Sebuah perjodohan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilihan mantap Rosalina.
Bu Norma masih berdiri dengan wajah dingin di samping ranjang Rosalina. Ia juga masih menatap menantunya itu dengan pandangan yang menusuk, seakan ingin merobek hati perempuan yang tengah berbaring lemah di hadapannya.
"Lina," ucapnya pelan, namun setiap kata-katanya bagai racun yang menetes ke dalam luka hati Rosalina.
"Kamu ingin tahu di mana Handrian sekarang? Saat ini kamu pasti sangat menunggunya, bukan?" ucap Bu Norma.
Rosalina menatap Bu Norma dengan mata yang terlihat berkaca-kaca. Bibirnya juga bergetar, tapi ia sama sekali tidak sanggup mengeluarkan suaranya.
Senyum sinis itu kembali muncul di wajah Bu Norma. Membuat Rosalina mengernyitkan alis.
"Handrian tidak ada di sini untukmu lagi, Lina. Dia sudah pergi meninggalkanmu. Saat kamu terbaring dengan luka dan darah yang belum kering, anakku itu justru memilih berada di sisi wanita lain. Dan sekarang dia sedang dalam perjalanan menuju rumah wanita itu. Wanita yang akan memberinya masa depan yang begitu cerah."
Kalimat itu membuat dada Rosalina terasa bagai dihantam oleh ribuan batu. Bola matanya langsung membelalak, dan air mata yang sejak tadi ditahannya pun tumpah tanpa bisa ia cegah.
"Tidak… mungkin…" lirihnya, dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Namun Bu Norma justru mendekat, dan menundukkan wajahnya agar tepat dan sejajar dengan Rosalina, lalu ia pun kembali berbisik dengan kata-kata tajam dan menusuk.
"Kamu mau percaya atau tidak, tapi itulah kenyataannya. Anak itu, wanita itu kini sedang mengandung darah daging Handrian. Dan kamu tahu tidak, siapa yang telah mengirim Handrian pergi sekarang untuk menemui wanita itu? Aku sendiri, Rosalina. Aku sendiri yang telah mengirim anakku untuk menemui wanita itu. Karena aku tahu, bahwa masa depan anakku bukan bersama perempuan sepertimu, melainkan bersama wanita yang dicintainya itu, dan juga keluarganya yang kaya raya."
Rosalina langsung menutup wajahnya dengan telapak tangan yang lemah. Dan saat itu juga tangisnya pecah, tubuhnya juga terlihat bergetar menahan luka yang bukan hanya fisik, tapi juga jiwa.
Namun di balik tangisan itu, ada sebuah getar keyakinan yang perlahan tumbuh di hatinya.
Ia menurunkan tangannya dengan perlahan, seraya menatap Bu Norma dengan mata yang basah. Tapi tatapannya kini terlihat berkilat dengan keteguhan. Dan dengan suara yang terdengar bergetar namun tegas, ia pun berkata...
"Kalau memang begitu, Bu… biarlah. Kalau benar Mas Handrian lebih memilih perempuan itu dan masa depannya, maka aku tidak akan pernah menahannya. Aku juga tidak akan pernah memohon, ataupun mengemis cinta dari seorang lelaki yang tega meninggalkan istrinya dalam keadaan seperti ini. Kalau memang jalannya begitu, maka aku akan menjalani hidupku tanpa harus lagi menggantungkan diri pada siapa pun. Termasuk pada putramu itu."
Air matanya terlihat masih jatuh dipipinya yang bersih, tapi kini bibirnya justru tersungging senyum tipis, seakan ada kelegaan aneh yang baru saja muncul.
Rosalina mungkin merasakan rasa sakit yang begitu dalam, saat mendengar apa yang dikatakan oleh Ibu mertuanya itu, namun di dalam hatinya saat itu ada tekad yang tumbuh, dan ia juga tidak akan lagi membiarkan dirinya dihancurkan oleh kekecewaan yang berkali-kali telah diberikan oleh Handrian.
Sementara itu, Bu Norma menjadi terdiam akibat terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Rosalina. Ia tak menyangka jika perempuan yang selalu terlihat lembut itu mampu mengucapkan kata-kata sekeras tadi.
