NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:524
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25. Diantara cinta dan pengabdian

Dua hari kemudian, kabar kedatangan kapal Mandalapura menggema ke seluruh istana. Prabu Harjaya memerintahkan seluruh penghuni kerajaan bersiap menyambut. Dari pelabuhan besar di tepian laut selatan, suara gong dan tabuh gamelan menggema, menandakan kehormatan bagi para tamu yang datang dari jauh.

Kapal besar berlayar perlahan menuju dermaga, layar putihnya berkibar megah menampakkan lambang Garuda Emas — simbol Mandalapura. Di atas dek, Raden Kusumanegara, putra mahkota Mandalapura, berdiri tegap dengan jubah kebesaran biru tua berlapis emas. Wajahnya tampan dan tegas, namun tatapannya tajam menembus riuh sambutan rakyat Samudra Jaya. Raden Arya dan Panglima Aruna menyambut di tepi dermaga. Ketika kapal merapat dan tangga diturunkan, Kusumanegara menuruni dek perlahan, memberi hormat.

“Salam damai dari Mandalapura untuk saudara kami, Samudra Jaya,” katanya lantang.

Raden Arya menjawab dengan senyum hormat. “Selamat datang, Raden Kusumanegara. Negeri kami merasa terhormat atas kehadiran paduka.” Di sisi lain, Aruna menunduk sopan, tapi matanya menatap lekat — bukan dengan permusuhan, melainkan rasa waspada yang tak bisa disembunyikan. Dalam hatinya, ia tahu pertemuan ini akan membawa badai besar bagi Samudra Jaya... dan bagi hatinya sendiri.

Sore itu, ketika rombongan kembali ke istana membawa tamu kehormatan, Putri Dyah menyambut mereka dari serambi utama. Saat mata Raden Kusumanegara menatapnya untuk pertama kali, waktu seolah berhenti. Sang pangeran tersenyum anggun, sementara di balik senyum itu, tumbuh sesuatu yang tak bisa dijelaskan — kekaguman yang kelak berubah menjadi obsesi. Dan di belakang kerumunan, Panglima Aruna berdiri diam, menatap dua sosok itu dari jauh. Hatinya terasa berat, tapi ia tahu... pertempuran yang sesungguhnya baru saja dimulai.

Raja Harjaya dan seluruh anggota kerajaan Samudra Jaya menyambut Raden Kusumanegara dengan sangat ramah semua di jamu dengan sangat baik. Raja Harjaya mengajak sekutunya ke pendopo agung disana sudah tersedia jamuan khas dari Samudra Jaya, bukan hanya Raden Kusumawijaya saja tapi seluruh rombongan dari Mandalapura disambut dan dijamu dengan baik. Selir pertama Dyah Ratnadewi sangat kagum dengan sopan santun Pangeran Mandalapura itu. Di tengah pendopo, Raden Kusumanegara duduk dengan sikap tenang, setiap ucapannya penuh tata krama dan wibawa.

Raja Harjaya, yang duduk di singgasananya, tersenyum puas melihat tamunya dari Mandalapura itu. “Kau sungguh mencerminkan darah biru yang sesungguhnya, Raden Kusumanegara,” ucapnya dengan nada hangat. “Samudra Jaya berbangga bisa menyambutmu di istana ini.”

Raden Kusumanegara menundukkan kepala hormat. “Baginda terlalu memuji. Hamba hanya berusaha memberi hormat sebagaimana sepatutnya tamu beradab.” Sikapnya yang lembut dan tutur katanya yang sopan membuat banyak mata terpesona, terutama dari barisan para bangsawan wanita yang duduk di sisi pendopo. Selir pertama, Dyah Ratnadewi, yang duduk bersebelahan dengan Raja Harjaya, tersenyum lembut sambil berbisik kecil pada pelayannya,

“Lihatlah betapa sopannya pangeran itu. Tak hanya tampan, tapi tutur katanya menenangkan hati. Jarang sekali pria yang mampu menundukkan wibawa tanpa meninggalkan kesan lemah.” Bisikan itu tak luput dari telinga Ken Suryawati, selir kedua, yang duduk di sisi berlawanan. Ia mengangkat alis dan mengaduk minumannya perlahan, lalu berucap dengan nada manis tapi penuh sindiran,

“Ah, Kakanda Ratnadewi memang selalu pandai menilai seseorang hanya dari paras dan tutur katanya. Tapi bukankah lidah yang lembut bisa juga menyembunyikan niat yang tajam?” Beberapa bangsawan yang mendengar langsung menunduk menahan tawa. Ratnadewi menoleh dengan senyum yang tetap anggun, namun matanya berbinar tajam.

“Adikku Suryawati, tidak semua yang lembut berarti palsu. Ada pula yang lahir dari ketulusan, bukan siasat.”

Ken Suryawati tertawa kecil, menutup mulutnya dengan kipas gading. “Benar, Kakanda. Tapi bunga yang terlalu sering dipuji, kadang lupa bahwa batangnya bisa patah bila tertiup angin.” Suasana meja para wanita istana itu seketika menjadi tegang. Para dayang saling berpandangan, sementara Raden Kusumanegara yang menyadari hawa dingin di belakangnya, memilih tetap menunduk sopan. Ia tak ingin mencampuri urusan batin antar selir, yang lebih tajam dari mata keris sekalipun. Raja Harjaya sempat melirik sekilas, tapi hanya menghela napas panjang. Ia sudah tahu dua selirnya itu memang tak pernah akur, dan tak ada gunanya menengahi—lebih baik membiarkan mereka beradu kata daripada beradu racun. Untuk mengalihkan perhatian, Raden Kusumanegara bangkit dari tempat duduknya dan berkata,

“Ampun Baginda, hamba ingin mengucapkan rasa syukur atas sambutan yang begitu hangat. Tak hanya bagi diri hamba, tapi juga seluruh rombongan Mandalapura.” Raja Harjaya tersenyum bangga, menepuk pundak sang tamu. “Kehormatan bagi kami, Raden. Semoga hubungan Samudra Jaya dan Mandalapura akan seerat darah dalam tubuh sendiri.”

Tepuk tangan kecil terdengar dari para bangsawan. Dyah Ratnadewi menatap pangeran muda itu dengan mata berbinar, jelas terpesona dengan pembawaannya. Sementara Ken Suryawati hanya meneguk airnya, mengulum senyum sinis. Dalam hatinya berdesis, “Lihat saja, Kak Ratna. Kau boleh terpesona sekarang, tapi istana tak butuh bintang yang terlalu bersinar di hadapan raja.” Jamuan berlanjut, musik gamelan mengalun lembut. Namun di antara denting tembaga dan aroma dupa, persaingan diam antara dua selir raja terus bergetar di udara.

Ratnadewi tampak menunduk anggun sambil berbisik, “Kadang, yang paling manis bukan madu, tapi kemenangan kecil di balik senyum.”

Suryawati menatapnya sekilas lalu membalas lirih, “Dan kadang kemenangan itu hanya bertahan sampai raja berpaling.” Sore itu, pesta tetap berjalan dengan anggun. Tapi di antara gemerincing gelas dan tawa halus para bangsawan, tersimpan bara halus di hati dua wanita istana yang akan memicu banyak kekacauan di hari-hari mendatang—bukan hanya di balairung, tapi juga di kamar, dapur, bahkan di hati anak-anak mereka sendiri.

Sementara itu Panglima Aruna menatap Pendopo Samudra Jaya dengan perasaan yang tak menentu, antara cinta terlarang dan baktinya pada negara. Puspa yang melihat kakak sepupunya itu termenung menghampirinya lalu menepuk pundaknya lembut.

“Kakang ada apa? Wajah Kakang tampak murung. Bukankah seharusnya hari ini semua orang bergembira?” Aruna menoleh perlahan, berusaha tersenyum, namun bibirnya hanya bergetar tipis.

“Ah, Puspa... kadang kegembiraan orang lain justru menjadi ujian bagi hati sendiri.” Puspa menatapnya penuh iba. Ia tahu betul bahwa kakaknya itu memendam sesuatu yang berat.

