NovelToon NovelToon
Miracle Of Love

Miracle Of Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi
Popularitas:388
Nilai: 5
Nama Author: Yulynn

Cerita tentang Dewa dan Dewi Cinta yang awalnya saling mencintai. Mereka bertugas di alam manusia untuk menolong dan meringankan penduduk di bawah bukit cinta. Tetapi semuanya musna ketika Dewi Cinta jatuh cinta kepada manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulynn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 20

[POV Carissa]

Aku tahu, jauh di lubuk hatiku, bahwa Henry adalah satu-satunya. Pria yang selama ini hanya menjadi bayangan di benakku, kini berdiri nyata di hadapanku. Ia bukan sekadar sosok ideal yang kuimpikan, melainkan manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya yang justru membuatnya semakin sempurna di mataku.

Aku ingin mencintainya, sepenuh hati dan tanpa ragu. Aku ingin ia tahu betapa beruntungnya aku bisa mengenalnya, bisa berada di dekatnya, dan bisa menjadi bagian dari hidupnya. Aku ingin ia tahu bahwa ia adalah matahari dalam semestaku, sumber kebahagiaan dan semangatku.

Namun, di sisi lain, rasa takut menghantuiku. Aku takut jika terlalu menunjukkan perasaanku yang sebenarnya, Henry akan merasa terganggu dan risih. Aku takut jika ia akan menjauhiku dan merusak semua yang telah kami bangun selama ini. Aku tidak ingin persahabatan dan kerja sama yang terjalin di antara kami menjadi canggung dan tidak nyaman.

Aku tahu, aku harus berhati-hati dalam bertindak. Aku tidak boleh terlalu terburu-buru atau gegabah. Aku harus menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku. Aku harus memastikan bahwa Henry juga merasakan hal yang sama sebelum aku mengambil langkah selanjutnya.

Namun, terkadang, aku tidak bisa menahan diri. Perasaanku terlalu kuat dan meluap-luap hingga sulit untuk disembunyikan. Aku tidak bisa mengendalikan senyum yang merekah di bibirku setiap kali ia menatapku. Aku tidak bisa menyembunyikan tatapan kagum yang kupancarkan setiap kali ia berbicara. Aku tidak bisa menahan debaran jantungku setiap kali tidak sengaja bersentuhan.

Aku sangat menikmati setiap momen yang kulalui bersamanya. Aku merasa sangat bahagia saat berjalan di lapangan golf, mendampinginya sebagai caddy. Aku bisa bebas menatapnya tanpa harus merasa bersalah. Aku bisa menghapal setiap gesturnya, setiap ekspresinya, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Aku merekam semua itu di dalam otakku secara permanen, agar bisa kuputar kembali kapan pun aku merindukannya.

Aku tahu, aku mungkin terdengar bodoh dan naif. Tapi inilah yang kurasakan saat ini. Aku menyukai Henry, dan aku tidak bisa menyangkalnya lagi. Aku hanya berharap, suatu saat nanti, ia akan merasakan hal yang sama.

***

Bandara Suvarnabhumi menyambut kami dengan kehangatan khas Thailand. Aroma rempah dan masakan yang menggoda langsung menyerbu indra penciumanku, membuat perutku keroncongan tak sabar. Penerbangan yang cukup panjang dari Jakarta ke Bangkok terasa lebih singkat karena aku menghabiskannya dengan mencuri pandang ke arah Henry yang sesekali tertidur pulas di sampingku. Setiap kali ia terbangun, ia selalu tersenyum padaku, membuat jantungku berdebar tak karuan.

“Sudah sampai, ya?” tanyanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur, membuatku semakin gemas.

“Iya, sebentar lagi kita ambil bagasi,” jawabku sambil tersenyum.

Setelah urusan bagasi selesai, kami langsung menuju hotel yang sudah kupesan jauh-jauh hari. Aku sengaja memilih hotel yang dekat dengan pusat kota agar mudah menjangkau berbagai tempat menarik dan jajanan viral di Bangkok.

“Capek banget, ya? Mau langsung istirahat atau mau langsung cari makan?” tanya Henry saat kami sudah berada di lobi hotel.

“Pengennya sih langsung cari makan! Aku udah lapar banget,” jawabku sambil tertawa. “Kamu tahu kan, Thailand itu surganya makanan enak? Aku udah bikin daftar tempat-tempat yang wajib kita kunjungi,” lanjutku dengan semangat.

“Semangat banget keliatannya. Yaudah, kita mandi dulu, terus langsung berangkat. Kamu yang tentuin mau makan apa,” ujar Henry sambil menarik kopernya.

Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, kami langsung keluar hotel dan memulai petualangan kuliner kami di Bangkok. Aku mengajak Henry ke Jodd Fairs, pasar malam yang sedang viral di kalangan wisatawan. Di sana, kami mencoba berbagai macam makanan yang unik dan lezat, seperti Leng Saep (tulang iga babi raksasa dengan kuah pedas), Mango Sticky Rice, Es Krim Kelapa, dan Thai Tea.

“Ini enak.” ujar Henry saat mencicipi Leng Saep. “Pedas, tapi nagih!”

“Iya kan? Aku bilang juga apa! Thailand itu emang surganya makanan enak,” jawabku dengan bangga. Dalam hal ini, harus berterima kasih pada Sarah yang sudah repot membuat itinerary untukku.

Setelah puas berkeliling Jodd Fairs, kami melanjutkan perjalanan ke Yaowarat, atau yang lebih dikenal dengan Chinatown Bangkok. Di sana, kami mencoba berbagai macam hidangan khas Tionghoa yang sudah diadaptasi dengan cita rasa Thailand, seperti Dim Sum, Khao Pad (nasi goreng Thailand), dan Peking Duck.

“Nasi goreng di sini bisa seenak ini,” ujar Henry sambil mengunyah Khao Pad dengan lahap.

“Iya, beda banget sama nasi goreng di Indonesia,” jawabku sambil tertawa.

Selain Jodd Fairs dan Yaowarat, aku juga mengajak Henry ke beberapa tempat jajanan viral lainnya, seperti Chatuchak Weekend Market dan Or Tor Kor Market. Di sana, kami mencoba berbagai macam makanan dan minuman yang unik dan lezat, seperti Pad Thai, Som Tum (salad pepaya), Goy Teow Reua (mie perahu), dan Cha Yen (es teh Thailand).

Setiap kali kami mencoba makanan baru, Henry selalu menatapku dengan tatapan kagum. Aku merasa sangat bahagia bisa berbagi kebahagiaan ini dengannya. Aku berharap, perjalanan kami ke Thailand ini akan menjadi kenangan indah yang tak terlupakan bagi kami berdua.

Setelah seharian menjelajahi Bangkok dan memanjakan lidah dengan berbagai kuliner lezat, kami akhirnya kembali ke hotel dengan langkah gontai. Perut kenyang, hati senang, tapi badan terasa remuk redam.

“Hari ini seru banget!” seruku sambil meregangkan otot-ototku yang kaku.

“Iya, ternyata Bangkok asyik juga. Makasih ya udah ngajakin,” balas Henry sambil tersenyum tulus.

“Sama-sama!” ujarku bersemangat.

Kami berpisah di depan kamar masing-masing. Aku menghela napas lega begitu tubuhku bisa merebah di atas kasur empuk. Rasanya semua penat langsung hilang seketika.

Tak lama kemudian, ponselku berdering. Sebuah pesan dari Henry.

“Udah tidur?”

Aku tersenyum geli. Padahal baru juga lima menit yang lalu kami berpisah.

“Belum. Baru mau merem. Kenapa?” balasku.

“Besok rencananya gimana?”

“Besok kita ke lapangan golf. Aku udah cari info, katanya Alpine Golf & Sports Club itu bagus banget. Lapangannya menantang, pemandangannya juga indah. Cocok buat latihan,” jelasku.

“Oke deh. Aku ikut aja. Jam berapa?”

“Jam 9 pagi ya? Biar nggak terlalu panas,”

“Siap! Makasih ya buat hari ini. Selamat tidur, Carissa,”

“Sama-sama. Aku juga seneng banget. Selamat tidur juga,” balasku dengan senyum mengembang.

Aku meletakkan ponselku di atas nakas dan memejamkan mata.

Pukul sembilan pagi tepat, sebuah taksi berhenti di depan hotel. Aku dan Henry segera naik dan menuju ke Alpine Golf & Sports Club. Pagi ini, Bangkok terasa lebih cerah dan bersahabat.

Sesampainya di lapangan golf, aku terpukau dengan keindahan dan kemegahannya. Lapangan hijau membentang luas dengan pepohonan rindang yang menyejukkan. Udara segar memenuhi paru-paruku, membuatku bersemangat untuk memulai latihan.

Latihan berjalan dengan lancar. Henry tampak sangat menikmati setiap ayunan stick golfnya. Aku pun dengan senang hati mendampinginya, memberikan saran dan semangat.

Di sela-sela latihan, Henry tiba-tiba bertanya, “Eh, Carissa, hewan-hewan di sini ngomongnya bahasa Thailand ya?”

