NovelToon NovelToon
Nikah Dadakan Karena Warga

Nikah Dadakan Karena Warga

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pernikahan Kilat
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Anjay22

Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menolong korban perampokan

Reva hari ini pulang tidak seperti biasanya ,saat ini dia masih berada di tempatnya bekerja ,diluar Langit mulai menghitam. Gerimis tipis mulai turun, membasahi aspal yang masih panas oleh sisa terik siang. Reva berjalan cepat, tas kerjanya tergantung di bahu, jaket tipis menutupi seragam minimarket yang sudah kusut. Jam menunjukkan pukul 21.45—lebih dari biasanya. Malam ini, minimarket kebanjiran pelanggan karena hujan membuat orang enggan keluar rumah sejak sore, lalu menyerbu toko begitu gerimis reda.

Ia lelah. Kakinya pegal, matanya berat, dan perutnya keroncongan. Tapi yang paling mengganggu adalah rasa asing yang tak kunjung hilang—meski sudah hampir dua bulan tinggal di kota ini, ia masih merasa seperti orang luar. Setiap langkah di gang sempit ini terasa was-was. Setiap suara motor yang melambat membuat jantungnya berdebar. Ia tahu, Jakarta tak sekejam desanya dalam memaksanya menikah, tapi kota ini punya cara lain untuk melukai: kesepian, ketidakpastian, dan rasa tak aman yang selalu mengintai di balik bayangan malam.

"Sebaiknya aku cara jalan lain ,biar aku aku cepat sampai ,rasanya capek banget ."

Ia memilih jalan pintas—gang sempit di antara rumah-rumah kontrakan yang lampunya redup, bahkan banyak yang mati. Tempat ini sepi. Terlalu sepi. Tapi ia tak punya pilihan; jalan utama sedang macet karena truk parkir sembarangan.

"To....long ..tolong ..aduh ..istt..." suara lirih nyaris tak terdengar .

Suara itu dari balik tumpukan triplek bekas di dekat selokan, terdengar suara rintihan. Lemah. Parau. Seperti suara binatang yang terluka.

Reva berhenti. Napasnya tertahan.

"Suara apa itu ? apakah suara hantu ?" Reva merasa bergidik ,ia takut suara yang di dengarnya adalah suara tidak kasat mata

*"Jangan berhenti. Jangan lihat. Cepat pulang. Kamu sendirian di sini. Kamu nggak kenal siapa-siapa.*"

Pikiran itu berkecamuk di kepalanya. Ia menoleh—tak ada orang di sekitar. Hanya lampu jalan yang redup dan suara tetesan air hujan di atap seng.

"To..long ! tolong !";

Tapi rintihan itu terdengar lagi. Lebih jelas. Lebih menyedihkan.

"Sebaiknya ,aku lihat! siapa tahu itu orang yang benar benar membutuhkan pertolongan."

Dengan kaki gemetar, Reva melangkah maju selangkah. Lalu selangkah lagi dan dia nampak terkejut

"Siapa kamu ? kamu manusia atau hantu ?" tanya Reva dengan ragu .

Di balik tumpukan kayu dan karung goni, tergeletak seorang pemuda. Wajahnya penuh darah kering, bibirnya sobek, matanya bengkak sebelah. Bajunya compang-camping, lengan kanannya terkulai tak wajar. Napasnya pendek-pendek, tubuhnya menggigil—entah karena luka atau dinginnya malam yang mulai berubah jadi hujan deras.

"Aku manusia ,tolong aku !" suara itu kembali terdengar lirih .

Mendengar suara itu Reva mundur selangkah. Jantungnya berdebar kencang.

*Apa ini jebakan? Apa dia pura-pura? Apa dia preman yang mau merampokku?* ucapnya didalam hati

Ia menatap wajah pemuda itu. Matanya terbuka—redup, tapi jernih. Tak ada niat jahat di sana. Hanya penderitaan. Hanya keputusasaan.

*Ibu pernah bilang: kalau kamu lihat orang susah, tolonglah. Tapi jangan bodoh. Jangan sampai kamu yang jadi korban.*

Tapi bagaimana caranya menolong tanpa mengambil risiko?

