Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 28.
Satu per satu mereka menghilang.
Bukan melarikan diri. Tak ada jasad. Mereka semua terhapus, dari kenyataan. Diseret ke tempat asing, tempat arwah seperti Tuan Menir bersemayam.
Tak ada darah. Tapi bau besi menusuk udara.
Nyi Kodasih masih membacakan mantra. Bibirnya berdarah. Tubuhnya berguncang hebat. Tapi ia tak henti, melantunkan matra mantra , kata kata sakti yang membakar langit.
Mbok Piyah menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya membelalak tanpa kedip, tubuhnya mengejang.
Sanah tergeletak di lantai, pingsan.
Tinggal satu yang tersisa.
Perwira Jepang itu berdiri sendiri. Ia mengangkat pistolnya, menembak ke arah bayangan.
Dor! Dor!
Peluru hanya menembus kehampaan.
Ia mundur selangkah, lalu membeku.
Sesuatu berbisik di telinganya. Suara asing.
Bahasa Belanda.
Bukan Jepang.
“Deze lodge is niet van jou”
Loji ini... bukan milik kalian.
Dan dalam sekejap, tubuhnya terangkat dari lantai. Tergantung tanpa tali.
Lehernya menekuk perlahan, seolah dipelintir oleh tangan tak kasat mata.
"AAAAAAAAAAHHH!!!"
Jeritannya meledak, lalu hening.
Tubuhnya jatuh seperti boneka kain, kosong. Tak berjiwa. Tubuh Perwira Jepang itu pun lenyap, hanya meninggalkan asap.
Hening.
Asap menipis.
Yang tertinggal hanya aroma dupa, peluh, dan kematian.
Nyi Kodasih terkapar di bawah foto besar Tuan Menir. Tubuhnya masih bergerak pelan, tapi sorot matanya kosong. Ia telah menjadi medium...
Perlahan, cahaya kembali masuk lewat jendela yang terbuka.
Ruang tengah itu kembali terang.
“Nyi...”
suara Mbok Piyah lirih. Bibirnya gemetar. Ia bangkit perlahan dan berjalan mendekati Nyi Kodasih.
“Air putih... ambilkan aku air putih,” ucap Nyi Kodasih datar.
“Baik, Nyi...” jawab Mbok Piyah, sedikit lega karena Nyi Kodasih masih bisa bicara.
“Dan bakar lagi kemenyan di altar... di kamarku.”
“Ngih, Nyi. Sendiko dawuh...” Mbok Piyah segera berbalik.
Tiba-tiba, dari pintu utama loji, muncullah Pak Karto, Pardi, dan para pegawai lelaki loji.
Pardi berlari paling depan.
“Sanah!”
teriaknya panik melihat kekasihnya tak sadarkan diri.
“Nyi, di mana tentara tentara Jepang tadi? Maaf... kami sempat ingin masuk, tapi pintu terkunci rapat. Kami tak bisa membukanya,” ucap Pak Karto. Wajahnya pucat, ketakutan dan cemas dimarahi Nyi Kodasih.
Nyi Kodasih bangkit perlahan, lalu duduk bersila di bawah foto Tuan Menir.
“Mereka lenyap... menjadi asap, tanpa perlu dibakar,” ucapnya dingin, menatap Pak Karto yang masih bingung.
Ia lalu menoleh ke arah Pardi yang sedang membantu Sanah siuman.
“Sanah tidak apa-apa. Ia hanya pingsan karena takut. Serdadu Jepang itu tak sempat menyentuhnya.”
Pardi menelan ludah. Lalu dengan suara pelan, penuh hati-hati, ia berkata,
“Maaf, Nyi... Ampuni saya kalau perkataan ini lancang...”
“Katakan.”
suara Nyi Kodasih pelan, namun tajam.
“Saya dan Sanah... mohon izin keluar dari loji untuk sementara waktu, Nyi. Kami ingin menikah...”
Nyi Kodasih menatap mereka tajam.
“Apa kalian masih takut tinggal di loji ini? Kalian lihat sendiri... aku masih berkuasa di tempat ini.”
Pardi tercekat. Sanah menunduk.
“Ka... kami...”
suara Pardi bergetar.
“Tidak perlu pergi dari loji ini,” potong Nyi Kodasih. “Kalian akan menikah di sini. Di loji ini.”
“Aku yang akan menyelenggarakan pestanya. Undang keluarga kalian. Biar semua orang tahu... loji ini aman.”
Ia tersenyum tipis.
“Dan Kodasih, adalah pemiliknya.”
Langkah Mbok Piyah terdengar pelan namun tergesa. Di tangannya, segelas air putih hampir tumpah karena gemetar.
Ia mendekat sambil menunduk, meletakkan gelas itu di hadapan Nyi Kodasih, yang masih duduk bersila di bawah foto Tuan Menir. Wajah Nyi Kodasih pucat, tapi sorot matanya telah kembali. Tegas, berwibawa, namun jauh. Seperti masih separuhnya berada di dunia lain.
