpa tali pengikat takkan pernah bisa terputus.Ikatan yg telah mengikat hati tanpa ada hati.Ikatan yang telah mengikat cinta tanpa cinta.Dan ikatan yang telah mengikat jiwa dengan sesuatu yang tak bisa diterima dengan akal sehat.
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ
kek nama ratu Belanda istrinya menir
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ: generasi penerus jurig 👻🏃🏻‍♀️🏃🏻‍♀️🏃🏻‍♀️
total 12 replies
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ
kek mana bayangan tersenyum..🤔
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ: /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 4 replies
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒
hayoo siapa yg memamgil mu tiyem

nahh dag dig duga lah kau tiyemm
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒: lha jelas kan dia lagi cinta sm kang pono wkwkwkk
total 2 replies
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒
waduhh mau ngapain yaa
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒: bajar bebek enakp tuh mbk ning
total 2 replies
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒
lhoo aneh kenapa
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒
tp 7 hari 7 malem kok udh ada ygbke situ pula apa g gagal yaa
Its just a lunch
ganti cover ya thor...😄💪
Arias Binerkah: diganti Ntoon Kak, cover yang aku buat tak menarik 🙈🙈
total 1 replies
☠ᵏᵋᶜᶟ Қiᷠnꙷaͣŋͥ❁︎⃞⃟ʂ⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔
serem ya udah meninggal aja masih aja gentayangan 🤭
YuniSetyowati 1999
Tuan Menir pasti tidak mengijinkan.Karena jiwanya sudah terikat di Loji tersebut.
YuniSetyowati 1999
Kidung Asmorodono kidung cinta yang membara.Penafsiran arti kidung Asmorodono tergantung dari yang melantunkan/menyanyikan & yang mendengar.Ada yg menafsirkan perasaan cinta yang membara kepada sang pencipta,ada yang menafsirkan perasaan cintanya yg menyala2 pd lawan jenis.
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒: yoo wis ok lah kyo ne sak ono wae
total 3 replies
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒
jangan menatap klo ditatap watu batuke yo jebol too gessss🤣🤣🤣

jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!