Tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus, semua memiliki cerita dan ujiannya masing-masing. Semuanya sedang berjuang, bertahan atau jutsru harus melepaskan.
Seperti perjalanan rumah tangga Melati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Senyum kebahagiaan Viola selalu terpancar dari wajahnya yang terlihat semakin bersih sepanjang praktik. Jelas saja, bahkan Melati sudah membubuhkan tanda tangan pada surat permohonan cerai. Hanya tinggal tanda tangan suaminya saja.
Di sela-sela kesibukan Viola praktik, sempat-sempatnya dia menghubungi Dokter Langit yang saat ini baru selesai melakukan operasi.
"Iya, Dokter Viola."
"Ada kabar baik untuk Dokter Langit."
"Kabar apa?."
"Melati dan Mas Kalingga akan segera bercerai. Jadi Dokter Langit bisa mendekati Melati lagi, aku doakan pasti berhasil."
Wanita itu tahu saat di pestanya, jika wanita yang selama ini dicintai Dokter Langit adalah Melati. Tidak sulit bagi Dokter Langit mendapatkan Melati, karena dia yakin Melati membutuhkan segera pria yang bisa menjadi sosok Papa untuk Sakura dan Lili.
Dokter Langit terdiam, tidak langsung merespon informasi penting dari rekan kerjanya itu. Sedih juga jika harus melihat wanita yang masih berarti dalam hidupnya hidup menderita.
"Dokter Langit?."
"Iya, Dokter Viola."
"Paling mungkin Dokter Langit harus bekerja sedikit lebih keras untuk dekat dengan Sakura dan Lili."
"Maaf, Dokter Viola, teleponnya sudah harus aku akhiri karena ada tindakan lagi."
"Oke."
Langit terpaksa berbohong untuk mengakhiri pembicaraan. Dia pun menatap layar ponselnya, sangat tidak sabar ingin menghubungi Melati dan menanyakan hatinya. Pasti Melati sangat terluka dengan perpisahan itu, jika benar adanya. Karena dia tahu Melati memang sangat mencintai suaminya.
Keinginan tetap menjadi keinginan, dia tidak mau Melati semakin menjauhinya. Langit harus tetap tahu batasan seperti yang selalu dikatakan Melati. Langit memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
Sementara itu di rumah, Mas Kalingga duduk di antara kedua putrinya.
"Mungkin sudah sangat terlambat tapi Papa mau bilang," menatap mata kedua putrinya.
"Maaf pada Lili dan Sakura. Papa benar-benar minta maaf pada kalian." Mata Mas Kalingga langsung berkaca-kaca.
"Papa menyakiti hatiku, hati Lili, hati Mama sama hati Mbah Kakung." Lili juga tidak dapat membendung air matanya setelah melihat Papanya.
"Papa memang jahat sudah menyakiti kalian semua." Mas Kalingga menghapus air mata Lili yang sanggup mengoyakkan hatinya. Mengabaikan air matanya yang terus menetes.
Ternyata ada tangan kecil Sakura yang mau menghapusnya. Sakura tidak mengatakan apa-apa, hanya terus menghapus air mata Papanya. Pria yang tampil gagah dan percaya diri di depan orang-orang ternyata sangat rapuh bila berhadapan dengan kedua putrinya. Tangis Mas Kalingga pecah sambil memeluk Sakura dan Lili.
Bagaimana hari-harinya besok jika tidak ada Melati dan kedua anaknya. Akan seperti apa jadinya, mampu kah hidup tetap baik-baik tanpa mereka.
Mas Kalingga sudah kembali tenang di tangan Sakura dan Lili. Sebenarnya mereka sama-sama terluka karena keadaan. Papa mereka tidak benar-benar salah.
"Kalau keputusan pahit harus Papa dan Mama ambil. Papa minta kalian ikut Mama dan jaga Mama baik-baik untuk Papa."
Lili mengangguk namun Sakura menggeleng.
"Aku mau ikut Papa," seperti di awal Sakura tetap ingin ikut Papanya.
"Dek!," Lili memegang tangan Sakura.
"Biar adil, Kak Lili ikut Mama dan aku ikut Papa." Dia tahu hatinya sakit tapi dia tidak boleh membiarkan Papanya seorang sendiri.
"Papa sudah ada Tante Viola dan anaknya segera lahir, nanti kamu tidak akan disayang lagi."
"Aku tetap mau ikut, Papa, Kak!?"
Perdebatan terjadi di antara Sakura dan Lili.
"Nanti Mama semakin sedih, Dek."
