‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20 : Maaf saya tidak berminat
“Mau pesan menu apa, Yu?”
Bagaikan dialiri aliran listrik bertegangan rendah, tubuh Dahayu seketika kaku. Matanya melirik ke bawah, pada tautan tangan, genggaman erat tapi tidak menyakiti.
Dia langsung menarik jemarinya, lalu memilih menarik kursi kantin – duduk diam dan enggan menatap sang pria yang tersenyum jenaka.
“Saya pesankan sup dan nasi, mau? Kebetulan sudah jam 10 lebih, tak lama lagi masuk tengah hari.” Tangannya begitu ringan mengelus pucuk rambut berwarna hitam legam.
Ingin sekali dia tepis, tetapi teringat senyum ceria ibunya yang sedang bercerita kepada dokter Juwita, Dahayu memilih membiarkan. Mengangguk menyetujui usulan Amran.
“Kemana Nelli dan Ayah?” Matanya mencari-cari dua sosok yang dia sayangi.
‘Mengapa aku tak sadar saat dia gandeng dan dibawa sampai sini?’ suara batinnya berisik sekali.
Amran datang dengan nampan berisi gorengan tahu isi sayuran, bakwan, dan tempe. Meletakkan di atas meja persegi. “Makanlah selagi hangat sambil menunggu pesanan kita tiba.”
“Tidak, aku nunggu sup nya saja,” ditolaknya sodoran piring berisi gorengan. Dirinya tidak bisa makan banyak dalam sekali waktu, harus berjeda.
“Tuan, apa biaya perawatan ibu saya masuk dalam daftar kartu yang anda berikan?”
Amran menatap tak suka, meletakkan lagi sepotong bakwan yang hendak di makan. “Siapa yang mengajari ataupun menyuruhmu memanggil Tuan?”
“Tak ada, inisiatif sendiri. Memang betul kan, saya dan Anda – ibarat Tuan dengan budaknya. Lantas, sudah sepantasnya diri ini tahu diri, agar tak melunjak nantinya,” sarkas Dahayu, ekspresinya tetap tenang.
Amran mencondongkan tubuhnya hingga dadanya menekan sisi meja. “Saya menantikan saat dirimu khilaf, tak memikirkan batasan, perbedaan, kesenjangan sosial, dan bertindak serta bersikap sesuai statusmu – seorang istri.”
Dahayu tersenyum mengejek, matanya menyipit, dan bibir berwarna alami itu kembali melontarkan kata-kata menohok.
“Maaf, saya tak berminat memanfaatkan sesuatu yang bersifat abu-abu. Bagi saya, putih ya putih, tak bisa dicampur aduk dengan warna lainnya. Bila dari awal sudah jelas tertulis, ditandatangani – maka hingga akhir jalannya cuma itu, malas berharap pada kemungkinan, sebab hati manusia mudah sekali berubah-ubah – hari ini terlihat sangat mencintai, besok bisa jadi langsung hambar.”
Amran kehilangan kata-kata, sementara dia sendiri tak pintar bermain kata. Lebih suka menyelesaikan segala hal dengan tindakan, uang, kekuasaan.
Menghadapi wanita memiliki sifat tegas, karakter kuat, sama saja seperti berusaha membengkokkan besi berkarat. Terlalu kuat dia menekan – bisa mengakibatkan patahan.
Jika menggunakan cara perlahan, lambat, dia sendiri yang dilanda rasa campur aduk. Kesabaran diuji, rasa percaya diri terkikis, dan harus kuat menahan serangan kata-kata menghujam hati.
"Saya tanya ulang, apa biaya konsultasi dengan seorang psikiater – ditanggung kartu pemberian dari Anda?"
"Tak perlu kau tahu! Cukup terima, nikmati pelayanan kesehatan nomor satu untuk Ibuk. Agar Beliau lekas sembuh," jawabnya, kembali bersandar pada kursi plastik.
Menu pesanan pun diantar seorang pelayan. Semangkuk sup ayam campur kentang, wortel. Satu porsi soto Medan berkuah santan, dan dua nasi terhidang di piring.
Dalam diam, kedua sejoli itu menikmati makan pagi menjelang siang, bisa dibilang ini pertama kalinya mereka duduk satu meja.
Tak ada percakapan, tapi sesuatu menarik mata terjadi saat Amran meminggirkan daun seledri dan bawang goreng ke pinggir piring, dan tanpa kata – Dahayu memungutnya, memasukkan ke dalam mangkuk sup.
“Menunduklah!” titah Dahayu, tetapi Amran tidak paham.
Wanita itu langsung menurunkan ujung topi agar menutupi wajah suami milik bersama. Netranya melirik dua sosok yang sebelumnya terlibat perdebatan dengannya.