Aku tertawa mendengar pertanyaan polosnya. “Nggak ada hubungannya sama Bahasa, Pak. Ini soal ikatan batin. Aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan, dan mereka pun bisa merasakan apa yang kurasakan,” jelasku.

Henry mengangguk-angguk, mencoba memahami penjelasanku. Aku tahu, pasti masih sulit untuk dipercaya. Tapi aku tidak peduli. Yang terpenting, ia mau menerima diriku apa adanya.

Sore harinya, setelah puas berlatih golf, aku mengajak Henry ke Khao San Road.

Khao San Road menyambut kami dengan hiruk pikuknya yang khas. Jalanan dipenuhi dengan wisatawan dari berbagai negara. Musik mengalun dari berbagai bar dan restoran. Aroma makanan jalanan yang menggoda memenuhi udara. Khao San Road adalah surga bagi para backpacker dan pecinta kehidupan malam.

Aku berjalan menyusuri Khao San Road, mencoba mengingat-ingat letak lapak peramal yang pernah kutemui beberapa tahun lalu. Aku menyipitkan mata, berusaha mengenali setiap sudut jalanan yang ramai.

“Kamu nyari apa sih?” tanya Henry sambil mengikutiku dari belakang.

“Aku lagi nyari peramal yang pernah kutemui di sini dulu. Aku pengen diramal lagi,” jawabku.

“Peramal? Serius?” tanya Henry dengan nada terkejut.

“Iya. Dulu dia pernah meramal aku, dan ada beberapa hal yang kurang jelas. Makanya aku penasaran pengen ketemu dia lagi,” jelasku.

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya aku menemukan apa yang kucari. Di sebuah sudut jalanan yang agak sepi, aku melihat seorang laki-laki tua duduk di belakang meja yang penuh dengan buku dan kertas lusuh. Ia tampak persis seperti peramal yang pernah kutemui dulu.

“Itu dia!” seruku sambil menunjuk ke arah peramal itu.

Aku dan Henry menghampiri peramal itu. Ia menatapku dengan tatapan kosong, seolah tidak mengenaliku.

“Selamat sore,” sapaku dengan bahasa Inggris.

Peramal itu membalas sapaanku dengan bahasa Thai. Aku menoleh ke arah Henry, meminta bantuannya untuk menjadi penerjemah.

“Pak, tolong terjemahin ya. Aku pengen dia meramal aku lagi,” pintaku.

Henry mengangguk dan mulai berbicara dengan peramal itu dalam bahasa Thai. Aku mendengarkan dengan seksama, berharap peramal itu akan memberikan jawaban yang memuaskan.

Henry menjelaskan maksud kedatanganku kepada peramal itu. Awalnya, si peramal tampak ragu, mungkin karena Henry bukan orang Thailand. Namun, setelah Henry memberikan beberapa kalimat pembuka yang sopan dan menghormati, si peramal akhirnya bersedia.

"Dia bilang, dia ingat kamu. Katanya, kamu pernah datang ke sini beberapa tahun lalu," bisik Henry kepadaku.

Aku mengangguk senang. "Suruh dia mulai aja," balasku.

Henry kembali berbicara dengan si peramal. Kali ini, ia menjelaskan bahwa aku ingin diramal tentang masa depanku, terutama tentang jodoh dan karma.

Si peramal mengangguk-angguk, lalu memintaku untuk mengulurkan tangan kananku. Ia menatap telapak tanganku dengan seksama, menggunakan kaca pembesar untuk melihat garis-garis takdir yang terukir di sana.

"Dia bilang, garis hidupmu sangat unik. Ada banyak potensi yang belum kamu sadari," bisik Henry.

Aku menahan napas, menunggu kelanjutan ramalan itu.

"Dia bilang, kamu akan menghadapi banyak pilihan sulit di masa depan. Pilihan-pilihan ini akan menentukan bebas atau tidaknya kutukan yang ada di diri kamu," lanjut Henry.

Aku semakin penasaran. Kutukan apa yang dimaksud? Apakah ini berhubungan dengan ramalan tentang dua jodoh yang pernah kudengar dulu?

"Dia bilang, kamu harus berhati-hati dalam memilih pasangan hidup. Jangan terburu-buru, dan jangan hanya terpaku pada satu orang," bisik Henry.

Jantungku berdegup kencang. Ramalan ini semakin mengarah ke sana.

"Dia bilang, ada dua orang yang sangat mencintaimu. Dari masa lalu, dan dari masa depan. Kamu harus mencari orang itu," lanjut Henry.

Aku terdiam. Mencerna perkataan Henry.

