Gyantara Abhiseva Wijaya, kini berusia 25 tahun. Yang artinya, 21 tahun telah berlalu sejak pertama kali ia berkumpul dengan keluarga sang papa. Saat ia berusia 5 tahun, sang ibu melahirkan dua adik kembar laki - laki, yang di beri nama Ganendra Abhinaya Wijaya, dan Gisendra Abhimanyu Wijaya. Selain dua adik kembarnya, Gyan juga mendapatkan sepupu laki-laki dari keluarga Richard. Yang di beri nama Raymond Orlando Wijaya. Gracia Aurora Wijaya menjadi satu-satunya gadis dalam keluarga mereka. Semua orang sangat menyayanginya, tak terkecuali Gyan. Kebersamaan yang mereka jalin sejak usia empat tahun, perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasa di hati Gyan, yang ia sadari saat berusia 15 tahun. Gyan mencoba menepis rasa itu. Bagaimana pun juga, mereka masih berstatus sepupu ( keturunan ketiga ) keluarga Wijaya. Ia pun menyibukkan diri, mengalihkan pikiran dengan belajar. Mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin Wijaya Group. Namun, seiring berjalannya waktu. Gyan tidak bisa menghapus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Makan Siang Dengan Klien?
Papi Rich meminta Cia untuk makan siang bersama pria bernama Arrea Dinata itu, sebagai ucapan rasa terima kasih karena telah menemukan dan mengembalikan kartu pengenal milik Cia.
"Apa harus pergi makan siang berdua, Pi?" Bisik Cia pada sang papi.
Gadis itu merasa tidak perlu berlebihan seperti itu. Lagipula dirinya sudah mengucapkan rasa terima kasih pada pria itu.
"Dia sudah berbaik hati memungut tanda pengenal kamu, Cia. Bagaimana jika orang lain yang menemukannya? Bisa di buang, atau di salah gunakan." Papi Rich ikut berbisik pada sang putri.
Sementara pria bernama Arrea Dinata itu sedang menjawab panggilan telepon di balkon ruangan papi Rich.
"Tapi aku sudah mengucapkan terima kasih, Pi. Itu saja sudah cukup. Tidak perlu berlebihan seperti ini."
Papi Rich menghela nafas pelan. Sebelum ia sempat berbicara, Arrea Dinata telah kembali dari balkon.
"Hmm, pak Rich. Papa saya mengirim pesan. Katanya, beliau ingin bertemu dengan pak Rich, untuk membahas rencana pembangunan hotel di Bali." Ucap pria itu.
"Benarkah? Kapan pak Arthur bisa bertemu?" Tanya papi Rich penuh semangat. Sebab sudah lama ia menunggu untuk bertemu dengan pemilik Dinata Experience and Group itu.
Pengusaha campuran Indonesia - Inggris itu sangat sulit di ajak bertemu, meski telah pensiun dini.
"Kapan saja bisa, pak Rich. Sebab papa sudah jarang ke kantor dan hanya memantau saya dari rumah." Jelas Arrea yang kembali menempati sofa single sebelumnya.
Pria berusia tiga puluh tahun itu sesekali melirik ke arah Cia. Namun, gadis itu mengacuhkannya.
"Baiklah, pak Arrea. Saya akan meminta asisten saya untuk mengatur jadwal agar segera bisa bertemu dengan pak Arthur." Ucap papi Rich.
"Lalu bagaimana dengan pak Rich? Bukankah, seharusnya sudah pensiun?" Tanya Arrea yang kembali melirik Cia.
"Saya masih menunggu keponakan untuk siap memimpin perusahaan. Mungkin sebentar lagi." Ucap papi Rich dengan mengedikkan bahu di akhir kalimatnya.
Cia yang berdiri di samping papi Rich pun menarik pinggiran jas sang papi, agar pria paruh baya itu melihat ke arahnya.
"Pi, aku mau kembali ke devisi ku." Bisik gadis itu.
Papi Rich mengangguk pelan. "Oh ya, pak Arrea. Sebagai ucapan rasa terima kasih Cia pada pak Arrea, dia ingin mengajak anda makan siang bersama. Apa bisa?"
Mata Cia membulat sempurna. Bisa - bisa sang papi berbicara seperti itu.
"Kebetulan sekali. Siang ini jadwal saya kosong." Ucap Arrea dengan menyunggingkan sudut bibirnya.
"Pi. Aku tidak membawa dompet." Gerutu gadis itu pelan.
Ia juga tidak membawa ponsel. Sepertinya ikut masuk ke dalam laci ketika Cia merapikan meja kerjanya.
Pria paruh baya itu kemudian merogoh saku celananya. Mengambil dompet, kemudian mengeluarkan sebuah kartu ATM.
"Kamu tau PIN nya, bukan? Tanggal lahir mami kamu."
Cia berdecak kesal. Mau tak mau ia harus menuruti perintah sang papi.
Ia dan Arrea Dinata kemudian keluar dari ruangan papi Rich. Mendapatkan kedipan sebelah mata dari Mona ketika melintas di depan meja wanita dewasa itu.
