Dikhianati dan dijebak oleh suami dan kekasih gelapnya, seorang wanita polos bernama Megan secara tak terduga menghabiskan malam dengan Vega Xylos, bos mafia paling berkuasa di dunia malam. Hingga akhirnya, dari hubungan mereka malam itu, menghasilkan seorang putra jenius, Axel. Tujuh tahun kemudian, Vega yang terus mencari pewarisnya, tapi harus berhadapan dengan Rommy Ivanov, musuh lamanya, baru mengetahui, ternyata wanita yang dia cari, kini telah dinikahi musuh besarnya dan berniat menggunakan kejeniusan Axel untuk menjatuhkan Kekaisaran Xylos. Bagaimana Vega akan menghadapi musuh besarnya dan apakah Megan dan putranya bisa dia rebut kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Takdir Baru untuk Megan
Vega menyelesaikan pemeriksaan singkatnya, sentuhannya profesional namun mengandung lapisan bahaya yang dalam. Ia memastikan denyut nadi Megan stabil, tetapi napasnya dangkal. Matanya yang gelap, seperti dua obsidian yang mengamati, beralih dari pupil mata Megan yang melebar ke goresan di pergelangan tangannya.
Ia menarik tangannya, membersihkan jari-jarinya yang baru saja menyentuh kulit Megan, seolah membersihkan kotoran. Gerakan kecil itu mengirimkan gelombang dingin di tengah panasnya demam yang dirasakan Megan.
“Kau menatapku seolah aku adalah iblis yang siap mencabikmu,” kata Vega, suaranya seperti serutan es. Ia kembali berdiri, bayangannya menjulang di atas tubuh Megan. “Katakan padaku, Gadis Malam. Apa yang kau lihat?”
Megan berusaha menarik napas, namun udara terasa terlalu berat. Obat itu membuat otaknya berpikir sangat cepat, tetapi ototnya lumpuh, menjebaknya dalam teror yang sunyi.
“Kekuatan…” bisik Megan, kata itu keluar seperti rintihan. “Kekuatan… yang menakutkan.”
Vega menyeringai, senyuman yang tidak pernah mencapai matanya. “Kekuatan adalah mata uang di dunia ini, Megan. Nama yang indah. Kau sudah mengetahui namaku, aku tahu namamu. Itu adalah awal yang baik. Kau harus tahu dengan siapa kau berurusan.”
“Aku… aku tidak ingin berurusan dengan siapapun,” Megan memohon, air mata panas mengalir di pelipisnya, membasahi bantal sutra. “Tolong… biarkan aku pergi. Aku tidak akan melaporkan apapun. Aku hanya ingin pulang.”
“Pulang?” Vega mengangkat alisnya, gestur sinis. Ia berjalan ke meja bar, menuangkan cairan amber gelap ke dalam gelas kristal. “Suami dan kekasihnya menjualmu. Mereka membuangmu ke lubang yang lebih dalam dari tempat kau jatuh. Dan kau masih menyebut tempat itu ‘rumah’?”
Megan menggelengkan kepalanya panik. “Tidak… Jose… dia tidak tahu. Wina yang menjebakku. Dia memberiku minuman itu. Jose akan mencariku. Dia tidak mungkin…”
Vega tertawa rendah, suara yang dingin dan bergetar, lebih mengerikan daripada teriakan. “Begitu naif. Jose dan Wina. Zeno sudah memberitahuku. Mereka merencanakan ini bersama. Mereka ingin menyingkirkanmu dan mengambil hartamu, atau apa pun yang tersisa dari nilai dirimu. Mereka bahkan sudah mengatur ruangan VIP yang salah. Kau adalah hadiah yang salah alamat, Megan. Hadiah yang dibuang.”
Kenyataan itu menghantam Megan lebih keras daripada efek obat bius. Pengkhianatan Jose. Ia tidak hanya berselingkuh, ia menjual istrinya. Jantung Megan terasa hancur berkeping-keping.
“Tidak… kau bohong,” ia berbisik, rasa sakit emosional melampaui rasa pusingnya.
Vega meneguk minumannya. “Aku tidak berbohong. Aku tidak perlu. Aku adalah Vega Xylos. Kebohongan adalah alat bagi mereka yang lemah. Aku hanya mengatakan apa yang kulihat. Dan yang kulihat adalah kau ditinggalkan, terluka, dan kini menjadi milikku.”
“Aku bukan milik siapapun!” raung Megan, memobilisasi kekuatan terakhirnya untuk mengangkat kepalanya sedikit. “Aku bukan barang!”
Vega meletakkan gelasnya dengan bunyi ‘klak’ yang tajam. Ia mendekat, matanya berkilat berbahaya. Ia berlutut di samping ranjang lagi, posisi yang membuat Megan merasa semakin terancam. Pakaian formalnya—jas hitam mahal yang disesuaikan sempurna—terasa seperti zirah.
