NovelToon NovelToon
Gadis Dari Utara

Gadis Dari Utara

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Pengawal / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: moonlightna

SEASON 1!

Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.

Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...

Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.

Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.

Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?

Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?

Happy reading 🌷🌷

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BENAR TERNYATA JEBAKAN

Prakk!

Mangkuk yang berisi rempah-rempah terjatuh dari tangan Fyona, pecah berhamburan di lantai ruang paviliun tabib. Ia berdiri terpaku, menatap kosong ke depan. Jantungnya berdegup kencang, seperti mencoba mengalahkan ketakutan yang menyelimutinya.

“Daren…” gumamnya lirih.

Air mata jatuh perlahan, membasahi pipi yang biasanya tegas.

Karin segera menghampiri, nadanya cemas. “Fyona, ada apa?”

Fyona menunduk, kedua tangannya gemetar. Tapi Karin menggenggam bahunya pelan. “Dengar, Daren akan baik-baik saja. Dia bukan anak lemah. Dia lebih kuat dari yang kita kira.”

Fyona mengangguk samar, namun suara pelannya tajam menusuk.

“Benar, Tapi... aku tidak akan memaafkan diriku... jika sesuatu terjadi padanya.”

Tangannya mengepal erat, seperti ingin meremukkan rasa bersalah yang menyusup ke dalam dadanya.

“Berdoalah,” ucap karin, mencoba menenangkan. “Satu hari menghilang bukan berarti....”

Tapi kalimatnya terputus saat matanya melihat pecahan piring di lantai. Fyona telah berjongkok, mengumpulkan serpihan itu diam-diam. Gerakannya kaku, namun penuh fokus, seolah rasa bersalahnya hanya bisa dibayar dengan sesuatu... apa pun.

Ia memungut satu pecahan beling, menatapnya lama… dan mengusap air matanya.

Karin berjongkok membantu Fyona mengumpulkan pecahan beling. “Kenapa kau bisa... sesayang itu pada Daren?”

Fyona terdiam. Napasnya terputus, seolah ada ribuan kata yang tertahan di tenggorokannya.

Namun sebelum ia sempat menjawab, seorang pelayan memanggil Karin dari luar dapur. Karin berdiri perlahan, lalu berbalik pergi.

Fyona tetap di sana, sendiri, bersama pecahan beling dan bayangan anak kecil berambut perak yang mungkin sedang bertarung entah di mana.

Sementara di balkon utama istana yang sangat luas.

“Kenapa? Kau ikut bertempur juga?”

Suara itu datang dari belakang. Sang Kaisar berdiri di ambang pintu, suaranya datar tapi matanya mengamati tajam, melihat permaisuri yang sejak tadi berdiri siaga memandangi langit mendung dari balkon tertinggi istana.

“Apa status siaga satu sudah diumumkan pada masyarakat?” tanya sang Permaisuri, suaranya tenang tapi dingin.

Kaisar mengangguk pelan. “Sudah. Pengungsian dimulai sejak pukul empat.”

Ia memperhatikan wajah istrinya yang kini bukan sekadar permaisuri. Dulu, dia adalah komandan perang. Dan kini, tatapan itu kembali... mata seorang ibu yang bersiap kehilangan apa pun demi anak-anaknya.

“Kau gelisah?”

Permaisuri menoleh sedikit. “Tidak ada seorang ibu yang bisa benar-benar tenang… saat anaknya belum kembali.”

Sang Kaisar mendekat, menyentuh bahu sang permaisuri dengan lembut. “Aku paham. Tapi percayalah… mereka anak-anak yang kuat. Mereka akan kembali.”

Langkah tergesa-gesa memecah percakapan.

“Ada yang harus kalian tahu… Ini mendesak.”

“Apa yang terjadi?” tanya Kaisar cepat.

Kanel menatap keduanya serius.

“Suku Imbra… Mereka tidak menyerang ke barat seperti perkiraan awal.”

Ia menelan ludah. “Mereka justru mundur... menuju wilayah hutan.”