“Airnya, Nyi...” bisik Mbok Piyah lirih.
Nyi Kodasih tak segera meraih. Ia menatap gelas itu lama. Lalu, dengan tangan gemetar ringan, ia angkat dan teguk perlahan. Hanya seteguk. Sisanya ia guyurkan ke tanah di depannya.
“Untuk penyejuk roh yang berkeliaran...” gumamnya lirih.
Mbok Piyah mengangguk paham, lalu berbalik arah. Ia tahu perintah berikutnya: kemenyan di altar kamar.
Ia berjalan melewati para pegawai yang masih berdiri bingung di ambang pintu. Beberapa dari mereka menyingkir memberi jalan, tapi tak satu pun berani membuka mulut.
Beberapa saat kemudian, dari arah kamar di ujung lorong loji, kepulan asap putih mulai mengepul. Harumnya kemenyan menyebar cepat, mengusir bau kematian dan mesiu yang masih menggantung di udara.
Aroma itu... hangat, pedas, dan menyengat mistis.
Perlahan, loji tua itu kembali terasa seperti semula. Namun tidak sepenuhnya.
Pardi memeluk Sanah yang kini sudah duduk bersandar di dinding. Ia menatap sekeliling dengan mata masih sembab.
Pak Karto mengusap wajah, seperti menepis sisa mimpi buruk.
Sementara itu, Nyi Kodasih menunduk. Bibirnya mulai bergerak pelan. Tak lagi mengucap mantra. Kali ini, hanya doa.
Mata foto Tuan Menir di atasnya seakan ikut menatap seluruh ruangan. Diam. Tapi hadir.
Dari loteng terdengar lagi nada piano dimainkan, meskipun hanya sebentar .. Seperti hanya ingin menyampaikan kalau dia masih berada di dalam loji ini.
🌸🌸🌸
Sementara itu di dusun Akarwangi.
Angin pagi berembus pelan menembus dinding bambu rumah kecil berdiri di ujung kebun singkong. Lantainya tanah padat, dingin dan lembap, mengabarkan musim hujan yang belum juga berakhir.
Di dapur yang remang, tanpa jendela dan pintu ditutup rapat. Tiyem duduk bersimpuh di atas tikar anyaman pandan. Wajahnya pucat, mata cekung menahan kantuk dan lapar. Di depannya, bonggol pisang setengah busuk ia iris pelan-pelan untuk dijadikan sayur.
Di dekat tungku, seorang perempuan setengah baya bertubuh kurus, rambutnya digelung asal-asalan, sedang meniup api untuk merebus singkong. Ia adalah ibunya, yang biasa dipanggil Simbok.
“Si Mbok juga ora nyangka, Yem... Belanda bisa kalah perang. Tuan Menir itu, yang dulu galak e kayak setan, sekarang malah dihukum mati sama pasukan kita,” gumam Simbok lirih, seolah khawatir dinding bambu bisa mengadu.
Tiyem menggenggam pisau lebih erat. Suaranya gemetar saat bicara, “Iya, Mbok... aku melihat sendiri Tuan Menir arwahnya gentayangan di loji. Aku takut... Apalagi katanya tentara Jepang mau rebut loji itu. Tapi yang paling aku takutkan sebenernya bukan itu, Mbok...”
Ucapan Tiyem terhenti. Ia menatap langit-langit rumah yang hanya ditopang bambu bambu tua, tak ada plafon, hanya gelap dan sarang laba-laba. Sinar matahari mengintip dari celah celah genting.
Simbok menoleh. “Apa, Nduk? Opo sing paling kok wedi? Kena marah Nyi Kodasih?”
“Kang Pono, Mbok...” jawab Tiyem lirih. Ia menoleh ke arah pintu, matanya waspada. Di luar sana, angin berhembus, gemersik suaranya menggoyang pepohonan bambu.
Simbok menyipitkan mata. “Kang Pono kenapa? Masih gandrung karo Nyi Kodasih kuwi?”
“Aku ora ngerti, Mbok. Hati manungsa ora iso diwaca. Tapi kemarin... aku lihat dia ikut membantu ritual Nyi Kodasih. Setelah itu, Kang Pono mulutnya keluar cairan ireng, kaya lendir gosong... terus dia mendadak bisu. Orang orang bilang, dia mau ditarik ke alam gaib... dijadikan tumbal, mungkin...”
“Husss! Ojo ngapusi, Yem! Opo kamu ora wedi ngomong koyo ngono?” tegur Simbok dengan suara rendah, tapi tajam.
Sebelum Tiyem bisa membalas, mereka berdua serentak menoleh.
Dari luar, terdengar suara langkah kaki mendekat... pelan, tapi pasti.
Tiyem refleks menoleh ke arah sumber suara..
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk