Demi menikahi wanita yang dicintainya, Arhan Sanjaya mengorbankan segalanya, bahkan rela berhutang banyak dan memenuhi semua keinginan calon mertuanya. Terbelenggu hutang, Arhan nekat bekerja di negeri seberang. Namun, setelah dua tahun pengorbanan, ia justru dikhianati oleh istri dengan pria yang tak pernah dia sangka.
Kenyataan pahit itu membuat Arhan gelap mata. Amarah yang meledak justru membuatnya mendekam di balik jeruji besi, merenggut kebebasannya dan semua yang ia miliki.
Terperangkap dalam kegelapan, akankah Arhan menjadi pecundang yang hanya bisa menangisi nasib? Atau ia akan bangkit dari keterpurukan, membalaskan rasa sakitnya, dan menunjukkan kepada dunia bahwa orang yang terbuang pun bisa menjadi pemenang?
Karya ini berkolaborasi spesial dengan author Moms TZ.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Merampas kembali.
.
"Aku tidak bisa mengambil kembali tanah itu. Tapi orang lain bisa.”
“Maksudmu?"
Arhan mendekatkan wajahnya pada Budi dan menatap temannya dengan wajah serius. "Kamu tahu nggak, di mana aku bisa menjual tanah dengan cepat?"
Budi mengangguk, "Aku tahu sih, tapi sangat riskan, Han. Orang ini terkenal kejam dan tanpa ampun."
"Maksudnya?" tanya Arhan penasaran.
Budi menjelaskan, "Jika di atas tanah itu masih ada bangunan, dia tidak segan-segan untuk merobohkannya."
Arhan menjentikkan jarinya sambil tersenyum lebar, "Itu yang aku cari. Antar aku ke sana sekarang juga, Bud. Aku tidak ingin menundanya lagi."
"Tapi,,,” Budi merasa ragu. "Apa kamu yakin mau menjual tanah itu? Dulu kamu susah payah menabung hanya agar bisa membeli tanah itu.”
"Aku tak pernah seyakin ini. Lagi pula, untuk apa aku pertahankan? Aku malas ribut dengan dua pengkhianat itu. Andaipun aku bisa mengambilnya kembali, aku juga jijik berada di sana.”
"Baiklah kalau kamu memang sudah mantap. Besok saja aku antar kamu. Sekarang istirahatlah, hari sudah larut. Kamu pasti juga lelah setelah seharian dari pagi mengurus semua ini. Ingat, Han. Kesehatan kamu lebih penting dari segalanya. Jangan karena terlalu bernafsu, terus kamu malah jadi sakit.”
“Kamu benar. Makasih ya, sudah mau ngingetin. Aku gak tahu bisa apa kalau gak ada kamu." Arhan benar-benar merasa bersyukur, di saat dirinya terpuruk, masih ada seseorang yang berdiri di sampingnya tanpa lelah.
*
Keesokan harinya, dengan diantar oleh Budi, Arhan pergi ke rumah tuan Dargo, bos besar yang dimaksud oleh Budi semalam. Sesampai di sana mereka langsung di sambut oleh para anak buah Tuan Dargo . Setelah Arhan menyampaikan niatnya, pengawal itu pun mengantar Arhan dan Budi menghadap bosnya.
Memasuki ruangan yang berdiameter empat kali empat meter itu, Arhan benar-benar takjub. Rumah yang begitu mewah layaknya istana. Benar-benar seorang bos besar di kota kecil itu.
Di dalam ruangan itu tampak seorang pria paruh baya sedang menghisap cerutunya dan mengepulkan asap ke udara yang membuat ruangan tersebut terasa pengap.
"Ada apa kau datang menemuiku anak muda?" tanya tuan Dargo dengan suara berat dan pandangan menyelidik.
"Saya datang untuk menjual tanah kepada Anda." Arhan menjawab tanpa keraguan. Ia ingin urusannya cepat selesai dan segera pergi dari tempat itu.
Tanpa diminta, Arhan kemudian menyodorkan sertifikat tanahnya, meletakkan di atas meja dan mendorongnya pelan hingga sampai di hadapan Tuan Dargo.
Tuan Dargo menatap sejenak seolah meneliti wajah Arhan. Arhan yang membalas tatapannya tanpa gugup membuatnya sedikit penasaran. Hanya sesaat lalu ia mengambil dan memeriksa keaslian sertifikat tersebut. Tampak pria paruh baya itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Arhan Sanjaya, apa ini namamu?" tanya Tuan Dargo saat membaca nama yang tertera dalam sertifikat.
Arhan mengangguk. “Benar, Tuan. Itu nama saya. Tanah yang ingin saya jual itu benar-benar milik saya."
Arhan lalu memberitahukan lokasi tanah tersebut.
"Berapa harga yang kau inginkan?" tanya tuan tanah seraya menatap Arhan.
"Seperti yang Anda lihat di peta lokasi. Letak tanah itu cukup strategis, ada di dekat jalan raya," jawab Arhan tenang. “Anda juga bukan orang awam, pasti tahu nilai tanah tersebut. Ditambah lagi, di atas tanah itu sudah ada sebuah rumah layak huni. Anda bisa menempati atau menyewakannya. Itu akan menjadi passife income yang menguntungkan bagi Anda.”