"Sebenarnya ini adalah jebakan!"

Permaisuri langsung menoleh.

“Hutan? Yang ada dalam wilayah barat utara?”

Kanel mengangguk.

“Daerah itu…” Kaisar tampak mulai menyadari. “Ternyata...sasaran mereka Gerald!”

Kanel mengepalkan tangan. “Gerald, Daren, Jaden, Benson... Mereka dalam bahaya besar! Sepertinya suku umbra dikendalikan oleh seseorang.”

“Tidak,” gumamnya. “Daren...”

Kaisar langsung bergerak menuju balkon utama.

“Naikkan alarm tingkat tertinggi! Semua kavaleri dan unit udara, segera ke zona barat hutan. Pantau segala pergerakan. Siapkan tim pencarian dan penyelamatan.”

Permaisuri mengambil pedang peraknya yang tertempel di dinding.

“Aku akan ikut.”

Kaisar tidak melarang. "Tunggu aku di bawah," Kata Kaisar tegas.

Kanel tidak menjawab lagi.

Begitu mendengar nama hutan itu disebut, tubuhnya langsung bergerak. Jubahnya mengepak saat ia berbalik dan berlari menuruni tangga istana dengan langkah yang jauh dan cepat.

“Jangan… jangan sampai umbar menemukan titik keberadaan anak-anak…” gumamnya, napasnya mulai memburu.

Pelayan-pelayan yang lewat menyingkir, terkejut melihat sang mantan jenderal yang biasa tenang kini berlari seperti dikejar ajal. Matanya membara. Bukan hanya karena Gerald....tapi karena anak-anak lain juga ada di sana. Daren. Benson. Jaden.

Anak-anak itu belum tahu... bahwa mereka sedang dikepung oleh bahaya yang tak bisa ditawar.

“Sumpahku belum selesai…” desisnya pada udara. “Aku tidak akan biarkan anak-anak mati tanpa makna. Tidak akan.”

Tangannya mencengkeram pagar batu di sisi lorong menurun. Ia melompat dua anak tangga sekaligus, melewati para prajurit yang hendak naik.

“Siapkan kuda cepat dan bendera peringatan hitam! Kirimkan ke semua unit penjaga gerbang hutan! Sekarang!”

“Siap, Komandan! ” seru salah satu kapten muda.

Kanel tak berhenti. Ia berlari ke arah kandang utama, tempat kuda perangnya disimpan.

Dan saat suara genderang darurat mulai berdentum dari menara atas istana, satu kalimat tak berhenti terngiang dalam benaknya:

Kau akan gagal melindungi mereka... seperti....

Ia mengepalkan tinjunya lebih kuat.

"Tidak kali ini."

Genderang siaga darurat menggema di seluruh penjuru istana. Langkah-langkah berat prajurit mengguncang lorong-lorong batu, suara perintah bersahut-sahutan, dan langit di atas mereka mulai dipenuhi tanda-tanda pertempuran.

Fyona berlari, napasnya terputus-putus, jantungnya berpacu lebih cepat dari derap kaki para penjaga.

"Guru” serunya, begitu menemukan sang tabib dan pelatih siaga itu di halaman samping istana.

Karin sudah lengkap dengan zirah ringan dan lambang medis kerajaan di lengan kirinya. Ia sedang memeriksa pasukan bantuan yang bersiap menuju hutan.

Fyona memeluk dirinya sendiri. “Aku ikut. Aku harus ikut.”

“Tidak, Fyona,” tegas Karin. “Kau bukan bagian dari barisan depan. Kau belum siap.”

“Tapi Daren ada di sana!” Suara Fyona bergetar, nyaris putus. “Aku tahu aku bukan prajurit… tapi aku juga bukan penakut!”

Karin menoleh dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar menatap Fyona. Mata gadis itu basah tapi tidak gentar.

Fyona menahan air mata, tetapi tubuhnya gemetar. “Aku tidak akan memaafkan diriku… kalau aku hanya duduk dan menunggu. Kalau Daren terluka lagi...atau… atau tak kembali, aku…”

Karin terdiam sejenak.

