Pernikahan tanpa Cinta?
Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?
Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
“Jadi berita itu benar, Ra?” tanya Kevin sekali lagi. Nada suaranya penuh rasa ingin tahu, tercampur dengan ketidakpercayaan. Seolah ia masih sulit mencerna apa yang baru saja ia lihat di media.
Diandra menegakkan tubuhnya perlahan. Nafasnya terhela berat, seakan setiap oksigen yang masuk tak cukup untuk meredakan sesak di dadanya. Kepalanya dipenuhi riuh suara yang tak bisa ia bungkam, berita itu terus berputar di kepalanya, menyayat rasa tenang yang coba ia jaga.
Ia tidak yakin… tapi kalau bukan Lingga, siapa lagi yang membocorkannya? Publik toh memang akan tahu cepat atau lambat. Hanya saja, bukan begini caranya. Bukan dengan headline murahan yang kini tersebar di mana-mana.
Dan yang paling menghantam dadanya: identitas yang ia sembunyikan rapat-rapat kini terkuak begitu saja. Semua branding yang ia bangun dengan susah payah, runtuh dalam semalam. Selama ini ia berjuang mati-matian untuk karier, untuk masa depan yang ia bangun dengan tangannya sendiri, tanpa menumpang nama keluarga, tanpa bergantung pada status siapa pun.
“Apa gue masih harus klarifikasi?” gumam Diandra lirih, suara pasrah.
Kevin memiringkan kepala, tidak puas dengan jawaban itu. “Jadi benar?” ulangnya, suaranya setengah tidak percaya.
“Hm.” Diandra hanya menggumam, malas menambahkan penjelasan lebih jauh. Berbohong pun percuma.
Kevin menelan ludah. “Jadi… yang nganter lo tadi, itu dia?”
“Vin!” suara Diandra meninggi, tatapannya tajam. “Bisa gak lo berhenti tanya-tanya soal itu dulu?” ketusnya.
Kevin terdiam, lalu menghela napas panjang.
“Kalau laki lo emang Lingga Aditya Wijaya, gue setuju sama Kak Sandra,” ucap Kevin akhirnya. “Kayaknya cuma dia yang punya kuasa buat take down berita secepat itu.”
Diandra mendengus sinis. “Lo tau kan, liciknya Lingga? Dia pasti sengaja mancing opini publik buat jatuhin gue.” Matanya berkilat penuh emosi.
“Sejak awal gue udah feeling. Tiba-tiba maksa nikah sama gue. Dia pasti punya tujuan. Cari keuntungan dari gue.” Suaranya bergetar menahan kesal.
Belum sempat Kevin membalas, suara lain terdengar dari arah pintu. “Ra, maafin gue.”
Diandra menoleh. Marissa berdiri di sana, wajahnya penuh rasa bersalah.
“Kalau bukan karena masalah keluarga gue, lo gak mungkin ada di posisi ini,” ucap Marissa pelan, matanya berkaca-kaca.
Diandra menarik napas dalam-dalam, lalu menggeleng. “Udahlah, Ca. Semuanya udah kejadian. Lagi pula yang mutusin nikah sama dia kan gue sendiri. Lo gak salah.” Senyum tipisnya terlihat dipaksakan.
“Tapi Kakak yakin bukan Lingga yang nyebarin berita itu.” ujar Sandra yang sejak tadi berpikir siapa yang ada di balik semua itu.
“Kak!” Diandra menatap kakaknya dengan sorot mata tak percaya. “Jelas-jelas dia yang punya power buat nyebar ini semua. Dan Kakak masih yakin bukan dia?” ujarnya.
Sandra tidak langsung membalas. Ia hanya menatap adiknya lekat-lekat, dengan ketenangan yang kontras sekali dengan badai yang berkecamuk di dalam diri Diandra. “Biar Kakak yang cari tahu,” ucapnya pelan namun mantap.
“Ra, sekarang kamu harus lebih hati-hati. Setelah ini, semua orang bakal makin kepo tentang siapa kamu sebenarnya. Walaupun berita itu sudah di-take down, tapi tetap saja masih ada yang melihatnya."
Diandra mendengus keras, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya bergetar menahan emosi, napasnya tersengal seperti habis berlari jauh. Perlahan tangannya ia turunkan, menyingkap wajah dengan tatapan mata merah yang penuh amarah.
“Sialan!” umpatnya, tak lagi mampu menahan ledakan yang sejak tadi mendesak keluar.
“Kamu tenang dulu,” suara Sandra terdengar lebih lembut dari biasanya, meski ada ketegasan yang tersembunyi di baliknya. “Kita tunggu penjelasan Lingga. Kakak yakin, dia nggak terlibat dalam semua ini.”
