Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.
Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Buronan di Tengah Banjir
Di panggung BICC, waktu melambat. Moncong pistol berjarak hanya beberapa meter dari kepala Sasha. Pengawal yang disewa Paman Hadi itu memiliki mata kosong dan profesional, tanda bahwa ia tidak akan ragu menarik pelatuk di depan ribuan saksi. Bagi pembunuh bayaran, publisitas justru menjadi bagian dari intimidasi.
Sasha tahu, jika ia lari, peluru akan mengejarnya. Ia harus menciptakan kekacauan baru, yang lebih pribadi dan mendesak.
“Paman Hadi, Anda pengecut!” teriak Sasha, memanfaatkan keheningan ngeri setelah ancaman pembunuhan itu. Alih-alih melarikan diri, Sasha melompat ke samping, menerjang Paman Hadi yang masih terpaku menatap data yang menghancurkan kariernya di layar.
Tubuh Paman Hadi yang tambun ambruk. Ia dan Sasha berguling di karpet panggung, menjatuhkan mikrofon dan dudukan air. Petugas keamanan bersenjata itu berteriak kaget—ia tidak bisa menembak karena risikonya mengenai Paman Hadi terlalu besar.
Kekacauan di ruangan itu mencapai puncaknya. Wartawan berlarian ke depan, merekam perkelahian di panggung, sementara para investor berusaha menyelamatkan diri dari kerugian saham yang baru saja terkuak. Ethan Cole, CEO Express Teknologi, didesak keluar dari ruangan oleh pengacaranya, mencoba menghindari jepretan kamera.
Saat Hadi berjuang melepaskan diri dari cengkeraman Sasha, Sasha merasakan ponsel di sakunya bergetar, mengirimkan koordinat pelarian yang diperbarui dari Penyu. Jalur C: Ruang Bawah Tanah, Zona Pengiriman Katering.
Sasha menggunakan momen saat Paman Hadi bangkit, terengah-engah dan marah, untuk melompat dari panggung, menghilang di antara kerumunan pers yang kacau. Pengawal bersenjata itu berusaha mengejarnya, tetapi ia terhalang oleh lautan manusia yang didorong oleh kepanikan. Paman Hadi, kini ditinggalkan sendirian dan dicemooh, dihadapkan pada kekalahan mutlak di mata dunia.
...****************...
Di lantai 20 Hotel Mandala, Zega merasakan tekanan udara saat peluru Riksa, sang sniper Express Teknologi, memutus kabel baja di depannya. Kabel itu jatuh ke jurang, membawa serta satu-satunya harapan Zega untuk turun dengan aman.
Pintu ruang utilitas di belakangnya didobrak paksa. Empat penjaga berjaket hitam, mata mereka menunjukkan kemarahan karena sudah dipermainkan, menyerbu masuk. Lorong itu sudah tergenang air setinggi mata kaki—efek dari ulah Zega sebelumnya.
“Tangan ke atas, Hacker!” perintah pemimpin tim, mengarahkan senapan serbu ke dada Zega.
Zega mundur selangkah ke ambang jendela yang terbuka, air yang menggenang membasahi sepatu ketsnya. Ia melihat ke bawah—dua puluh lantai menuju beton jalanan yang ramai. Ketinggian itu mematikan.
“Aku sudah bilang, aku tidak butuh keluar hidup-hidup,” balas Zega. Ia tidak mengangkat tangan. Sebaliknya, ia menjatuhkan ranselnya yang berisi laptop, membiarkannya terendam air.
Penjaga itu menyeringai. “Pilihannya hanya mati karena peluru atau mati karena jatuh. Jangan mempersulit kami.”
Zega tersenyum sinis. “Ada pilihan ketiga: Mati karena arus listrik.”
Dengan kecepatan yang mengejutkan, Zega menendang keras ke arah panel listrik utilitas yang terbuka, tepat di atas genangan air. Meskipun panel itu seharusnya mati, Zega tahu bahwa sisa daya dari generator cadangan masih mengalir melalui kabel tebal yang terendam air.
Tendangan itu mengenai beberapa konektor yang sudah rapuh karena banjir mendadak. Seketika, lorong itu dipenuhi suara desisan dan bau ozon yang tajam. Gelegar listrik kecil meledak di air. Keempat penjaga itu menjerit kesakitan, terkejut dan kaku, senapan mereka jatuh ke lantai dan terendam air.
