NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Mengubah Takdir / Dark Romance
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Novia na1806

Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.

Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.

Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 5 -- di balik senyum boneka

Cahaya lampu kristal menetes lembut dari langit-langit kamar Aruna, memantul di permukaan cermin besar yang berdiri di hadapannya. Udara beraroma mawar putih memenuhi ruangan, berpadu dengan suara halus kain sutra yang bergesekan setiap kali ia bergerak.

Di dalam pantulan cermin, tampak seorang perempuan muda yang nyaris sempurna. Kulitnya pucat seperti porselen, lembut tanpa cela. Mata bulatnya berkilau bening, seperti tetesan embun yang menggantung di ujung daun saat fajar,

Namun ada ketegasan yang tak lagi bisa disembunyikan di balik kelembutannya. Hidungnya kecil dan mancung, bibir mungilnya merah alami, membentuk senyum samar yang tampak manis sekaligus berbahaya. Tubuhnya mungil, dengan lekuk halus yang menciptakan kesan rapuh namun memikat.

Aruna menatap bayangan itu lama, seolah sedang berbicara dengan masa lalunya sendiri. Dulu, ia sering berdiri di tempat yang sama, dengan gaun yang sama indahnya, tapi dengan hati yang berbeda—hati yang polos dan penuh harapan. Kini, di balik keanggunan itu, tersimpan rencana yang nyaris dingin.

“Cantik…” gumamnya pelan, tapi nadanya bukan kekaguman, melainkan peringatan bagi diri sendiri. Cantik adalah senjata. Dan malam ini, ia akan memakainya.

Tangannya perlahan menyentuh kaca, mengikuti garis rahang bayangannya. Dingin cermin menyentuh kulit hangatnya, mengingatkannya pada dinginnya malam di masa lalu — malam yang mengubah segalanya.

Malam itu…

Suara hujan, kilatan lampu mobil, teriakan ibunya.

Asap, darah, dan bau logam menyengat. Semuanya kembali dalam sekejap, berputar cepat di kepalanya. Malam ketika mobil yang mereka tumpangi kehilangan kendali di tikungan curam — malam ketika dunia Aruna runtuh.

Dan di balik semua itu, dua nama yang tak pernah bisa ia lupakan: Naya dan Andrian.

Kelopak matanya menutup perlahan, menahan gelombang emosi yang hampir meledak. Namun saat ia membukanya lagi, hanya ketenangan yang tersisa di sana — ketenangan yang menusuk, yang membuat siapa pun tak bisa menebak apa yang tersembunyi di baliknya.

Ia tersenyum tipis pada bayangan dirinya, lalu berbisik:

“Sekarang, giliran kalian yang kehilangan kendali.”

Aruna mengambil tas kecil berwarna perak dari meja rias, menyampirkan syal lembut di bahunya. Gaunnya berwarna biru muda, sederhana tapi memancarkan kemewahan halus—seperti dirinya kini, elegan di luar, berbahaya di dalam.

Ia menarik napas panjang, menegakkan punggung, lalu melangkah keluar dari kamar.

Tangga marmer putih menyambutnya dengan pantulan cahaya dari lampu gantung di atasnya. Di bawah sana, suara lembut ibunya terdengar, bercampur tawa pelan ayahnya.

Pemandangan itu membuat dadanya sesak. Mereka masih di sana — hidup, hangat, penuh kasih.

Sesuatu di dalam dirinya hampir hancur. Namun Aruna memaksa dirinya tetap tersenyum, menyembunyikan setiap retakan di dalam hati.

“Sayang, kau terlihat menawan sekali malam ini,” ucap sang ibu saat melihatnya turun. Ayahnya menatap dengan bangga, senyumnya lembut seperti biasa. “Tak kusangka anakku bisa tumbuh seanggun ini.”

Aruna menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan mata yang mulai berair. “Terima kasih, Ayah, Ibu…” suaranya nyaris bergetar, tapi ia cepat menahan diri. “Malam ini akan berjalan lancar.”

Ibunya berjalan mendekat, merapikan helaian rambut Aruna yang jatuh ke bahu. “Kau tampak lelah. Jangan terlalu tegang, ya. Ini hanya acara biasa.”

Acara biasa…

Kata-kata itu terasa pahit. Bagi mereka, malam itu hanya jamuan makan dengan rekan bisnis keluarga Naya. Tapi bagi Aruna, itu adalah awal dari tragedi. Kini, ia datang bukan untuk mengulang tragedi — tapi untuk mengubah akhirnya.

Langkah pelan seorang pelayan memecah suasana hangat itu.

“Maaf, Nyonya,” ucap pelayan itu sopan, “Tuan Andrian dan Nona Naya sudah tiba. Mereka menunggu di depan.”

Suasana tiba-tiba berubah hening.

Aruna menoleh ke arah jendela besar di samping pintu, melihat dua bayangan di luar — satu tinggi dan berwibawa, satu lagi ramping dengan langkah angkuh.