___
Suara bel apartemen terdengar nyaring, membuat Diandra mendongak dari sofa dengan wajah kusut. Ia memang memilih kembali ke apartemennya malam ini, jangan harap ia mau pulang ke rumah Lingga. Hatinya sudah terlanjur penuh amarah, dan yang paling tidak ia butuhkan adalah kehadiran pria itu.
Namun bel itu tak berhenti, disusul dengan ketukan berulang yang semakin membuat darahnya mendidih. Dengan langkah cepat bercampur kesal, Diandra berjalan ke arah pintu dan membukanya dengan kasar.
"Diandra—"
PLAK!
Satu tamparan mendarat telak di pipi Lingga bahkan sebelum pria itu sempat melanjutkan ucapannya. Suara tamparan menggema singkat di ruang sempit apartemen. Diandra bisa melihat jelas kulit pipi Lingga memerah, meski warna kulitnya sedikit kecoklatan.
"Jadi ini tujuan kamu?!" suara Diandra meninggi, bergetar menahan emosi. "Skenario kamu untuk nikahin aku terus hancurin karier aku, hah?!"
Lingga menahan napas sejenak, menahan sakit di pipinya. "Dengarkan saya dulu, bukan saya."
"Bohong!" bentak Diandra cepat.
Mereka saling bertatapan. Tak ada kata-kata, hanya kemarahan yang saling bertabrakan di mata masing-masing. Udara seakan penuh ketegangan.
"Kita masuk dulu," ucap Lingga akhirnya, melangkah masuk tanpa menunggu izin, lalu menutup pintu apartemen.
"Mana janji kamu, Lingga!" suara Diandra meninggi, hampir pecah.
"Saya tidak menyebarkan foto itu, Diandra." Nada Lingga merendah, mencoba membujuk dengan kesabaran yang jarang ia tunjukkan.
Wajahnya berubah memelas, sesuatu yang jarang ia lakukan di hadapan siapa pun. Ia bahkan jarang meminta maaf meski bersalah, tapi kini ia merendahkan dirinya demi kepercayaan wanita di depannya ini.
"Kalau bukan kamu, siapa?!" Diandra mendengus kasar. "Yang tahu pernikahan ini cuma kita berdua, Lingga! Cuma kita!"
Lingga mengembuskan napas panjang, berusaha menahan gejolak yang mendesak dadanya.
“Kamu tahu, saya baru pulang meeting dari luar kota. Bahkan saya nggak tahu kalau ada berita itu, Diandra. Begitu saya lihat, saya langsung minta untuk take down dan buru-buru ke sini.” nada suaranya terdengar terkontrol, tapi rahangnya yang mengeras jelas menunjukkan ia sedang menahan emosi. Ia sama marahnya, sama terluka, namun sadar, jika ia ikut meninggikan suaranya hanya akan membuat Diandra makin menjauh.
“Terserah!” bentak Diandra, suaranya bergetar di antara amarah dan luka. Tangannya teracung, menunjuk ke arah pintu. “Sekarang… pergi dari sini!”
Lingga mendongak, menatapnya dingin. "Apa maksud kamu?"
Diandra tercekat sejenak. Ekspresi datar dan suara dingin Lingga justru lebih menakutkan daripada amarahnya. Ia lebih suka melihat Lingga meledak daripada wajah beku itu.
"Saya kesini untuk menemui istri saya," Lingga menegaskan, menekankan kata istri. Ia melangkah mendekat, tatapan matanya menusuk. "Dan menjelaskan semua kesalahpahaman ini. Harus saya ulang berapa kali supaya kamu percaya? Jangan menuduh tanpa bukti, Diandra." suara Lingga rendah namun berat, penuh penekanan.
"Kalau saya menyebarkan foto itu, apa untungnya buat saya?" tanyanya lagi, kali ini dengan tatapan lurus yang membuat Diandra hampir goyah.
"Saya datang bukan untuk cari ribut, tapi untuk pastikan kamu baik-baik saja setelah berita itu. Dan apa yang saya dapat? Tamparan, di hari kedua kamu jadi istri saya."
Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Wajah Lingga tampak tegang, marah, kecewa, dan kacau namun ia memilih berbalik, melangkah menuju pintu.
"Saya akan buktikan, Diandra. Saya akan buktikan itu bukan saya." suara Lingga terdengar rendah namun tegas, seolah setiap katanya diukir dengan tekad. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah keluar, meninggalkan Diandra berdiri kaku dengan napas memburu, dadanya sesak antara amarah yang membakar dan rasa bersalah yang diam-diam merayap masuk, menyiksa lebih dalam dari yang ingin ia akui.
Perlahan, Diandra jatuh terduduk di sofa ruang tengah apartemennya. Wajahnya penuh frustasi, matanya kosong menatap ke depan. Ironis, baru sehari menyandang status sebagai istri Lingga Aditya Wijaya, hidupnya sudah terasa seperti jebakan yang menyesakkan.