Tuan tanah tersenyum melihat sikap Arhan yang tenang tetapi ada ketegasan terdengar dari tutur katanya. Dan satu lagi yang menarik perhatiannya, Arhan cukup pintar dalam ilmu marketing. Kemampuannya bernegosiasi tak diragukan.
Kesepakatan pun terjadi dengan harga yang disetujui kedua belah pihak. Setelah memastikan uang itu terkirim ke rekening pribadinya, Arhan serta Budi pamit undur diri dari sana.
*
“
*
Matahari merangkak dia naik. Fadil dengan gayanya yang parlente, dan Nurmala yang mengenakan pakaian seksi, baru saja hendak melangkah keluar rumah. Aroma parfum mahal menguar dari tubuh mereka, kontras dengan wajah mereka yang terlihat sediikit kusut.
Restoran kekinian yang baru sebulan mereka rintis dengan modal uang yang mereka curi dari Arhan, menjadi sumber kebanggaan sekaligus pundi-pundi rupiah yang menggiurkan. Namun, baru saja seorang anak buahnya memberikan informasi yang membuat mereka merasa geram.
Mereka harus segera berangkat ke restoran untuk mengatasi masalah yang sedang terjadi.
BRAK! BRAK! BRAK!
Baru saja mereka hendak melangkah keluar, keduanya dikejutkan oleh pintu rumah mereka digedor dengan brutal. Jantung Nurmala berdegup kencang. Ia dan Fadil saling pandang, siapa gerangan yang berani mengganggu mereka sepagi ini?
Fadil dan Nurmala bergegas berjalan menuju pintu dan membukanya. Alangkah terkejutnya mereka mendapati Tuan Dargo yang berdiri tegak dengan sorot mata dingin. Di belakangnya, beberapa anak buahnya berbadan tegap, siap menjalankan perintah.
Siapa yang tidak mengenal Tuan Dargo, seorang tuan tanah yang terkenal kejam di daerah mereka.
"Kalian berdua," suara Tuan Dargo menggelegar, memecah keheningan pagi. "Kosongkan rumah ini sekarang juga!"
Fadil dan Nurmala saling pandang, tak mengerti. "Ma-maksud Anda apa, Tuan?" tanya Fadil gugup, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
Tuan Dargo menyeringai. "Tanah ini, beserta bangunan di atasnya, sudah menjadi milik saya. Jadi, kalian berdua tidak punya hak lagi untuk berada di sini."
Nurmala memucat. "Apa maksudnya? Jelas-jelas ini adalah rumah saya, bagaimana bisa tiba-tiba menjadi milik Anda?” Nurmala berteriak panik.
“Apanya yang tidak bisa? Asal ada uang apapun bisa." Tuan Dargo menatap ke arah Nurmala dengan berkacak pinggang.
"Tidak mungkin! Ini pasti kesalahan!" sergah Nurmala dengan nada tinggi. "Tanah ini milik kami! Kami punya bukti!"
Tuan Dargo mengangkat sebelah alisnya. "Bukti? Saya juga punya bukti." Tuan Dargo mengangkat sertifikat yang ada di tangannya, dan menunjukkannya ke hadapan Fadil dan Nurmala. “Ini adalah sertifikat asli atas tanah ini. Arhan Sanjaya pemilik asli tanah ini baru saja menjualnya kepada saya.”
Tanpa menunggu jawaban, Tuan Dargo memberi isyarat kepada anak buahnya. "Keluarkan mereka! Jika mereka melawan, jangan ragu untuk bertindak!"
Anak buah Tuan Dargo bergerak cepat. Fadil dan Nurmala berusaha melawan, namun kekuatan mereka tak sebanding. Dalam hitungan menit, mereka sudah diseret keluar rumah, barang-barang mereka dilempar begitu saja ke halaman.
Nurmala terduduk lemas di tanah, air mata mulai membasahi pipinya. Fadil berusaha menenangkan istrinya, meskipun hatinya sendiri dipenuhi amarah dan kebingungan.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Mas?" tanya Nurmala dengan suara lirih.
Fadil terdiam. Restoran yang menjadi harapan mereka, kini sedang dalam masalah. Rumah yang mereka banggakan, kini menjadi milik orang lain.
Tuan Dargo menatap mereka dengan tatapan merendahkan. "Sekarang, pergilah! Jangan sampai anak buah saya melakukan hal yang lebih buruk lagi!"
Fadil dan Nurmala bangkit dengan susah payah. Dengan langkah gontai, mereka memasukkan barang-barang yang dilempar oleh anak buah Tuan Dargo ke dalam mobil, lalu meninggalkan rumah yang sejatinya memang bukan milik mereka.
“Sekarang kita harus bagaimana Mas?" Tanya Nurmala ketika mereka sudah berada dalam mobil.
"Si*alan si Arhan!" Fadil menggeram tak terima.
Sementara itu, tak jauh dari tempat itu, Arhan tersenyum puas.
"Kalian yang memulai pertarungan ini," ucapnya dalam hati, "jangan salahkan jika aku melakukan perlawanan. Dan tunggulah, kejutan dari ku masih belum selesai!"
Gusti mboten sare...
orang tua macam apa seperti itu...
membiarkan anaknya melakukan dosa...🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️
bukan malah menyalahkan org lain..
wah..minta dipecat dg tidak hormat nih istri...