Noura mati dibunuh suaminya dan diberi kesempatan hidup kembali ke-3 tahun yang lalu. Dalam kehidupannya yang kedua, Noura bertekad untuk membalaskan dendam pada suaminya yang suka berselingkuh, kdrt, dan membunuhnya.
Dalam rencana balas dendamnya, bagaimana jika Noura menemukan sesuatu yang gila pada mertuanya sendiri?
"Aah.. Noura." Geraman pria itu menggema di kamarnya. Pria itu adalah Zayn, mertua Noura yang sering menyelesaikan kebutuhan diri sambil menyebut nama menantu wanitanya.
"Kenapa dia melakukan itu sambil menyebut namaku..?" Noura harus dihadapkan mertua gilanya yang sudah duda. "Anaknya gila.. ayahnya juga lebih gila, eh tapi.. besar juga ya kalau dilihat-lihat."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bantu lemaskan
...- Ruangan Zayn -...
Setelah kepergian Noura, sebuah bantal melayang di udara dengan kecepatan yang cukup kencang, meluncur tepat ke arah Zayn yang tengah berdiri dengan tenang.
PLAK!
Bantal itu menghantam wajahnya dengan cukup keras, menyebabkan Zayn terdiam sejenak.
Zayn tidak bereaksi langsung, hanya membiarkan benda empuk itu jatuh ke lantai. Dengan santai, ia menoleh ke arah si pelempar.
Yang melemparkan bantal itu adalah Jhon dari sofa. Dengan wajah pucat, mata jhon melebar seperti baru saja melihat sesuatu yang melampaui batas kewarasan.
"PAK ZAYN!! APA YANG ANDA LAKUKAN DENGAN MENANTU ANDA SENDIRI?!?!" Teriak Jhon dengan heboh.
Suasana ruangan yang sebelumnya sunyi mendadak dipenuhi dengan ketegangan.
Nafas John tersengal, dadanya naik turun cepat seiring emosi yang bergejolak. Ia menatap Zayn dengan horor, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.
"Perlu berapa kali saya harus melempar bantal agar bapak sadar!" Serun Jhon dramatis sambil mengambil bantal lainnya.
Namun, bukannya merasa bersalah atau terpojok, Zayn justru mengangkat alisnya dengan ekspresi yang teramat santai.
"John… kamu baik-baik saja? Kamu tiba-tiba pingsan dan membuatku terkejut." Tanyanya dengan nada ringan, seolah tidak menyadari betapa seriusnya situasi ini.
"Ya saya pingsan karna kelakuan bapak!!" Bentak Jhon lagi, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan yang mendalam.
"Pak Zayn… saya sebagai teman baik dan sekretarismu ingin memberikan pesan. Hubungan Anda dengan menantu sendiri itu tidak wajar!"
Pernyataan itu menggantung di udara seperti beban yang menyesakkan.
"Apakah Pak Zayn tidak punya moral?" Jhon suday greget sampai mampus, pria itu ingin memukul Zayn lagi menggunakan bantal.
Zayn diam sejenak, lalu menutup matanya dengan senyum tipis yang tidak terbaca.
Tiba-tiba, ia terkekeh.
Suara tawanya dalam dan rendah, seperti seseorang yang tidak terlalu ambil pusing dengan moralitas atau pandangan orang lain.
"Tenang saja, John." Zayn membuka matanya, tatapannya tajam namun tetap teduh. "Ini memang keinginan menantuku sendiri."
John membelalak, "Apa maksud Anda…?" suaranya kini lebih pelan, hampir bergetar.
Zayn menghela nafas panjang sebelum akhirnya menatapnya lurus-lurus.
Wajahnya berubah serius, seolah apa yang akan ia katakan bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh.
"Noura sendiri yang memintaku untuk menjadi pengganti suaminya."
Ruangan terasa semakin dingin dan tatapan John membeku.