“Apakah ini tentang Putri Dyah?” tanyanya hati-hati. Aruna terdiam sejenak. Matanya kembali menatap ke arah pendopo, di mana Putri Dyah tertawa kecil pada sesuatu yang dikatakan Raden Kusumanegara. Dalam cahaya obor, senyum itu tampak seperti cahaya rembulan di malam gelap—indah, tapi mustahil digapai.

“Aku tidak pernah bermaksud jatuh hati padanya, Puspa,” ucap Aruna perlahan. “Aku hanya ingin menjaga, mengabdi seperti biasa. Tapi hati... hati ini tak selalu tunduk pada perintah tuannya.” Puspa menunduk, jemarinya meremas ujung selendangnya. Ia tahu, cinta seorang prajurit kepada seorang putri bangsawan adalah hal yang tabu — bagaikan burung yang mencintai langit, tapi takkan pernah mampu tinggal di sana.

Aruna melanjutkan dengan suara yang lebih dalam, matanya tak lepas dari sosok pangeran tamu itu.

“Kau lihat dia, Puspa? Pangeran Mandalapura itu... Raden Kusumanegara. Tatapannya kepada sang putri begitu lembut, tapi juga pasti. Dan Putri Dyah membalasnya dengan senyum yang... ah, aku bahkan tak sanggup mengucapkannya. Mungkin begitulah wajah takdir saat mempertemukan dua orang yang sepadan.” Suara Aruna melemah. Ia menunduk, menahan getir yang menyesakkan dadanya.

“Aku sadar, aku bukan siapa-siapa untuknya. Aku hanya prajurit — bahkan bukan bangsawan sejati, hanya pewaris darah panglima yang gugur di medan perang. Tapi setiap kali aku melihatnya, rasanya seperti ada sesuatu di dada ini yang ingin berontak... ingin memohon agar Dewata memberi kesempatan walau sekejap.” Puspa menatap wajah Aruna yang tenggelam dalam bayangan malam. Ada luka yang dalam di matanya, luka yang tak bisa dijahit dengan kata-kata biasa. Ia melangkah lebih dekat, lalu berkata lembut,

“Kakang... kadang cinta memang tak meminta balasan, hanya tempat untuk diam tanpa disalahkan. Mungkin Putri Dyah memang ditakdirkan untuk orang lain, tapi bukan berarti perasaan Kakang sia-sia. Dewata pasti tahu niat baik yang tulus.” Aruna menatapnya sebentar, lalu tersenyum hambar.

“Kau selalu tahu bagaimana menenangkan hati orang lain, Puspa. Tapi apa gunanya ketulusan jika akhirnya hanya melahirkan kesepian?”

“Kesepian bukan berarti kalah, Kakang,” balas Puspa pelan. “Kadang itu cara Dewata mempersiapkan hati kita untuk sesuatu yang lebih layak. Cinta yang tak sampai pun bisa jadi doa yang menguatkan, bukan luka yang menjerat.” Angin malam berhembus lembut, membawa aroma dupa dan wangi bunga kenanga dari taman istana. Dari kejauhan, denting gamelan kembali terdengar lembut, seolah mengiringi sunyi di antara keduanya. Aruna menarik napas panjang, lalu menatap langit yang mulai dipenuhi bintang.

“Mungkin kau benar, Puspa. Tapi tetap saja... rasanya sulit menerima ketika orang lain bisa tersenyum pada sosok yang sama yang membuat hatiku bergetar.”

“Cinta memang tak bisa dibagi rata, Kakang,” jawab Puspa dengan lirih. “Namun bila cinta Kakang tulus, maka biarkan ia menjadi cahaya, bukan bara.”

Aruna menatap adiknya itu lama, lalu tersenyum kecil.

“Kau lebih bijak dari usiamu, Puspa. Andai saja semua hati sekuat hatimu, mungkin dunia ini tak akan penuh air mata.” Puspa tersenyum, meski matanya berkaca-kaca. Ia tahu, cinta yang Aruna rasakan bukan sekadar rasa ingin memiliki, tapi juga luka karena menyadari batasnya. Di kejauhan, Putri Dyah masih tertawa bersama Raden Kusumanegara — dua sosok yang terlihat serasi dalam pandangan siapa pun.