Lalu, dengan berat hati, ia berjalan ke sudut gudang senjata pribadi, membuka peti tua yang sudah lama tak disentuh.

“Pakai ini,” ucap Karin akhirnya.

Dari dalam, ia mengangkat sebuah pelindung dada kecil, terbuat dari baja ringan dan kulit tua yang dulu ia gunakan ketika ia masih muda. Fyona menatapnya, tercekat.

“Ini... untukku?”

Karin mengangguk pelan. “Dulu aku sepertimu. Menolak tinggal diam. Jika kau memang harus pergi… maka pergilah bukan sebagai beban, tapi sebagai harapan.”

Fyona cepat-cepat mengenakannya, meski ukurannya masih agak longgar. Karin lalu mengambil busur kecil dan tabung anak panah.

Ia menyerahkannya pada Fyona. “Kau tahu caranya.”

Fyona mengangguk pelan, matanya masih merah tapi penuh cahaya.

“Gunakan tekadmu, Fyona. Bukan untuk membunuh… tapi untuk melindungi Daren.”

Keduanya saling menatap sejenak. Lalu Fyona menunduk hormat.

“Aku akan bawa dia pulang.”

Bersama para tabib tempur dan pengawal bayangan, Fyona ikut berbaris dengan yang lain, yang akan mengiringi pasukan utama.

Di kejauhan, suara kuda dan peluit tanda keberangkatan mulai terdengar.

Suara peluit panjang menggema. Tanpa banyak kata lagi, Karin menoleh pada seekor kuda hitam bertubuh ramping namun kuat yang sudah disiapkan di sisi barisan depan. Ia menaikinya dengan cekatan, lalu menoleh ke Fyona yang berdiri termangu dengan panah di punggung dan pelindung dada masih longgar.

"Naiklah," ucap Karin singkat, mengulurkan tangannya.

Fyona menatapnya, terkejut sejenak... lalu cepat-cepat meraih tangan Karin dan melompat naik ke pelana belakang. Tangannya menggenggam pinggang Karin erat, dan tubuhnya bergetar, entah karena takut atau karena tekad yang menggelegak terlalu dalam.

Kuda itu meringkik, lalu melaju cepat di antara barisan pasukan yang mulai bergerak.

Langit telah berubah menjadi hitam kelam. Bintang-bintang tampak redup, seolah enggan menyaksikan malam yang akan menelan darah dan doa.

Karin menarik kendali kudanya dengan cepat. Fyona di belakangnya menunduk, memeluk pinggang Karin erat-erat, napasnya memburu, dan matanya terus menatap ke depan, menembus bayangan pepohonan yang menjulang seperti raksasa bisu.

Angin malam menggigit tajam, menusuk kulit dan hati. Dari kejauhan, suara benturan logam dan pekik pertempuran terdengar samar. Hutan telah mulai menelan cahaya... dan juga nyawa.

Karin mempercepat laju kudanya. “Pegangan yang kuat, Fyona!” serunya.

Fyona hanya mengangguk, matanya tak berkedip.

Tunggu aku, Daren. Kau harus tetap hidup…

Di kiri dan kanan mereka, pasukan kerajaan juga melaju dengan senyap namun tegas. hutan itu gelap, cahaya matahari tidak terlihat. obor yang di pegang prajurit bergoyang-goyang liar, menciptakan bayang-bayang aneh di wajah para prajurit.

Lalu...

Seekor burung hitam melesat rendah di atas kepala mereka, melengking nyaring. Bukan burung biasa. Karin dan Fyona langsung saling menatap.

“Sinyal.” Karin mencengkram tali pelana. “Itu dari penjaga timur. Mereka sudah mulai bertempur.”

Fyona menelan ludah. Tangannya mengepal di atas anak-anak panah.

★★★★

"Ke arah sana!" seru Gerald.

1
Hatus
Kasihan banget Daren, masih bayi tapi cobaan hidupnya berat banget😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!