Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Godaan yang di tolak
Sore itu suasana rumah masih tenang. Arfan baru saja pulang kerja dengan wajah yang tampak lelah dan banyak pikiran. Jas hitamnya terlihat kusut karena seharian duduk di kursi kantor dan menghadapi tumpukan laporan. Langkah kakinya berat, seperti membawa beban yang tak kasatmata. Pintu ruang tamu ia dorong perlahan, dan suaranya terdengar parau namun lembut.
“Sayang, aku pulang…” ucap Arfan sambil menjatuhkan tubuhnya ke kursi panjang di ruang tamu.
Tas kerjanya ia taruh begitu saja di meja, lalu kepalanya bersandar di sandaran sofa, menatap langit-langit sejenak, menarik napas panjang.
Laila yang sejak tadi membereskan meja di dapur langsung menghampiri sambil tersenyum. Ia tahu suaminya itu pulang dalam keadaan capek.
“Iya, Mas…” sahutnya pelan. Ia mendekati Arfan, mengambil jas blazer yang menempel di tubuh lelaki itu dengan penuh kelembutan.
“Biar aku buka ya, Mas…” ucap Laila sambil menarik pelan jas yang melekat di pundak Arfan. Lelaki itu hanya mengangguk lemah, matanya setengah terpejam. Setelah jas dilepas, Laila membungkuk membuka sepatu pantofel di kaki Arfan. Gerakannya penuh pengertian, seolah ingin menghilangkan sedikit lelah dari tubuh suaminya.
“Capek banget, ya, Mas?” tanya Laila sambil meletakkan sepatu rapi di sudut.
“Iya, sayang… hari ini padat banget. Laporan numpuk, meeting nggak selesai-selesai.” Arfan mengusap wajahnya, lalu menyandarkan kepala lagi.
Tanpa banyak bicara, Laila segera melangkah ke dapur. Ia tahu cara kecil untuk membuat Arfan segar kembali: segelas jus jeruk dingin. Ia memeras buah jeruk satu per satu, menambahkan sedikit madu agar rasanya lebih segar. Tak lama kemudian, ia kembali dengan segelas jus di tangannya.
“Mas, minum dulu jusnya…” ucap Laila sambil menyodorkan gelas itu ke depan wajah Arfan.
Lelaki itu membuka mata, menatap Laila dengan senyum tipis, lalu menerimanya.
“Terima kasih, sayang…” katanya sebelum meneguk jus itu hingga setengah. Laila duduk di sampingnya, pandangannya lembut.
Sambil menunggu Arfan minum, Laila memikirkan sesuatu. Ada rencana yang sudah ia susun dengan Rani sejak siang tadi. Ia ingin meminta izin kepada Arfan untuk pergi sebentar ke rumah ibunya. Sebenarnya alasannya bukan semata menjenguk sang ibu karena kondisi ibunya baik-baik saja tetapi ada hal lain yang perlu ia bicarakan dengan Rani di luar rumah.
Laila menggigit bibir, mencari waktu yang tepat. Ia tahu mood Arfan sedang capek, tapi kalau menunggu malam, mungkin akan sulit. Maka ia memberanikan diri.
“Mas…” panggil Laila dengan nada manja, sengaja agar Arfan tidak merasa terganggu.
“Iya, kenapa sayang?” Arfan menoleh, menatap istrinya dengan mata sedikit mengantuk.
“Boleh nggak… aku ke rumah Ibu sebentar? Nggak lama kok, Mas. Cuma mau lihat keadaan aja.” Laila berusaha terdengar meyakinkan.
Arfan sedikit mengernyit.
“Ke rumah Ibu sekarang? Sendirian?” tanyanya dengan nada terkejut.
“Nggak sendirian kok… Aku ditemani Rani.”
Arfan makin heran.
“Rani?” ucapnya dengan nada sedikit tajam.
Seolah sudah memprediksi, Laila tersenyum kecil dan memberi kode pada Rani yang memang sudah berada di kamarnya sejak tadi. Tak lama kemudian, Rani keluar dengan wajah cerah.
“Sore, Mas Arfan…” sapanya ramah.
Arfan menatap keduanya dengan alis sedikit terangkat.
“Kamu dari tadi di sini, Ran?”
“Belum lama sih, Mas. Laila tadi telepon aku buat temenin ke rumah ibunya. Aku langsung ke sini.” jawab Rani cepat, ikut masuk dalam skenario yang mereka susun.
Arfan terdiam sejenak. Dalam hati, ia merasa kurang sreg. Ada rasa tak nyaman mengizinkan Laila pergi. Bukannya ia tak percaya, tapi beberapa hari terakhir, Bi Ratmi pembantu yang sudah lama bekerja di rumah ini terlihat terlalu dekat, terlalu banyak alasan untuk masuk ke ruang pribadinya. Ia takut kalau Laila keluar, Bi Ratmi akan makin punya kesempatan.