Dan di balik keramaian itu, dua sepupu dari darah sederhana hanya bisa berdiri di antara cahaya dan bayangan, menatap dunia yang seolah diciptakan untuk mereka cintai... tapi bukan untuk mereka miliki.

Malam semakin larut para anggota kerajaan dan bangsawan pun segera kembali pulang. Saat Putri Dyah akan melangkahkan kakinya ke paviliun terdengar suara Raden Kusumanegara memanggilnya, sang Putri pun menghentikan langkahnya.

“Putri kalau boleh, izinkan hamba untuk mengantarkan Putri ke paviliun, ini sudah larut malam dan hamba khawatir jika nanti terjadi apa-apa dengan Putri,” ucap Raden Kusumanegara dengan sopan. Putri Dyah berfikir sejenak lalu melirik Panglima Aruna Yang berdiri tak jauh dari Raden Kusumanegara.

“Ampun Gusti Raden keselamatan Gusti Putri sudah menjadi tanggung jawab hamba,”ucap Panglima Aruna dengan sopan dan hormat, Raden Kusumanegara berbalik menatap Panglima Aruna kemudian melirik sekilas ke arah Putri Dyah dan tersenyum penuh arti.

“Baiklah....aku harap kau menjaga calon istriku dengan baik Panglima,” ucap Raden Kusumanegara dengan sengaja menekankan kata-kata “calon istri” membuat Putri Dyah menunduk gundah.

“Sendika dawuh Gusti,” ucap Panglima Aruna dengan tegas. Putri Dyah pun berjalan kembali ke paviliun diikuti beberapa dayang dan Panglima Aruna sementara Raden Kusumanegara menatapnya dengan pikiran yang tak bisa dibaca.

Sesampainya di paviliun Putri Dyah langsung masuk ke ruangannya dan Panglima Aruna mengantarkan hanya sampai depan pintu tapi saat diambang pintu Putri Dyah menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap Panglima Aruna.

“Pergilah tinggalkan kami berdua,”

Dayang-dayang itu pun undur Diri, Panglima Aruna seperti tahu apa yang akan dibicarakan oleh junjungannya.

“Panglima, masuklah...aku ingin bicara,” ucap Putri Dyah, Sebenarnya Panglima ragu untuk masuk ke ruangan sang putri tapi karena ini titah, mau tak mau dia pun ikut masuk ke ruangan Putri Dyah.

Setelah masuk pintu pun tertutup perlahan, dan didalam sana Putri Dyah meluapkan emosinya memeluk dan memukul-mukul Panglima Aruna, laki-laki itu hanya terdiam pasrah saat Putri Dyah menangis dipelukannya. Putri Dyah memukul dada Panglima Aruna dengan kedua tangannya yang gemetar. Air matanya mengalir deras, membasahi pipi yang biasanya anggun dan tenang di hadapan siapa pun. Namun malam itu, segala wibawa seorang putri kerajaan runtuh di hadapan lelaki yang menjadi sebab dari segala luka di dadanya.

“Kau… kenapa hanya diam tadi, Aruna?!” serunya dengan suara bergetar. “Kenapa kau biarkan dia mengatakan hal itu didepan matamu sendiri? Mengapa kau tidak membantah?!” Panglima Aruna tetap berdiri tegap, menundukkan kepala dalam diam. Napasnya berat, seperti menahan badai di dada. Ia ingin menjawab, ingin berteriak bahwa hatinya pun tersiksa mendengar kata-kata Raden Kusumanegara. Tapi sebagai seorang prajurit, ia tahu batasnya — terutama ketika cinta dan kewajiban saling bertabrakan.

“Aku tidak bisa, Gusti…” ucapnya pelan, suaranya parau.