"Mama tidak akan sedih karena ada Kak Lili."
Kemudian Mas Kalingga memeluk kedua putrinya dan mereka pun diam.
Di depan pintu kamar Melati ikut meneteskan air mata, dia pun tidak mau hal ini terjadi dalam hidupnya. Namun hak dan pilihannya juga untuk tidak diduakan, apalagi dalam ikatan suci pernikahan.
Walau tidak tahu kedepannya akan seperti apa tanpa Mas Kalingga, tapi yang pasti sekarang keinginannya sudah bulat untuk berpisah seperti yang sudah dibicarakannya dengan Mas Kalingga 2 tahun lalu.
*
Kehamilan Viola sudah banyak menyita tenaganya. Sekarang cepat sekali dia merasa lelah. Belum lagi sangat lelah menyaksikan Mas Kalingga yang belum juga menandatangani surat cerai. Entah apa yang dipertimbangkan pria itu.
Baru juga menempelkan bokongnya pada sofa, sudah terdengar suara Ibu memanggilnya.
"Ada apa, Bu?."
"Ibu lapar, Viola. Ambilkan nasi dan ikan goreng saja."
"Baik, Bu." Viola mengambil apa yang diminta Ibu lalu menaruhnya di dalam Ibu.
Langkah kaki Viola sudah bersiap akan pergi dari kamar Ibu tapi perintahnya kembali terdengar.
"Ambil minumnya, Viola."
Walau malas tapi dia tetap mengambilkannya.
Baru juga langkah kaki Viola sampai pintu, kini teriakan Ibu yang menganggu gendang telinganya.
"Viola! perut Ibu mulas." Sambil memegangi perutnya.
"Cepat! Antar Ibu ke kamar mandi. Ibu mau..."
Ibu dan Viola saling tatap, dari tempatnya Viola mencium aroma yang bau busuk menyengat sampai-sampai Viola harus menutup hidungnya.
"Aku tidak bisa! Panggil Melati saja. Ini sangat bau, nanti selera makanku hilang. Masa begini saja Ibu tidak bisa menahannya? Ibu kan bukan anak bayi lagi." Ketus Viola.
Kok, rasanya hati Ibu sakit mendengar kata-kata Viola. Ini bukan maunya begini, kalau bisa di tahan pasti sudah dilakukannya.
"Kemarin aku lihat Melati yang membersihkannya, jadi aku panggil Melati saja."
"Kamu jijik?," mata Ibu berkaca-kaca.
"Ya...jelas, Bu. Aku bukan hanya jijik, tapi sangat teramat jijik."
"Tapi kamu kan Dokter?." Air mata Ibu sudah menetes.
"Memang Ibu pikir aku jadi Dokter untuk membersihkan kotoran orang?. Orang tuaku saja tidak merepotkan aku begini, tunggu aku panggil Melati." Viola segara berjalan keluar dengan masih menutup hidung sambil memanggil Melati. Kamar Ibu sudah dipenuhi kuman dan bakteri.
"Ada apa?," Melati berdiri membelakangi kompor yang menyala.
"Bersihkan Ibu sama kamar-kamarnya, bau banget." Perintahnya sudah seperti Nyonya.
"Ibu tidak mau aku bantu lagi," Melati mengatakan apa yang sudah Ibu katakan padanya.
"Harus mau lah, kamu kan masih menantunya juga."
Melati segera mematikan kompor lalu bergegas pergi ke kamar Ibu. Dari jarak yang cukup jauh memang aroma tidak sedap sudah tercium karena pintu kamar Ibu terbuka.
Langkahnya terhenti sejenak, menguatkan hati dan hidungnya. Sambil tersenyum Melati melangkah masuk dan Ibu sedang menangis.
"Aku izin bantu, ya, Bu." Melati membuka jendela lebar-lebar supaya baunya bisa keluar lewat sana juga.
Tangis Ibu semakin pecah melihat Melati yang akan membantunya lagi.
"Ibu tunggu Kalingga saja, Melati." Sambil menangis.
"Nanti gatal-gatal kalau kelamaan, Bu. Biar aku saja yang membersihkan."
Ibu diam dan Melati sudah mulai menyiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan.
"Aku bantu, ya, Ma?." Sakura dan Lili berdiri di depan pintu.
Melati tersenyum lalu mengangguk. Kemudian kedua anak itu langsung menghampiri Mamanya dan bekerja sesuai arahan Melati.
Tangisan Ibu semakin kencang melihat Sakura dan Lili yang mau turun tangan membantunya.
Bersambung