“Tentu saja kau bukan barang, Megan. Kau lebih dari itu. Kau adalah rahasia. Kau adalah takdir yang datang mengetuk pintu. Dan di duniaku, apa pun yang masuk ke dalam wilayahku tanpa diundang, harus membayar harganya.”
“Harga apa?”
“Harga dari keselamatanmu,” jawab Vega, memiringkan kepalanya sedikit. “Jika aku mengembalikanmu sekarang, mereka akan menemukan cara lain untuk menghancurkanmu. Mereka akan menuduhmu berselingkuh, mereka akan mengambil semua yang kau miliki. Kau akan berakhir di jalanan, atau lebih buruk, kembali ke club ini, tapi kali ini, kau akan berakhir di kamar yang benar.”
Jeda. Kata-katanya, meskipun kejam, memuat logika yang menakutkan.
“Kau menyelamatkanku?” Megan bertanya skeptis.
“Aku menyelamatkanmu untuk diriku sendiri,” koreksi Vega tegas. “Aku tidak melakukan amal. Keberanianmu di depan pintu itu menarik perhatianku. Kau adalah tantangan. Aku butuh tahu mengapa wanita yang rapuh sepertimu memiliki api sekencang itu di matanya.”
Tiba-tiba, interkom berbunyi, menyelamatkan Megan dari jawaban yang tidak terucapkan.
“Tuan Xylos, Dokter Livius sudah di depan pintu, beserta Zeno.”
“Suruh mereka masuk,” perintah Vega, tanpa melepaskan pandangannya dari Megan. “Kau akan diperiksa. Jangan coba melawan. Obat itu membuatmu tidak bisa bergerak, tetapi aku perlu memastikan dosisnya tidak melukai organ vitalmu. Aku tidak suka barangku rusak.”
Dua pria bersetelan hitam memasuki ruangan. Zeno, tangan kanan Vega, memiliki wajah tanpa emosi yang sama dinginnya dengan tuannya. Dokter Livius adalah pria paruh baya yang tampak cemas.
Dokter Livius dengan cepat memasang stetoskop dan memeriksa Megan, Vega mengawasi dari dekat. Dokter itu menyuntikkan sesuatu yang jernih ke dalam infus darurat yang ia bawa.
“Tuan Xylos,” kata Dokter Livius, suaranya pelan dan hormat. “Ini adalah koktail pelemas otot dengan campuran psikotropika dosis tinggi. Dirancang untuk membuat korban patuh namun sadar. Untungnya, dosisnya tidak fatal. Ini akan mulai memudar dalam beberapa jam. Suntikan saya hanya akan membantu membersihkan sistemnya, tetapi ia akan tetap lumpuh untuk sementara waktu.”
“Apa ada kerusakan permanen?” tuntut Vega.
“Tidak, Tuan. Hanya kelelahan ekstrem dan memar minor karena perlawanan,” jawab dokter itu, mengemas peralatannya dengan cepat.
Vega mengangguk, puas. Ia menatap Megan, yang kini memejamkan mata, wajahnya pucat karena kelelahan.
“Kalian boleh pergi. Lupakan apa yang kalian lihat dan dengar di sini. Jika ada yang tahu tentang kehadirannya, nyawa kalian yang jadi taruhannya,” Vega memperingatkan.
Zeno dan Dokter Livius menghilang secepat mereka datang, meninggalkan Vega dan Megan sendirian lagi dalam keheningan Suite 101.
Vega kembali ke samping Megan. Ia melepaskan kancing kemejanya yang paling atas. “Kau aman sekarang. Obatnya akan memudar, tetapi tidak cukup cepat untuk menyelamatkanmu dari diriku.”
Megan mencoba berbicara, tetapi hanya erangan yang keluar.
“Jangan memaksakan dirimu,” ujar Vega, suaranya berubah menjadi sesuatu yang lebih personal, sedikit lebih rendah. “Aku tidak akan melukaimu seperti yang mereka rencanakan. Aku tidak akan memaksamu. Kecuali, kau sendiri yang menginginkannya.”
Dia mengangkat tangannya yang besar dan meletakkannya di atas perut rata Megan. Sentuhannya terasa seperti besi dingin di atas kulitnya. Megan tersentak, merasakan bahaya yang merayap di bawah kulitnya, namun di saat yang sama, ia merasakan kehangatan yang aneh dari tangan itu.
“Kau berbaring di sini, begitu polos, begitu rentan,” lanjut Vega, tatapannya menyala-nyala. “Kau memiliki aura yang langka, Megan. Kau berbeda dari setiap wanita yang pernah memasuki kamarku. Kau datang dengan darah dan air mata, bukan dengan keserakahan dan janji palsu.”
Dia mencondongkan tubuhnya ke bawah. Megan bisa merasakan napasnya yang hangat dan maskulin. Keintiman yang dipaksakan ini jauh lebih menakutkan daripada ancaman fisik.
“Aku tidak ingin ini,” Megan berhasil mengeluarkan kata-kata itu, putus asa.