Senyumnya tak berubah, tapi jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

Ia berbalik pada orang tuanya, lalu membungkuk pelan.

“Aku pergi dulu, Ayah, Ibu.”

Sang ibu menggenggam tangannya sebentar. “Hati-hati di jalan, Sayang.”

Aruna mengangguk lembut, memaksakan senyum terakhir sebelum melangkah pergi. Begitu pintu besar itu terbuka, udara malam yang lembap menyambutnya. Mobil hitam mengilap terparkir di depan, dengan Andrian berdiri di sisi pintu, mengenakan jas hitam dan senyum manis yang terlalu familiar.

Naya berdiri di sampingnya, gaun merahnya berkilau di bawah lampu, matanya memandang Aruna dengan senyum yang tampak ramah tapi dingin di baliknya.

“Aruna,” sapa Naya manis, “kau cantik sekali malam ini.”

“Terima kasih,” jawab Aruna lembut, matanya menatap Naya seolah benar-benar tulus. “Kau juga terlihat menawan.”

Andrian menatap Aruna dari ujung rambut sampai ujung kaki, seolah sedang menilai sesuatu. “Senang melihatmu datang, Ru. Aku sempat khawatir kau menolak undangan ini.”

Aruna tersenyum kecil. “Bagaimana bisa? Kalian tahu aku tak pernah menolak jika kalian yang memintanya.”

Kata-kata itu meluncur lembut, polos — persis seperti dirinya di kehidupan lalu. Namun kali ini, setiap suku katanya mengandung racun. Naya tertawa kecil, menggandeng tangan Aruna seperti sahabat lama. “Baguslah. Malam ini akan menyenangkan.”

Mereka berjalan bersama menuju mobil, seolah tak ada yang salah di antara mereka. Aruna melirik ke arah rumahnya yang perlahan menjauh, melihat bayangan kedua orang tuanya di ambang pintu. Hatinya bergetar, tapi ia tak menoleh lagi.

Kali ini, ia yang memegang kendali atas jalan takdir.

Dan jika dunia ingin mengulang malam tragedi itu — maka ia akan memastikan hanya dua orang yang benar-benar hancur di akhirnya: Naya dan Andrian.

Mobil melaju perlahan ke arah jalan yang ia kenal dengan sangat baik — jalan menuju masa lalunya, jalan menuju pembalasan. Namun di wajah Aruna, tak ada ketegangan, hanya senyum lembut seorang wanita yang sedang memainkan peran terindahnya.

Malam baru saja dimulai. Dan Aruna siap menulis ulang kisahnya — dengan da*rah, jika perlu.

Naya bersandar dengan tenang, menyilangkan kaki rampingnya yang dibalut gaun merah tua. Wajahnya tampak damai, tapi matanya menyimpan bara kecil—satu yang hanya muncul ketika ia merasa di atas angin.

Aruna duduk di sebelahnya, wajah lembut itu tertunduk sedikit, tangannya menata ujung gaunnya yang biru muda. Senyum tipis menghiasi bibir mungilnya, begitu tenang, begitu manis—seolah semua luka masa lalu tak pernah ada.

Bagi Naya, pemandangan itu nyaris lucu namun terasa sangat menyebalkan sekaligus.

Ia menoleh sedikit ke arah Andrian yang duduk di depan, menyetir dengan satu tangan di kemudi, satu lagi memutar cincin di jarinya—kebiasaan lama setiap kali ia berpikir. Dari cermin tengah, ia bisa melihat wajah Aruna yang tenang di belakang. Terlalu tenang.

“Lihatlah dia,” ucap Naya pelan, suaranya nyaris seperti desisan yang hanya ingin didengar Andrian. “Masih sama seperti dulu.”

Andrian menoleh sedikit, matanya menatap pantulan Aruna di kaca spion. Gadis itu sedang menatap keluar jendela, seolah terpesona pada cahaya kota. Ada sesuatu yang damai di wajahnya, sesuatu yang dulu membuatnya jatuh hati—dan sekaligus membuatnya muak.

“Ya,” jawabnya pelan, senyum dingin muncul di sudut bibirnya. “Boneka kecil kita masih tahu cara duduk manis.”

Naya tertawa kecil. Tawa lembut tapi penuh sinis.

“Lucu sekali, ya. Aku sempat berpikir dia berubah, terutama setelah kejadian di kantor itu. Tapi rupanya aku terlalu cepat menilai.”

Andrian meliriknya sekilas, satu alisnya terangkat. “Kau bilang dia berubah waktu itu.”

“Mm, aku memang sempat berpikir begitu,” jawab Naya sambil memainkan ujung rambutnya. “Tapi sekarang lihat—dia kembali seperti dulu. Lembut, penurut, matanya masih sama… seperti anak anjing yang takut ditinggalkan.”

Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, menatap Aruna. “Berbahagialah sepuasnya, Aruna,” bisiknya dalam hati, senyum miring menghiasi bibirnya. “Sebelum kau menangis sejadi-jadinya.”