Namun alih-alih merasa iba, perempuan paruh baya itu justru terkekeh pelan, lalu berbalik meninggalkan ranjang dengan langkahnya yang ringan, seolah-olah ia telah merasa puas karena berhasil menorehkan luka yang begitu dalam di hati menantunya.
Sementara itu di jalan raya yang kian ramai menjelang waktu senja, mobil hitam milik Handrian terus melaju. Namun didalamnya, hati pria itu malah tidak benar-benar menyatu dengan jalanan yang ia lalui. karena setiap kilometer yang ia tempuh terasa seperti jarak yang memisahkannya, dan semakin menjauh dari Rosalina.
Tangannya yang memegang kemudi mulai mengeluarkan keringat dingin, bahkan sesekali ia mengusap wajahnya dengan kasar, seolah ingin menghapus segala keraguan yang kini menjeratnya.
Bayangan wajah pucat istrinya itu terus menghantui benaknya. Rosalina dengan bibir pucat, Rosalina yang memanggil namanya dengan suara yang lirih, Dan Rosalina yang selama ini selalu ada untuknya.
Namun di sisi lain, suara ibunya juga kembali bergema di telinga.
"Kamu tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Masa depanmu ada di perusahaan itu, bersama Adelina dan anak yang dikandungnya."
Mengingat hal itu, tangan Handrian terlihat meremas kemudi dengan lebih erat.
"Tapi bagaimana kalau aku salah, Bu? Bagaimana kalau aku kehilangan Rosalina untuk selamanya?" gumamnya pada dirinya sendiri dengan suara yang terdengar serak.
Ia sempat menepi di pinggir jalan beberapa menit, dengan mesin mobil yang masih menyala.
Kedua tangannya juga terkulai di atas kemudi, dengan mata yang terus menatap kosong kearah depan.
"Ya Tuhan… apa yang harus aku lakukan? Rosalina… maafkan aku…" bisiknya, nyaris tercekik oleh tangisannya yang tertahan.
Namun tiba-tiba saja bayangan wajah Adelina pun muncul di kepalanya. Wajah perempuan itu yang terlihat menangis dengan suara lirihnya saat memohon agar ia datang, serta ancaman dari ayahnya yang bisa menghancurkan kariernya dalam sekejap.
Kebimbangannya itu semakin mencekik. Hatinya seolah terbelah menjadi dua. Dengan satu bagian berteriak untuk kembali ke rumah sakit, dan memeluk Rosalina, serta setia disisinya. Namun bagian lain juga seolah terikat pada masa depan, dan juga pada janji semu tentang pekerjaan, kehormatan, dan seorang anak yang dikandung oleh perempuan lain.
Hingga akhirnya, ia pun menutup matanya rapat-rapat, dengan kepalanya yang terjatuh pada sandaran kursi.
"Aku… benar-benar terjebak." lirihnya, dengan suara yang terdengar lemah.
Namun waktu seolah tidak mau berhenti berjalan, karena jam terus saja berdetak, roda mobilnya juga terus berputar, sehingga jarak menuju rumah keluarga Adelina kian mendekat.
Dan dengan setiap detik yang berlalu, hati Handrian terasa semakin hampa, seakan ia sedang berjalan menuju takdir yang tidak pernah benar-benar ia inginkan.
Sedangkan dikamar rumah sakit, Rosalina masih terisak pelan meski air matanya sudah mulai kering. Ia pun memandang langit-langit ruangan dengan bibir yang bergetar.
"Kalau memang ini jalannya, aku harus kuat… Aku tidak akan menyerah meskipun aku harus menjalani hidupku sendirian…"bisiknya lirih.
Dan untuk pertama kalinya, di balik kelemahannyan itu, Rosalina merasa hatinya sedang dilatih oleh takdir, yang mengajarinya untuk melepaskan Handrian, dan mulai berdiri sendiri, serta tidak lagi berharap pada cinta yang tidak pernah ada untuknya.
Sehingga ia pun menurunkan kakinya perlahan dari ranjang rumah sakit, sampai telapak kakinya itu menyentuh lantai yang dingin.
Dan dengan menggunakan tangan kirinya, ia mencabut jarum infus yang menancap ditangan sebelah kanannya. Lalu dengan langkah pelan ia berjalan kearah pintu keluar dari ruangan itu, sambil memegangi pelipisnya yang masih terasa begitu nyeri.
Bersambung...