“Ya sudah… Tapi jangan lama-lama, ya.” ucap Arfan akhirnya setelah berpikir.
“Siap, Mas. Aku nggak akan lama.” sahut Laila sambil memeluk Arfan sekilas, menenangkan hatinya. Lelaki itu mengusap pelan rambut istrinya, lalu bangkit menuju kamar untuk merebahkan tubuh.
Sementara itu, Laila pura-pura bersiap mengambil tas kecil dan menggandeng Rani. Mereka keluar dari kamar, lalu mendekati Bi Ratmi yang sedang merapikan bantal sofa.
“Bi, saya dan Rani mau keluar sebentar, jenguk ibu saya.” ucap Laila.
“Oh iya, Bu… Hati-hati di jalan.” jawab Bi Ratmi sopan. Namun di balik sorot matanya, ada sesuatu yang lain rasa penasaran dan sebuah rencana kecil yang sudah ia simpan sejak lama.
Setelah pamit, Laila dan Rani berpura-pura berjalan keluar rumah. Tapi rencana sebenarnya berbeda. Mereka hanya bersembunyi di sudut ruang tamu, di balik partisi dekat sofa panjang. Mereka ingin memastikan dugaan Laila bahwa Bi Ratmi punya niat tidak baik terhadap Arfan bukan sekadar firasat.
Arfan kini sudah di kamar, membuka kancing kemeja satu per satu, membiarkan tubuhnya jatuh di atas kasur empuk. Ia menarik napas lega, menutup mata. Namun, suara langkah pelan di luar kamar membuatnya kembali membuka mata.
Tok… tok… tok…
“pak Arfan… sudah minum obat capeknya?” suara itu lembut, terlalu lembut untuk ukuran seorang ART.
Arfan mengenali suara itu. Bi Ratmi. Ia mengerutkan dahi.
“Enggak, Bi. Saya nggak apa-apa.” jawabnya dari dalam kamar.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka sedikit. Bi Ratmi melongokkan kepala, senyum menggoda menghiasi wajahnya.
“Saya boleh masuk sebentar, pak? Bantu pijitin biar nggak pegal…”
Arfan spontan duduk. Ia merasa tidak nyaman.
“Nggak usah, Bi. Saya cuma mau istirahat. Kamu istirahat juga sana.” ucapnya agak tegas.
Namun Bi Ratmi bukannya mundur, malah melangkah masuk dengan alasan yang manis.
“Aduh, saya kasihan lihat pak arfan kelihatan capek banget. Paling nggak saya pijitin sebentar aja…” ucapnya sambil mendekat. Tangannya sudah siap menyentuh bahu Arfan.
Arfan mundur sedikit, menahan tangan Bi Ratmi.
“Bi, saya bilang nggak usah! Nanti Laila marah kalau tahu.” nada suaranya serius.
Bi Ratmi tersenyum miring, mendekat lagi sambil berbisik.
“Laila kan lagi pergi… Nggak bakal ada yang tahu, pak. Saya janji nggak akan bilang siapa-siapa…”
Arfan menelan ludah, dadanya berdegup. Ada godaan di depan mata, tapi rasa takut jauh lebih besar. Ia mencintai Laila. Ia juga tahu kalau sampai terjadi sesuatu, pernikahannya bisa hancur.
“Bi, keluar sekarang… sebelum saya marah.” Arfan menatap tajam.
Bi Ratmi pura-pura manyun, tapi dalam hatinya ada rasa kesal karena gagal.
“Ya sudah… saya cuma niat baik, pak.” katanya sambil melangkah mundur dengan enggan.
Namun sebelum benar-benar keluar, ia sempat menoleh dan melempar senyum menggoda.
“Kalau pak arfan berubah pikiran… panggil saya aja, ya.” ucapnya sambil menutup pintu perlahan.
Arfan terduduk di tepi ranjang, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia menarik napas panjang, menepuk wajahnya sendiri.
“Gila… hampir aja.” gumamnya. Ia tahu ini bukan godaan main-main.
Di luar, Laila yang bersembunyi bersama Rani mendengar percakapan itu jelas. Wajahnya memerah menahan emosi. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak menyangka Bi Ratmi berani sejauh ini.
“Lail… dugaan kamu bener.” bisik Rani lirih.
Laila menggenggam tangan sahabatnya erat.
“Aku nggak akan tinggal diam, Ran. Besok juga Bi Ratmi harus angkat kaki dari rumah ini.” ucapnya dengan nada bergetar.