Andrian tertawa kecil tanpa suara, hanya hembusan napas berat yang menandakan rasa puas. “Kau memang terlalu mudah terpancing emosi, Naya. Aku sudah bilang, Aruna tak akan bisa bertahan lama dengan pura-puranya.”

“Dan kau selalu benar, bukan begitu?” Naya menatapnya tajam tapi manja, nada suaranya menggoda.

Andrian hanya menanggapi dengan senyum sinis. “Tentu saja. Aku mengenal Aruna lebih dari siapa pun. Gadis itu hidup untuk perhatianku.”

Ucapan itu membuat dada Naya sedikit sesak, tapi ia menutupinya dengan tawa ringan. Ia tahu Andrian selalu menyukai cara Aruna dulu mengemis cinta—dan entah kenapa, justru hal itu yang membuatnya membenci gadis itu begitu dalam.

Ia mencondongkan tubuh sedikit, mendekat ke kursi depan. “Kau tahu,” katanya pelan, “aku suka melihatnya begini. Diam, lembut, seolah tidak tahu apa-apa. Membuatku ingin meremas wajah manis itu sampai hancur.”

Andrian tersenyum miring. “Sabar, Sayang. Semua pada waktunya.”

Mobil berhenti sejenak di lampu merah. Cahaya oranye dari lampu jalan jatuh di wajah Aruna yang duduk diam di belakang. Pandangannya menerawang ke luar jendela, tapi senyum lembut tetap menghiasi bibirnya. Ia tampak seperti malaikat yang tenang, bukan perempuan yang menyimpan bara.

Naya menatapnya lama. Dalam diam itu, kenangan lama muncul—bagaimana dulu Aruna sering menatap Andrian dengan mata penuh harap, bagaimana ia menunggu pesan yang tak kunjung datang, bagaimana ia menangis dalam diam. Semua itu membuat Naya merasa menang.

“Dia tidak pernah belajar,” gumamnya akhirnya. “Masih Aruna yang sama. Mudah dibaca. Mudah disakiti.”

Andrian mengangguk kecil, pandangannya tetap ke jalan. “Dan itu yang membuat permainan ini menarik.”

Lampu berganti hijau. Mobil kembali melaju.

Dari kursi belakang, Aruna menoleh sedikit, matanya menatap pantulan dua orang di depan. Senyum kecil masih terukir di bibirnya, begitu halus, begitu tulus—tapi matanya… dingin. Dalam pantulan kaca mobil, matanya menatap balik ke arah mereka berdua, seperti pemangsa yang menunggu waktu.

Namun Naya dan Andrian tak menyadarinya. Bagi mereka, Aruna hanya bayangan masa lalu—gadis lemah yang mudah ditundukkan.

“Rapat tadi hanya sandiwara, rupanya,” ucap Naya dengan nada puas. “Dia hanya ingin menarik perhatianmu, seperti biasa.”

Andrian tertawa pendek. “Dan berhasil.”

“Untuk sementara,” tambah Naya dengan senyum menantang. “Tapi kali ini, aku tidak akan membiarkannya menikmati peran itu terlalu lama.”

Andrian menatapnya sekilas. “Apa maksudmu?”

Naya menatap keluar jendela, suara lembutnya terdengar seperti racun yang dibungkus madu. “Aku ingin melihatnya jatuh. Tapi bukan hanya jatuh seperti dulu—aku ingin dia jatuh di depanku, sambil memohon, sambil menyesal karena pernah menantangku.”

Andrian tertawa kecil. “Kau benar-benar kejam, Sayang.”

Naya menatapnya dari sudut mata, tersenyum dingin. “Kau menyukainya, kan?”

Andrian tak menjawab. Ia hanya mengerling ke kaca spion, sekali lagi menangkap bayangan Aruna di belakang—dan entah mengapa, untuk sepersekian detik, senyum lembut gadis itu terasa… berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya menatap sedikit lebih lama.

Tapi sebelum ia sempat memahami rasa aneh itu, Aruna sudah membalas tatapannya dengan senyum manis, seperti dulu—senyum seorang gadis yang jatuh cinta.

Andrian kembali tersenyum percaya diri, menepis keraguan yang sempat muncul. Tidak mungkin, Aruna tidak cukup kuat untuk berubah.

Mereka tak tahu, permainan yang mereka kira sedang mereka kendalikan, kini sudah berbalik arah. Dan di balik senyum lembutnya, Aruna tengah menghitung mundur waktu menuju balas dendamnya.

Mobil itu terus melaju ke arah pesta—ke tempat di mana takdir lama akan menunggu mereka. Namun kali ini, bukan Aruna yang akan menangis di malam itu.

1
ZodiacKiller
Wow! 😲
Dr DarkShimo
Jalan cerita hebat.
Novia Na1806: wah terima kasih sudah membaca,jadi senang banget nih ada yang suka karya ku🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!