"Hmm, pak Arrea. Anda bisa pergi lebih dulu. Saya mau mengambil kunci mobil ke ruangan saya." Ucap Cia ketika mereka berada di dalam lift.
"Tidak perlu repot - repot, nona Gracia. Kita bisa makan siang di sekitar sini. Aku lihat, di depan gedung ini, ada sebuah kafe. Kamu bisa mentraktir ku di sana. Jadi, kita tidak perlu pergi dengan mobil." Ucap Arrea dengan santai.
Cia pun hanya mampu mendengus pelan.
'Dasar pria menyebalkan."
Tujuan Gyan datang ke Devisi Keuangan adalah untuk meminta laporan dari Menejer Keuangan. Ia bisa saja meminta Senja untuk pergi ke sana. Namun, pria itu ingin melihat pujaan hatinya. Tak mungkin melewatkan kesempatan yang ada.
Dan sekarang, hingga ia keluar dari dalam ruangan Menejer Keuangan, Cia belum juga kembali dari lantai dua puluh. Mengundang rasa penasaran Gyan, kira - kira siapa orang yang telah menemukan tanda pengenal gadis itu?
"Apa aku harus pergi ke ruangan papi?" Gumam Gyan saat ia keluar dari dalam lift yang membawanya hingga di lantai sembilan belas.
Pria itu sungguh ingin tau. Kenapa orang yang menemukan tanda pengenal Cia, langsung datang ke ruangan papi Rich? Tidak menitipkan benda itu di resepsionis saja.
"Kamu tidak pergi makan siang?" Tanya Gyan pada Senja, saat melihat gadis itu masih menatap komputer yang menyala, padahal sudah waktunya untuk makan siang.
"Saya membawa bekal dari rumah, kak." Ucap Senja.
Kebetulan hari ini sang ibu pergi mengajar di hari. Jadi wanita paruh baya itu sempat membuatkan bekal untuk Senja.
Gyan mengangguk paham. Kemudian menyimpan laporan di atas mejanya.
'*Sebaiknya aku pergi ke ruangan papi*.'
"Apa kak Gyan akan pergi makan siang?" Tanya Senja ketika melihat pria itu beranjak.
"Ya."
Singkat, padat, dan jelas.
Senja pun tidak berbicara lebih banyak.
'*Aku tidak seharusnya bertanya*.' Monolog gadis itu setelah Gyan menghilang dari dalam ruangan.
Tiba di lantai dua puluh.
"Siang, Tante." Sapa Gyan pada Tante Mona yang sedang berdiri di depan lift.
"Kamu mau bertemu dengan pak Dirga?" Tanya wanita itu.
"Tidak, Tan."
Tante Mona mengangguk. "Kebetulan, ayah kamu baru saja pergi. Katanya kangen masakan istri."
"Mungkin ayah makan siang di rumah." Jawab Gyan. "Apa Cia dan papi masih di dalam?" Tanya pria itu kemudian.
"Pak Rich masih di dalam. Ini Tante mau membelikan makan siang untuk beliau. Kalau Cia, dia sudah pergi beberapa menit yang lalu bersama klien dari Dinata Group." Jelas Tante Mona.
"Klien dari Dinata Group? Bukannya Cia datang kemari untuk mengambil tanda pengenalnya? Kenapa bisa pergi makan siang dengan klien?" Gyan semakin penasaran.
"Oh itu. Tadi pak Rich mengatakan kalau klien itu yang menemukan tanda pengenal Cia. Jadi, sebagai ucapan terima kasih, pak Rich meminta Cia untuk mengajak beliau makan siang bersama."
"Papi menyuruh Cia pergi makan bersama pria beristri?" Tanya Gyan tak percaya.
Sebab yang ia tau, Dinata Group di pimpin oleh Arthur Dinata. Pria paruh baya berusia enam puluh tahun.
"Bukan Gyan. Klien kita ini masih muda. Mungkin lebih tua beberapa tahun saja dari kalian. Kalau tidak salah, namanya itu pak Arya Dinata. Tante lupa nama lengkapnya." Jelas sekretaris ayah Dirga itu.
Ucapan Tante Mona membuat Gyan teringat sesuatu. Pembahasan papi Rich saat makan malam keluarga sekitar dua minggu lalu. Pria paruh baya itu berencana menjodohkan Cia dengan salah satu anak dari rekan bisnis mereka.
Dan nama keluarga Dinata menjadi salah satu kandidat yang di sebut oleh pria paruh baya itu.
Apa jangan - jangan, ini hanya akal - akalan papi Rich saja? sengaja ingin mendekatkan Cia dengan pria itu?
"Apa Tante tau, mereka makan siang dimana?"
Tante Mona menggeleng pelan.
Gyan kemudian mengangguk paham. Tante Mona kemudian pamit lebih dulu.
Pria itu kemudian memeriksa lokasi Cia dari aplikasi ponsel. Namun sayang, sepertinya ponsel Cia tertinggal di gedung Wijaya.
"Mereka tidak mungkin makan siang di kantin 'kan?"
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...
cepet Lapor sama papi mu gadis bodoh...
gyan memang kelewatan. gak ada tanggung jawab nya.