"Dia bilang, pilihanmu akan menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Jika kamu salah memilih, kamu akan kembali di kutuk," bisik Henry.

Aku menelan ludah. Tekanan ini terlalu berat.

"Dia bilang, kamu harus melihat dengan kelebihanmu. Hanya itu yang bisa memberitahumu siapa orang yang terikat denganmu," pungkas Henry.

"Pak, tolong tanyain ke dia, sebenarnya kutukan apa sih yang dimaksud?" pintaku dengan nada penasaran.

Henry mengangguk dan kembali berbicara dengan si peramal. Aku mendengarkan dengan seksama, menunggu jawaban yang akan diberikan.

"Dia bilang, kutukan itu berasal dari orang yang mencintaimu," bisik Henry.

Aku mengerutkan kening. "Maksudnya?" tanyaku bingung.

Henry kembali bertanya kepada si peramal, meminta penjelasan lebih lanjut.

"Dia bilang, kutukan itu muncul karena ada orang yang mencintaimu dengan sangat dalam, tapi cintanya dikhianati. Karena sakit hati yang mendalam, orang itu mengirimkan kutukan kepadamu," bisik Henry.

Aku terkejut mendengar penjelasan itu. Siapa orang yang mencintaiku dengan begitu dalam hingga mengirimkan kutukan kepadaku? Apakah itu Brandon?

"Terus, tanyain juga tentang utang nyawa yang harus kubayar. Gimana caranya aku bisa melunasi utang itu?" pintaku lagi.

Henry kembali bertanya kepada si peramal. Kali ini, ia menanyakan tentang cara melunasi utang nyawa.

"Dia bilang, nyawa tidak harus dibayar dengan nyawa. Utang nyawa bisa dibayar dengan ketulusan dan permintaan maaf yang tulus," bisik Henry.

Aku menghela napas lega. Jadi, aku tidak harus mati untuk melunasi utang nyawa itu.

"Dia bilang, jika orang yang memiliki utang nyawa bersedia memaafkanmu dengan tulus, maka utang itu akan dianggap lunas," lanjut Henry.

Aku mengangguk-angguk, mencoba memahami semua yang dikatakan oleh si peramal. Jadi, aku harus mencari orang yang memiliki utang nyawa kepadaku, dan meminta maaf kepadanya dengan tulus.

Ada satu lagi yang mengganjal. "Pak, tanyain lagi dong. Aku kan nggak tahu aku berutang nyawa sama siapa, dan aku juga nggak tahu siapa yang ngirim kutukan ke aku. Gimana aku bisa minta maaf kalau aku nggak tahu orangnya?"

Henry menghela napas, tapi tetap menurutiku. Ia kembali berbicara dengan peramal tua itu, suaranya rendah dan penuh hormat. Aku menunggu dengan cemas, berharap ada jawaban yang bisa memecahkan kebuntuan ini.

Henry menyampaikan pesan terakhir dari si peramal, "Dia bilang, orang-orang itu sudah ada di garis kehidupanmu. Mereka pasti akan muncul, cepat atau lambat. Suatu hari, kamu akan tahu dengan sendirinya, tanpa perlu mencari. Jalani hidup ini dengan pilihan yang benar, dan kembalilah ke keabadian."

"Kembali ke keabadian? Maksudnya apa?" tanyaku bingung.

Henry mengangkat bahu. "Dia tidak menjawabnya," jawabnya.

Aku terdiam, mencerna kata-kata terakhir dari si peramal. Orang-orang itu akan muncul dengan sendirinya... Aku harus menjalani hidup dengan pilihan yang benar... Kembali ke keabadian... Semuanya terasa misterius dan sulit dimengerti.

Namun, ada satu hal yang pasti. Aku harus percaya pada takdir. Aku harus percaya bahwa semua ini sudah digariskan untukku. Aku harus percaya bahwa aku akan menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menghantuiku.

"Udah, yuk. Kita balik ke hotel. Aku capek banget," ajakku.

Henry tersenyum dan mengangguk. Kami berjalan meninggalkan lapak peramal itu, meninggalkan Khao San Road yang ramai dan bising.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, aku merenungkan semua yang telah terjadi hari ini. Aku bertemu dengan peramal yang pernah meramalku beberapa tahun lalu. Aku mendapatkan petunjuk tentang kutukan dan utang nyawa. Aku mendapatkan keyakinan bahwa aku akan menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menghantuiku.

Malam itu, aku tidur dengan perasaan gelisah. Terpengaruh dengan perkataan peramal tua itu.

1
suhardi wu
ceritanya menarik, gaya bahasanya mudah dimengerti. mantap lah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!