Zega tidak menunggu. Ia harus melarikan diri sebelum kejutan listrik itu hilang dan mereka pulih. Ia melompat keluar dari jendela, memanfaatkan kabel baja yang putus tadi. Ia menarik sisa kabel yang masih tersambung ke dinding, dan dengan dorongan kaki terakhirnya, ia mengayunkan dirinya ke arah gedung di seberang jalan.
Riksa melihat gerakan gila itu dari kejauhan. Ia mengutuk pelan, menyadari bahwa Zega tidak pernah merencanakan pelarian vertikal, melainkan pelarian horizontal.
Zega melayang di udara yang dingin, tangannya mencengkeram erat sisa kabel baja. Ia mengarah ke balkon servis di lantai 18 sebuah menara perkantoran. Jaraknya terlalu jauh, dan ayunannya tidak cukup tinggi. Zega menyadari ia akan menabrak dinding sebelum mencapai balkon.
Ia melepaskan kabel itu, mendarat dengan keras di lapisan beton balkon yang sempit. Rasa sakit menjalari pergelangan kakinya. Namun, ia berhasil.
Di seberang, Riksa mengokang senjatanya. “Kau lincah, Hacker. Tapi tidak cukup cepat.”
Zega, sambil pincang, bergegas masuk ke dalam gedung. Ia tahu ia harus turun ke permukaan secepat mungkin. Penyu telah mengirimkan pesan: **"Lokasi bertemu: Basement BICC. Area katering ditutup karena banjir. Cepat."**
***
Sasha berlari menuruni koridor servis BICC, menghindari staf katering dan petugas konferensi yang panik akibat banjir yang datang entah dari mana. Air mulai merembes dari langit-langit, dan alarm kebakaran mulai berbunyi, menambah simfoni kekacauan yang diciptakan Zega.
Ia sampai di pintu baja bertanda ‘PENGIRIMAN KATERING – BASKET 2’. Ia menggunakan kartu akses darurat yang disiapkan Penyu, dan pintu itu berdenting terbuka.
Di dalamnya, bukan tumpukan kotak makanan, melainkan sebuah van pengiriman yang dimodifikasi. Di kursi pengemudi, Penyu, si jenius teknis, duduk dengan helm sepeda motor terpasang dan wajah tegang.
“Masuk, cepat!” Penyu mendesak, mesin van sudah menyala.
Sasha melompat ke kursi penumpang. “Zega? Apakah dia berhasil?”
“Belum ada konfirmasi visual. Tapi sinyal GPS-nya bergerak. Dia sedang menuju area ini, tapi dia terluka. Kita harus bergerak sekarang, Sasha. Polisi dan tim khusus Hadi sudah menutup semua akses keluar utama.”
Saat van itu bergerak perlahan menyusuri lorong bawah tanah yang gelap, Sasha melihat bayangan di ujung lorong—sosok yang pincang, basah kuyup, dengan darah menetes dari tangannya yang tergores.
“Zega!” seru Sasha.
Penyu menghentikan van. Zega nyaris tidak punya waktu untuk melompat masuk ke bagian belakang van sebelum Penyu menginjak gas, membelok tajam menuju terowongan pembuangan air yang sempit.
Zega merosot di lantai van, menarik napas lega. Ia melepas liontin Bara dari lehernya dan menyerahkannya kepada Sasha.
“Final Code selesai. Bukti ada di tangan publik,” kata Zega, suaranya serak.
Sasha menggenggam liontin itu. “Kau mempertaruhkan nyawamu untuk ini.”
“Dan kau mempertaruhkan nyawamu di panggung. Kita impas,” balas Zega, berusaha tersenyum, meskipun rasa sakit di kakinya jelas. “Sekarang, kita harus keluar dari Bali. Mereka akan mengira kita akan menggunakan penerbangan, tapi… kemana rute kita?”
Penyu, yang fokus menyetir van melalui terowongan yang mulai terendam air bah dari Hotel Mandala, menjawab tanpa menoleh. “Kita tidak akan terbang. Kita akan berlayar. Aku sudah mengatur kapal penangkap ikan tua. Tapi kita harus mencapai pelabuhan di sisi timur pulau dalam 30 menit. Setelah itu, tidak ada jaminan keamanan.”
Van itu keluar dari terowongan dengan bunyi ‘splash’ yang besar, langsung menuju jalanan kecil di luar perimeter konferensi. Sirene meraung di kejauhan, tetapi van pengiriman yang kotor itu bercampur sempurna dengan lalu lintas Bali yang ramai.
...****************...