"Itu Dahayu 'kan? Sama siapa dia?” tanya Ratna, dia menarik jarik di belakang punggung saat dirasa bokong bayinya merosot.
Tatik memicingkan mata, bergeser ke samping agar dapat melihat dengan jelas. Namun, tak bisa mengenali seorang pria mengenakan topi, duduk berhadap-hadapan dengan Dahayu. “Sepertinya bukan pak mandor Wisnu, ini lebih tinggi dan tegap posturnya.”
“Apa perlu kita datangi? Penasaran aku, kali ini dengan siapa dia menggatal setelah dibuang pak Mandor lapangan,” usul Ratna sekaligus menghina.
Namun, niat tersebut urung dilaksanakan, saat melihat Nelli, berjalan dengan Bondan dan seorang pemuda.
“Itu bukannya pak Bondan, staff villa bukit? Kenapa bisa bareng Nelli? Mereka menuju ke meja Dayu,” ujar Tatik. Seketika nyalinya menciut.
“Lebih baik kita memantau dari jauh saja, daripada nanti kenak imbasnya,” Ratna terlihat takut.
Tatik mengangguk menyetujui, mereka mundur ke tempat yang dirasa aman. Menatap lekat saat Dahayu berdiri, berjalan bersisian dengan Nelli. Sedangkan para pria melangkah lebih dulu.
“Jangan-jangan, Dayu dan Nelli sedang jual diri? Kalau tidak, mana mungkin bisa bersama orang penting macam pak Bondan. Bisa dijadikan gosip terkini ini,” mata Tatik berkilat, senyumnya culas sekali.
"Dasar pelacur gatal! Gayanya tak doyan pemuda perkebunan, jelaslah karena mangsa mereka orang berduit. Meskipun sudah tahu telah beristri tetap saja digoda. Menjijikan sekali,” hina Ratna.
“Namanya juga pelacur, mana ada namanya pilih-pilih pelanggan. Yang terpenting berduit, kalau bisa pun menjadi orang ketiga, menghancurkan sebuah keluarga bahagia,” cemooh Tatik.
Tatik dan juga Ratna – sedang memeriksakan bayi mereka yang bersamaan terserang flu. Sebenarnya di perkebunan ada disediakan pusat kesehatan seperti Puskesmas, pelayanannya pun bagus. Namun, pada hari Minggu, tutup.
***
“Adik sini! Ada teman baru.” Bu Warni menarik lengan Dahayu yang baru saja masuk ke ruang Psikiater.
Dokter Juwita menunduk hormat, dia sudah diberitahu tentang sosok Dahayu lengkap dengan gambar dirinya.
“Terima kasih, bu Dokter.” Dahayu membungkuk, kepalanya menunduk, kalimatnya keluar dari hati.
“Sudah menjadi tugas saya, Bu. Lagian Mbak Rani sosok yang menyenangkan, baik hati, dan tulus,” pujinya apa adanya.
Dahayu tersenyum lembut, terlihat tulus. Dia rangkul pundak ibunya.
Seorang suster masuk ke dalam ruangan, menyerahkan kepada sang dokter – satu paper bag lumayan besar.
“Ini obat dan vitamin barunya Mbak Rani, wajib diminum rutin, dan ada juga susu khusus untuk daya tahan tubuh, serta menjaga kesehatan tulang.” Ia ulurkan paper bag tadi.
Dahayu meraihnya, mengucapkan terima kasih, seraya menyimpan rasa penasaran. Biasanya dia akan menebus obat di bagian farmasi, tapi kini langsung diantarkan.
“Bu Dayu, ada yang ingin saya sampaikan. Bisa kita berbicara sebentar, hanya berdua?”
Perasaan Dayu sudah tidak enak, dia mengangguk.
Mak Rita, Nelli – menuntun bu Warni keluar, bergabung dengan para laki-laki yang menunggu di depan ruangan dokter.
Tinggallah Dahayu, duduk di kursi depan meja dokter.
“Maaf sebelumnya, mungkin pertanyaan saya akan menyakiti perasaan, tapi ini wajib saya tanyakan, agar kedepannya – saya tidak salah langkah dalam menangani , memberikan terapi kepada bu Warni.” Sang dokter melipat kedua tangannya di atas meja, menatap sendu pada netra mulai basah.
“Silahkan, Dokter!”
“Apa sebelumnya bu Warni pernah menjadi, atau hampir saja menjadi korban pelecehan …?”
Bibir Dahayu bergetar, isak lirih mulai terdengar.
“Dan satu pertanyaan lagi, apakah bu Warni pernah mengalami keguguran …?”
.
.
Bersambung.