“Tapi aku menginginkannya,” balas Vega, suaranya mutlak. “Dan di duniaku, apa yang diinginkan Vega Xylos, akan ia dapatkan. Kau diselamatkan oleh takdir, hanya untuk kuserahkan pada takdirku.”
Vega menyentuh bibirnya dengan ibu jari, gerakannya kasar namun terkendali. Dia menunduk, matanya menembus mata Megan yang ketakutan, mencari konfirmasi yang ia tahu tidak akan ia temukan dalam kata-kata.
“Aku melihat api di sana, Gadis Malam,” bisik Vega. “Bahkan dalam kondisi terburukmu, kau masih melawan. Keberanian itu adalah harta karun. Dan aku suka harta karunku utuh.”
Dia perlahan membelai pipinya. Sentuhan itu tidak kasar, tetapi lebih merupakan penguasaan. Itu adalah klaim yang diucapkan tanpa kata-kata.
“Malam ini adalah milik kita,” Vega menyatakan, suaranya final. “Kau mungkin membenciku, kau mungkin melupakan namaku besok pagi, tapi kau tidak akan pernah melupakan malam ini. Malam di mana kau jatuh dari satu neraka, dan mendarat di pelukan penguasa neraka yang lain.”
Vega kemudian melakukan hal yang tidak terduga. Ia mengangkat selimut beludru tebal dan menutupi tubuh Megan. Ia tidak terburu-buru, ia menikmati setiap momen penguasaan ini.
“Tidur, Megan. Aku akan menunggumu. Sampai kabut di matamu hilang, dan kau bisa melihat siapa aku sebenarnya. Aku tidak akan menyentuhmu selagi kau lumpuh. Aku tidak seperti Jose atau pria murahan lain di luar sana. Aku menginginkan dirimu yang utuh, yang melawan. Tapi begitu kau sadar sepenuhnya, kau harus memilih: menyerah pada takdir yang membawamu ke sini, atau melarikan diri, dan menghadapi dunia yang akan menghancurkanmu.”
Dia membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Megan, meskipun lega karena dia tidak mengambil keuntungan dari ketidakberdayaannya, tahu bahwa janji itu hanyalah penundaan eksekusi. Ancaman di matanya lebih dalam dari sekadar nafsu.
Vega pindah ke kursi kulit besar di dekat jendela, memunggungi Megan. Ia mengambil ponsel satelitnya, cahaya layarnya memantul pada kaca jendela. Ia mulai berbicara dalam bahasa yang dingin, cepat, dan asing—bahasa kode bisnis dan kekerasan yang membuat tulang Megan bergidik.
Ia menelepon Zeno lagi.
“Ya, Tuan Xylos?”
“Urus Jose dan Wina. Jangan bunuh mereka. Itu terlalu mudah. Hancurkan mereka secara finansial. Pastikan mereka kehilangan setiap sen yang mereka miliki, dan hidup dalam ketakutan. Biarkan mereka tahu bahwa ada harga yang harus dibayar karena mencoba bermain-main dengan apa yang menjadi milikku.”
Megan mendengar setiap kata. Dendam Vega adalah badai yang mengerikan. Jose dan Wina akan membayar. Ironisnya, satu-satunya harapannya untuk membalas dendam kini bergantung pada pria paling berbahaya yang pernah ia temui.
“Dan Zeno…” Vega mengakhiri panggilannya. “Batalkan semua jadwal besok. Markas kita di Eropa akan diserang. Kita punya waktu tiga jam untuk mengumpulkan semua aset di sekitar Jakarta dan bersiap untuk perang. Musuh lama sudah mencium baunya.”
Ia menutup telepon. Ia tidak menoleh ke Megan. Tetapi Megan merasakan ketegangan yang mematikan di bahunya. Ia baru saja diselamatkan, tetapi ia telah mendarat tepat di pusat badai. Vega Xylos sedang bersiap untuk berperang.
Megan menatap punggung Vega, yang kini tampak seperti dewa perang. Obat biusnya mulai memudar, memberikan sedikit kendali pada jari-jarinya. Namun rasa kantuk yang menakutkan menyerang, sisa dari pelemas otot. Ia tahu, ketika ia bangun, ia harus menghadapi Vega Xylos—dan perang yang ia bawa—sendirian.
Tepat sebelum kelopak matanya benar-benar menyerah pada kelelahan, Megan mendengar Vega berbicara lagi, kali ini bukan melalui telepon, melainkan sebuah gumaman yang ditujukan pada malam di luar jendela, dan mungkin juga pada dirinya sendiri.
“Aku harus menyelesaikan ini sebelum fajar. Aku akan kembali untukmu, Megan. Kau adalah aset baruku. Dan aku tidak pernah meninggalkan asetku di belakang.”
Suara Vega menjadi hal terakhir yang ia dengar sebelum kegelapan menyelubunginya, kegelapan yang kini tidak lagi sepi, melainkan berjanji akan kembalinya seorang pria yang telah mengklaim takdirnya.