Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 26.
Alina merapatkan pelukannya pada Davin, aroma tubuh suaminya yang menenangkan membuat jiwanya terasa aman. Dalam desahan pelan, ia berbisik. “Mas... kenapa Mbak Viola nggak pernah mau menikah lagi? Aku cuma... penasaran.”
Davin menarik nafas, lalu menatap istrinya lembut namun serius. “Bukan nggak mau, tapi terlalu banyak laki-laki yang datang hanya untuk memanfaatkan. Mereka bersandiwara, menyamar jadi pahlawan... padahal hanya pemburu kesempatan. Untungnya, Mbak Viola sudah terlalu kenyang ditikam oleh cinta yang palsu. Setelah dikhianati begitu dalam, dia tak lagi percaya dengan mudah.”
Alina mengangguk pelan. “Kalau saja masih ada laki-laki seperti Papa Yudistira... atau seperti Mas Davin.”
“Semoga aja masih ada... jodoh tak pernah tertukar, Sayang. Seperti kamu, untukku.”
Sebuah kecupan hangat mendarat di kening Alina, getaran cinta mengaliri ruang batin keduanya. Alina kini telah benar-benar menutup pintu masa lalu. Dalam pelukan Davin, ia telah menemukan rumahnya.
.
.
.
Beberapa hari kemudian di klinik kecil yang sunyi di pinggiran kota, Rama mulai pulih. Meski dokter sempat menyarankan pemindahan ke rumah sakit besar demi perawatan optimal, Rama menolak dengan keteguhan yang tak bisa dibantah.
“Mbak Gendis… kamu baik-baik saja hari ini?” tanyanya mendadak.
Gendis yang tengah memeriksa infus, menoleh cepat. "Memangnya saya kenapa, Tuan?"
“Saya... secara tak sengaja melihat dan mendengar kamu dan suamimu bertengkar hari itu. Maaf, saya hanya khawatir dengan kandunganmu.”
Gendis tercekat, luka-luka yang ia sembunyikan rapi di balik senyum hariannya kini kembali menganga. Galang, suaminya, telah mengusirnya dari rumah. Bahkan semua barang miliknya telah dilempar ke rumah orang tuanya, seperti ia tak lebih dari beban.
“Saya baik-baik saja,” ucap Gendis lirih, matanya basah tapi suaranya berusaha kokoh.
“Apa kamu sudah tahu apa masalahnya? Karena kamu telah merawat saya, izinkan saya membalas. Mungkin saya bisa sedikit membantu. Jika kamu masih ingin mempertahankan pernikahanmu… saya bisa menyelidiki semuanya.”
Gendis diam.
Kemudian, seolah ada harapan yang meletup dalam dirinya ia pun mengangguk. Ia masih sangat mencintai Galang. Ia ingin mempertahankan rumah tangganya, terutama karena ada nyawa kecil yang tengah tumbuh dalam rahimnya.
“Saya akan bantu kamu. Oh ya... nama saya Rama. Sebenarnya, setelah pertengkaran kalian waktu itu, ingatan saya sudah kembali.”
Gendis terkejut. “Alhamdulillah... Tuan Rama.“
“Rama saja,” potongnya dengan senyum.
“Mas Rama... lalu, Anda akan keluar dari klinik hari ini?”
Rama mengangguk. “Saya akan tinggal di sekitar sini dulu, mencari tempat sewa kecil. Mungkin kamu tahu ada kontrakan?”
“Ada, dekat rumah orang tua saya. Kalau Mas mau, saya bisa hubungi pemiliknya.”
“Terima kasih. Apa dompet dan ponsel saya... benar-benar tak ditemukan saat saya dibawa kesini?”
“Tidak, jadi kami tidak bisa menghubungi keluarga Mas.”
“Mungkin dirampok malam itu, saat saya hanya ingin berjalan-jalan untuk menyegarkan pikiran... ternyata tempat itu berbahaya. Saya bahkan tidak ingat pasti kejadian nya, tau-tau sudah bangun disini."
“Kenapa tidak lapor polisi saja sekarang?”
Rama memandang jauh, matanya buram. “Tidak perlu, itu bisa saya urus. Sekaligus saya akan bayar biaya perawatan, selama saya disini. Lagipula, sekarang saya sedang melarikan diri dari bayang-bayang masa lalu. Biarkan semua tertinggal... saat saya benar-benar pulih, baru saya akan pulang.”
“Apa sakit Mas Rama... parah?” tanya Gendis dengan polos.
Rama tersenyum getir. “Yang sakit bukan tubuhku, Mbak... tapi jiwaku.”
Gendis terdiam, tak tahu harus menjawab dengan apa.
•
Sementara itu, di sisi lain...