“Tidak bisa?” Putri Dyah mendengus di sela tangisnya. “Kau lebih memilih diam daripada membela hatimu sendiri? Hatiku, Aruna! Apakah semua ini tidak berarti apa-apa bagimu?!” Tangannya mengepal, lalu memukul dada Aruna lagi — kali ini lebih lemah, karena tangisnya sudah melemahkan seluruh tenaganya.

Panglima Aruna mengangkat tangannya perlahan, menahan jemari sang putri yang gemetar, lalu menggenggamnya lembut.

“Setiap pukulanmu bukan menyakitiku, Gusti,” ucapnya lirih, “tapi menegaskan betapa dalam luka yang harus aku tanggung.” Putri Dyah menatapnya dengan mata merah dan basah. “Kalau begitu kenapa kau tidak melawan takdir itu, Aruna? Kenapa kau biarkan semua orang mempermainkan kita? Apa artinya pengabdianmu kalau hatimu sendiri mati?” Aruna menarik napas dalam, menatap dalam-dalam wajah sang putri yang kini penuh duka.

“Karena tugasku bukan untuk melawan takdir, Gusti. Tugasku adalah menjaga agar Dewata tidak murka pada kerajaan ini. Aku prajurit, bukan pengguling takdir. Dan… cinta yang kita rasakan, seindah apa pun, tetaplah dosa di mata dunia.” Putri Dyah terdiam. Tubuhnya bergetar, bibirnya bergetar menahan sesal.

“Dosa? Cinta tidak pernah berdosa, Aruna. Yang membuatnya berdosa adalah dunia yang kejam. Dunia yang mengukur cinta dari darah dan tahta…”

Aruna menunduk, menahan getir di dadanya. “Aku tahu, Gusti. Dan kalau boleh memilih, aku ingin dunia itu hancur agar aku bisa bersamamu. Tapi aku tidak bisa. Aku hanya punya satu hidup, dan hidup itu telah kupasrahkan pada Samudra Jaya.”

Putri Dyah menatapnya lama, lalu tanpa sadar kembali meraih pelukan Aruna. Di bahu lelaki itu, ia menangis seperti anak kecil yang kehilangan segalanya. Aruna membiarkan dirinya memeluk sang putri, lalu mengangkat tangannya perlahan, menyeka air mata yang mengalir di pipi lembut itu.

“Jangan menangis lagi, Gusti. Air mata yang jatuh dari matamu adalah luka bagiku. Aku ingin melihatmu bahagia… meski bukan denganku.”

“Kau pikir itu menenangkan, Aruna?” suara Putri Dyah nyaris pecah. “Kau pikir kata-kata itu bisa membuatku tenang? Tidak! Itu membuatku semakin tersiksa!” Aruna menatapnya dengan tatapan dalam, yang tak bisa disembunyikan lagi. Cinta, penyesalan, dan pengorbanan bercampur jadi satu.

“Kalau begitu, izinkan aku menanggung semua siksa itu sendirian. Jangan kau tangisi aku lagi. Cintaku akan tetap hidup, meski terkubur oleh kewajiban.” Suasana hening. Hanya suara desir angin malam menembus kisi jendela yang terbuka. Putri Dyah memejamkan matanya, menelan perih yang terlalu besar untuk diucapkan.

“Aku membencimu, Aruna… tapi aku lebih membenci diriku sendiri karena tak bisa berhenti mencintaimu,” bisiknya pelan. Aruna menatap wajah itu sekali lagi, seolah ingin mengukirnya dalam kenangan terakhir. Ia menunduk, menyentuh tangan sang putri, dan menempelkannya di dada sendiri.

“Kalau Gusti ingin tahu di mana tempatmu di hatiku, dengarlah… di sini. Tapi biarkan cinta itu diam di tempatnya. Jangan biarkan dunia mendengarnya.” Putri Dyah tak mampu lagi berkata apa-apa. Ia hanya menangis pelan, membiarkan dirinya bersandar di dada sang panglima — dada yang seharusnya ia miliki, tapi dunia tidak mengizinkan. Dan di luar sana, bulan purnama menggantung pucat di langit Samudra Jaya, menjadi saksi cinta dua jiwa yang terikat takdir untuk saling mencintai — tapi tidak untuk bersatu.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!