Mulutnya terbuka sedikit, namun tidak ada kata yang keluar. "Aduh.." Jhon mendadak lemas, "Rasanya saya mau pingsan lagi dengernya.." Gumam Jhon.
Tetapi.. ada beberapa hal yang perlu dicari tau. Zayn sebenarnya agak aneh dengan permintaan Noura yang tiba-tiba.
Dengan nada dingin dan tegas, Zayn melanjutkan. "Jhon, segera cari tau apa yang terjadi pada Darrel dan Noura. Aku juga penasaran."
"Aduh.. saya udah lemes Pak dengernya.." Gerutu Jhon masih syok.
TRINGG!!
Suasana ruangan yang semula tegang berubah semakin mencekam saat tiba-tiba ponsel John bergetar kencang.
John, yang masih diliputi kebingungan akibat ucapan Zayn, dengan cepat mengangkat teleponnya.
"Ada apa, Pak?" Suaranya terdengar waspada.
Dari seberang telepon, terdengar suara panik dari petugas keamanan.
"Ini… ini darurat! Nona Scott sedang membuat keributan di bawah!"
John membelalak, matanya langsung beralih ke arah Zayn yang berdiri dengan tenang, ekspresinya berubah tajam dalam sekejap.
"Ada apa?" Zayn bertanya, matanya menyipit dengan rasa ingin tau.
John menelan ludah sebelum menjawab,
"Itu… menantu Pak Zayn buat keributan di bawah."
Ekspresi Zayn langsung berubah.
Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, ia berdiri dengan sigap dan melangkah cepat ke luar ruangan.
Langkahnya panjang dan kuat, seakan siapa pun yang berani menghalanginya akan tersapu begitu saja.
John ikut berlari di belakangnya, berusaha mengikuti kecepatan pria itu.
Ketika mereka tiba di lantai bawah, suasana sudah kacau.
Beberapa karyawan berkumpul, berbisik-bisik, dan sebagian bahkan menatap dengan wajah terkejut dan ketakutan.
Di tengah kekacauan itu, seorang karyawan wanita menangis terisak, wajahnya penuh keterkejutan dan sedikit histeris.
Zayn melayangkan pandangannya ke seluruh ruangan, lalu mendekati Noura yang berdiri dengan tenang.
"Ada apa ini?" Suaranya berat, tajam, dan penuh otoritas.
Noura menoleh dengan ekspresi dingin, "Tolong ajari karyawanmu sopan santun, Tuan Zayn."
Semua orang terdiam, kata-kata itu sederhana, namun cara Noura mengatakannya begitu tajam dan penuh sindiran.
Setelah mengucapkan itu, Noura berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan semua orang dalam kebisuan.
"Pak Zayn… dia gila! Dia menyiramku begitu saja.." Suara histeris wanita yang menangis tadi memecah keheningan.
John mengerutkan kening, sementara Zayn tetap berdiri dengan postur tegap, menatap wanita itu dengan tajam.
"Diam!" Tegasnya, suaranya rendah namun begitu menusuk hingga membuat wanita itu langsung membeku di tempat.
Mata Zayn yang tajam kini beralih ke arah karyawan lainnya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Beri tau aku yang sebenarnya."
Seorang pria yang sebelumnya hanya menjadi penonton akhirnya maju dengan sedikit ragu.
"Saya… saya melihat semuanya." Ia menelan ludah sebelum melanjutkan, "Mereka menghina Nona tadi lebih dahulu, mengolok-oloknya… bahkan menuduh sesuatu yang buruk."
Suasana kembali senyap, mata Zayn semakin gelap. Aura dingin menguar dari tubuhnya, membuat semua orang yang ada di sana menegang.
"Karna menerima banyak perkataan kasar dan beberapa juga melempar sampah ke Nona tadi," pria itu melanjutkan dengan suara pelan, "Jadi… Nona tadi membalas dengan menyiram salah satu karyawan."
Zayn terdiam sesaat lalu, dengan gerakan cepat dan kasar, ia meraih vas bunga di atas meja dan melemparkannya ke lantai dengan keras.