Galang, suami Gendis telah mengajukan izin perceraian melalui instansi-nya. Kini, gugatan cerainya telah resmi masuk ke pengadilan agama.
Di rumah, Bu Ningrum sang Ibu menatap Galang dengan sorot khawatir.
“Lang, Ibu minta uang... buat beli beras. Kakakmu belum pulang, Bapakmu juga belum ada hasil.”
Galang menghela nafas pelan. Sebagai abdi negara, gajinya tak seberapa. Tapi ia harus mencukupi kebutuhan ibu, bapak, dan... Ratna. Kakak iparnya yang belum juga pergi dari rumah mereka.
Tanpa bicara banyak, Galang mengeluarkan sepuluh lembar uang merah. “Cukup-cukupin, Buk. Aku juga harus kasih Gendis... uang iddah setelah gugatan dikabulkan.”
“Alaaaah! Buat apa wanita peselingkuh itu dikasih uang iddah?! Ratna bilang dia itu sudah selingkuh dari lama, cuma baru ketahuan aja. Kalau Ibu ketemu dia, pengen Ibu jambaak jilbabnya! Sok alim... tapi ternyata, wanita murahan!”
Bu Ningrum ternyata ikut terhasut oleh Ratna. Padahal, sejak awal ia tak pernah berniat memfitnah Gendis. Menantunya itu dikenal patuh, hormat dan selalu memperlakukan dirinya dengan baik. Namun, hasutan Ratna perlahan mengaburkan akal sehatnya.
Ratna iri.
Iri karena Gendis memiliki suami seperti Galang, lelaki yang perhatian, bertanggung jawab dan selalu ada untuk istrinya. Sementara Ratna, setelah merasa Raden tak lagi bisa dimanfaatkan dan tak mampu memenuhi kebutuhannya, mulai menyusun rencana busuk.
Bagi Ratna, Galang adalah sasaran yang sempurna. Setiap kali Galang pulang ke rumah, mereka kerap bertemu. Kini, ia melihat kesempatan untuk merebut Galang. Apalagi suaminya, telah lama tak pulang.
Sekarang rumah sedang sepi, Bu Ningrum pergi ke pasar dan Pak Pram pergi menawarkan barang. Dan Ratna tahu, waktunya telah tiba.
Ia melenggang keluar kamar dengan gaun satin tipis yang menggoda. Sinar mentari pagi menyusup melalui jendela, membingkai tubuhnya yang licin berkilau. Ia melangkah perlahan melewati ruang tengah, tempat Galang tengah menonton berita.
Sekilas, mata Galang menoleh. Dadanya mengencang, jakunnya bergulir naik turun. Ia hanya menatap sekilas... tapi cukup untuk membuat pikirannya terusik.
Sudah sekian lama Galang menahan diri dari haknya sebagai seorang suami. Bahkan setelah kembali dari penugasan panjang, ia belum sekalipun menyentuh Gendis. Bukan karena tak ingin, tetapi karena harga diri dan lukanya terlalu dalam. Sesampainya di rumah, yang ia lakukan adalah menceraikan Gendis tanpa menoleh lagi. Sebab baginya meminta hak dari seorang istri yang telah mengkhianati kepercayaannya adalah bentuk penghinaan terhadap dirinya sendiri.
Tiba-tiba...
“Arghh…!”
Jeritan itu terdengar dari dapur, Galang sontak berlari. Di sana, Ratna terduduk di lantai sambil mengeraang.
“Duh... Lang, sakit... Mbak jatuh.”
Gaun satinnya tersingkap, memperlihatkan kulit paha yang mulus dan aroma tubuh yang menggoda.
Galang mendekat, berjongkok dengan ragu-ragu. “Yang sakit bagian mana, Mbak?”
Dengan gerakan pelan namun penuh niat, Ratna mengalungkan lengannya ke leher Galang. “Kayaknya kaki Mbak keseleo, tolong bantu Mbak ke kamar... ada balsem urut di sana.”
Tanpa prasangka, Galang mengangkat tubuh Ratna ke pelukannya. Tapi Ratna menempelkan tubuhnya erat-erat, darah pria itu berdesir hebat.
Galang pun membawa Ratna masuk ke dalam kamar. Akan tetapi, ia keluar dari kamar itu satu jam kemudian...
Galang keluar dari kamar Ratna dengan wajah kusut dan tampak lelah. Tapi bukan lelah secara fisik, justru wajahnya menyiratkan kepuasan... namun rasa bersalah begitu mencengkeraam hatinya seperti cakar iblis.
Ia telah mengkhianati Gendis, lebih buruk lagi... ia juga telah mengkhianati saudara kandungnya sendiri, Raden.
Jadi gugatan cerai tetap berjalan sesuai keinginan Galang. Tapi sekarang bukan kelegaan yang Galang dapatkan, hanya penyesalan yang dia raih.