Mereka mengira sudah aman. Namun, saat Penyu melaju cepat di jalanan sempit menuju pelabuhan, sebuah pesan darurat tiba di layar navigasi Penyu. Bukan dari server resmi, melainkan dari saluran komunikasi rahasia Express Teknologi yang berhasil disadap Zega sebelumnya.
[UNIT ALPHA 7 – PELACAKAN AKTIF. SASARAN: VAN PENGIRIMAN BIRU TUA. LOKASI: JALAN RAYA DENPASAR-MANGGIS. PERINTAH: INTERSEP DAN NETRALISASI. TIDAK ADA SAKSI HIDUP.]
“Sial,” desis Penyu. “Mereka punya mata di mana-mana. Bagaimana mereka melacak kita?”
Zega, yang sedang membersihkan lukanya, melihat sekeliling van. Matanya terpaku pada salah satu kotak karton kosong di sudut. Kotak katering yang seharusnya berisi makanan penutup.
Ia merangkak ke belakang dan merobek kotak itu. Di dalamnya, tersembunyi sebuah alat pelacak kecil, canggih, dan berdenyut perlahan.
“Paman Hadi tidak hanya mengirim makanan penutup,” kata Zega, suaranya penuh amarah. “Dia mengirimkan penanda kematian kita.”
Sasha menoleh ke belakang, melihat pantulan di kaca spion van. Sebuah mobil SUV hitam, yang jelas bukan mobil turis, melaju kencang, memotong lalu lintas di belakang mereka.
“Mereka datang. Dan mereka tidak akan mencoba menangkap kita, Zega,” ujar Sasha, nadanya dingin dan realistis. “Mereka akan membunuh kita.”
Zega mencengkeram erat ponselnya yang basah, berusaha memetakan jalanan. Mereka berada di jalan raya pesisir, diapit oleh hutan di satu sisi dan jurang curam di sisi lain. Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Pelabuhan masih sepuluh menit lagi.
“Kita harus melepaskan mereka,” kata Zega. Ia membuka panel kontrol di belakang van, mengakses sistem listrik van yang usang. “Penyu, pelan-pelan. Aku akan mencoba kejutan listrik lagi.”
SUV hitam itu mendekat dengan cepat, dan Sasha melihat moncong senjata menyembul dari jendela penumpang. Tembakan peringatan meleset di sebelah ban van.
Zega menyelesaikan pekerjaannya, menghubungkan beberapa kabel yang tidak seharusnya terhubung. “Tahan, Penyu! Aku harap aspalnya cukup lembab.”
Zega menekan tombol yang ia pasang. Van itu bergetar hebat. Lalu, terjadi ledakan listrik kecil di bagian bawah van, mengirimkan gelombang kejut yang kuat ke aspal basah di belakang mereka.
SUV di belakang mereka langsung oleng. Pengemudinya kehilangan kendali sesaat, dan mobil itu menabrak pembatas jalan. Mereka mendapat jeda.
Penyu menghela napas. “Itu gila. Tapi berhasil.”
“Itu hanya Unit Alpha 7,” kata Sasha, matanya masih menatap ke belakang. “Paman Hadi akan mengirimkan seluruh alfabet untuk membungkam kita.”
Mereka mencapai persimpangan. Pelabuhan hanya berjarak satu kilometer. Mereka hampir berhasil. Tetapi saat van mereka membelok, di depannya, terparkir dua kendaraan lapis baja ringan milik tim keamanan Express Teknologi, menghalangi jalan masuk pelabuhan sepenuhnya. Puluhan pria berpakaian seragam taktis berdiri di antara mereka dan laut lepas. Riksa, si sniper, berdiri di kap salah satu kendaraan, memegang radio.
Sasha dan Zega saling pandang. Mereka sudah melarikan diri dari panggung dan dari ketinggian, tetapi sekarang mereka menghadapi garis pertahanan terakhir. Mereka terpojok, terperangkap di antara pembunuh bayaran korporat dan laut yang luas.
“Penyu,” ujar Sasha, suaranya tenang, meskipun jantungnya berdebar kencang. “Putar van. Kita harus mencari jalan lain.”
Penyu berusaha membelok, tetapi saat itu, dari belakang mereka—dari arah jalan Denpasar—terdengar raungan mesin yang keras. Unit Alpha 7 yang sempat oleng telah pulih, dan kini mereka melaju kembali dengan kecepatan penuh, menembaki ban van mereka tanpa ampun.
Sasha, Zega, dan Penyu kini terjebak sempurna. Laut di depan, para pembunuh di belakang.
"Sial... apakah ini akhir dari semua insiden ini?" keluhan Sasha sedikit putus asa, melihat tak ada lagi celah yang aman....