PRANGG!
Suara vas beling yang pecah menggema di seluruh ruangan, membuat semua orang meringkuk ketakutan.
Mata Zayn bersinar penuh bahaya.
"Aku hanya memperingati satu kali. Jika kalian berani menyentuhnya lagi… kalian tidak akan punya tempat lagi di sini."
Suasana ruangan membeku, mereka semua menelan ludah, dan yang lain bergetar di tempatnya.
Dan di sanalah… semua orang tau…
Nasib mereka akan berakhir di tangan Zayn jika mereka berani mengusik menantu kesayangannya lagi.
...***...
Di sisi lain, Noura mendengus kesal. Hari ini, ia hanya ingin menikmati makanan enak sendirian dengan kartu Zayn—sebuah momen kecil untuk membalas rasa kesalnya.
Drrrt!
Tapi, rencana itu mendadak berantakan ketika ponselnya bergetar.
Layar menunjukkan nama Zayn. "Duh kenapa sih dia telpon.."
Dengan malas, Noura mengangkatnya.
"Ya, Daddy?" Suaranya masih dipenuhi kekesalan.
Zayn di seberang hanya berdehem pelan sebelum bertanya, "Kamu mau makan di mana? Aku antar, ya."
Noura mendengus lagi. "Tidak perlu!" jawabnya cepat, nyaris menutup telepon sebelum suara Zayn kembali terdengar, kali ini lebih lembut.
"Noura, maaf soal kejadian tadi," ucapnya dengan nada menyesal. "Sebagai gantinya, biar aku yang mengantarmu, ya?"
Noura terdiam sejenak, bibirnya terkatup rapat. Ia menimbang-nimbang, masih ingin menolak, tapi ada sesuatu dalam suara Zayn yang membuatnya menyerah.
Dengan helaan nafas berat, akhirnya Noura menjadi lebih tenang, "Oke, ayo kita pergi."
Zayn tersenyum mendengar jawaban itu, meskipun Noura tidak bisa melihatnya.
"Baiklah, tunggu di depan perusahaan ya." Pinta Zayn.
Tak lama kemudian, Noura berdiri di depan perusahaannya, menunggu. Sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di depannya. Jendela turun, memperlihatkan Zayn yang menatapnya dengan ekspresi tenang.
"Naiklah," katanya singkat.
Noura melangkah mendekat dan masuk ke dalam, menduduki kursi depan. Baru saja duduk, Zayn tiba-tiba mendekat.
"Daddy, mau ngapain?" Noura refleks mundur sedikit, kaget dengan jarak mereka yang mendadak menyempit.
Zayn hanya tersenyum tipis sebelum mengambil sabuk pengaman dan memasangkannya untuk Noura.
Setelah selesai, Zayn menatap wajah Noura yang masih terpaku dalam kebingungan.
"Kamu harus pakai sabuk pengaman jika bepergian," ujarnya santai.
Noura membuang pandangan ke luar jendela, menyembunyikan wajahnya yang mulai memanas. "Makasih," gumamnya pelan.
Zayn tersenyum kecil. "Jadi, mau makan apa?" Tanyanya seraya menyalakan mesin mobil.
Noura berpikir sejenak sebelum menjawab, "Mungkin steak."
"Baiklah, kita makan steak."
Zayn segera membawa Noura ke sebuah restoran steak yang sangat mewah. Begitu mereka melangkah masuk, seorang pelayan yang mengenalnya segera menyapa dengan ramah.
"Tuan Zayn, sudah lama tidak berkunjung," katanya sambil melirik ke arah Noura yang berdiri di samping pria itu.
Mata pelayan itu berbinar dengan senang. "Dan sudah lama juga Tuan Zayn tidak membawa wanita cantik kemari. Silakan, saya antar ke ruang VVIP."
Zayn hanya tersenyum kecil tanpa menanggapi, sementara Noura menahan desahan nafas. Ia mengikuti pria itu menuju ruang eksklusif yang terletak di lantai atas.
Mereka menaiki lift yang berlapis kaca, dan sesampainya di tujuan, Noura mengakui dalam hati bahwa tempat ini memang luar biasa.
Meja mereka dihiasi dengan elegan—kain putih bersih, peralatan makan berkilau, serta ember berisi sebotol anggur mahal.
Beberapa pelayan segera mendekat, membantu mereka duduk dengan sopan dan menyajikan makanan pembuka sebagai selingan sebelum hidangan utama.
"Tuan dan Nyonya ingin memesan apa?" Tanya salah satu pelayan dengan hormat.
Zayn tidak langsung menjawab.
Zayn justru menoleh ke Noura dan tersenyum tipis sebelum berkata, "Wanitaku ingin steak. Berikan steak terbaik di sini."
Noura sontak membelalakkan mata. "Wanitaku?" Ulangnya pelan, nyaris tersedak dengan kata-kata Zayn yang begitu lancar.
"Baiklah akan segera kami sajikan." Ujar para pelayan dan mereka segera pergi.
"Kami akan menunggu dibalik pintu Tuan Zayn, silahkan panggil kami jika butuh sesuatu. Kami akan mengetuk jika hidangan sudah siap. Nikmati waktu kalian~" Tunduk salah satu pelayan lalu meninggalkan Zayn berduaan dengan Noura.
Zayn kemudian tertawa kecil, menikmati reaksi Noura yang menurutnya lucu.
"Daddy, selalu senaknya saja," gerutu Noura, pipinya memerah karena malu dan kesal.
Namun, alih-alih berhenti menggoda, Zayn malah menarik kursinya lebih dekat ke Noura, menyandarkan lengannya dengan santai di kursi wanita itu.
Noura mundur sedikit, merasa jengah, tetapi Zayn tak memberinya ruang untuk kabur.
Jemarinya terulur, dengan lembut mengangkat dagu Noura, memaksanya menatap lurus ke dalam matanya.
"Bukannya aku menggantikan suamimu, kan?" Bisiknya rendah, nyaris terdengar seperti tantangan. "Jadi, tidak salah kalau aku menyebutmu wanitaku."
Noura memanyunkan bibirnya, lalu buru-buru menyeruput minuman untuk mengalihkan perhatiannya dari debaran aneh yang memenuhi dadanya.
Noura tau Zayn hanya menggoda, tapi tetap saja—ada sesuatu dalam kata-kata pria itu yang membuatnya gelisah.
Bagaimanapun, Noura hanya menggunakan Zayn sebagai alat balas dendam. Tapi kenyataannya, Zayn tetaplah pria yang sulit ditebak.
Zayn tiba-tiba meraih tangan Noura, menggenggamnya erat sebelum menuntunnya ke dadanya sendiri.
"Lihatlah," bisiknya lembut, matanya dalam dan berbahaya. "Jantungku berdetak sangat cepat di dekatmu... dan hanya kita berdua di sini."
Noura menelan ludah, matanya turun ke arah da-da Zayn yang bidang dan kokoh di balik kemeja mahalnya. Dadanya benar-benar naik turun dengan ritme yang terasa tidak stabil.
Namun, sebelum ia sempat menarik tangannya, Zayn malah menuntunnya lebih turun.
Semakin turun.
Noura tersentak. Seharusnya ia menolak, seharusnya ia segera menarik tangannya. Tapi entah kenapa, rasa panas menjalar di seluruh tubuhnya.
Tangannya menyentuh sesuatu yang... ker-as.
Nafasnya tercekat. "Itu keras..." Bisiknya tanpa sadar.
Zayn tersenyum nakal, tatapannya semakin dalam, semakin memburu. "Itu karna dia sangat bersemangat, Noura."
Lalu, dengan suara rendah yang menggoda, Zayn berbisik di telinga Noura.
"Mau membantuku?"