Ia menoleh ke sekeliling. Tak ada warung buka. Tak ada pos ronda. Tak ada siapa-siapa. Kalau dibiarkan di sini, pemuda ini bisa mati. Hujan akan semakin deras. Malam akan semakin dingin. Dan luka-lukanya… mungkin parah.

Reva menutup mulutnya dengan tangan. Air matanya hampir jatuh—bukan karena takut, tapi karena iba yang menusuk dada.

“Aduh, Tuhan… apa yang harus aku lakukan?”

Ia tahu, membawanya ke rumah sakit berarti harus menunjukkan KTP, memberi keterangan, dan mungkin—mungkin sekali—pemuda ini punya masalah hukum. Tapi membawanya ke kos? Itu gila. Ia sendiri masih di awasi Bu Siti. Ia belum punya kepercayaan penuh. Apalagi membawa laki-laki asing ke kamar kos perempuan? Jika ketahuan, ia bisa diusir. Tak ada lagi tempat tinggal. Tak ada lagi pekerjaan. Semua usahanya selama ini akan hancur.

Tapi…

*Tapi kalau dia mati di sini… aku yang akan menanggung dosanya seumur hidup.*

Dengan napas gemetar, Reva berjongkok. “Kamu… kamu bisa jalan?” bisiknya.

Pemuda itu menoleh perlahan. Matanya fokus pada wajah Reva. “Tolong…” suaranya serak. “Jangan tinggalin aku…”

Kalimat itu menghancurkan pertahanan terakhir Reva.

“Baik… baik. Aku bawa kamu ke tempatku. Tapi kamu harus diam. Jangan bersuara. Jangan keluar. Mengerti?”

Pemuda itu mengangguk lemah.

Dengan susah payah, Reva menarik tubuhnya. Ia menyandarkan punggung pemuda itu ke punggungnya, lalu berjalan perlahan—sangat perlahan—menuju kontrakannya ,yang jaraknya tidak jauh dari tempat itu . Ia memapah pemuda itu ,Setiap langkah terasa seperti abad. Ia terus menoleh ke belakang, takut ada yang mengikuti. Takut ada yang melihat. Takut Bu Siti keluar dan menangkapnya.

Gerimis berubah jadi hujan rintik-rintik. Lalu deras.

Reva menahan napas saat melewati pintu depan. Untunglah lampu teras mati. Untunglah Bu Siti sudah tidur—biasanya jam segini ia sudah tertidur lelap setelah menonton sinetron.

Dengan tangan gemetar, Reva membuka gembok kamarnya. Ia mendorong pemuda itu masuk, lalu menutup pintu perlahan—sangat perlahan—agar tak menimbulkan suara.

Di dalam kamar yang sempit, hanya ada cahaya redup dari lampu kecil di meja. Reva menyalakan lampu darurat kecil yang biasa ia gunakan saat mati listrik. Cahayanya temaram, tapi cukup untuk melihat wajah pucat pemuda itu.

“Namamu siapa?” tanya Reva pelan.

“Raka…” bisiknya. “Raka Wijaya.”

“Kenapa kamu dipukuli?”

Raka menutup mata sejenak. “Aku di rampok ,… Aku melawan dan Aku di Pukul ,motor ,dompet ,hp dan uangku diambil … Lalu mereka buang aku di sini…”

Reva menelan ludah. Ia percaya. Ada kejujuran dalam suaranya—dan luka-lukanya terlalu nyata untuk dipalsukan.

Tanpa berkata apa-apa, Reva mengambil handuk kecil, lalu membasahi dengan air hangat dari termos. Perlahan, ia membersihkan darah di wajah Raka. Ia tak berani menyentuh lengannya yang bengkok—takut itu patah.

“Kamu nggak takut… bawa aku ke sini?” tanya Raka pelan.

Reva menatapnya. “Aku takut. Sangat takut. Tapi… aku lebih takut kalau kamu mati di tengah hujan malam ini.”

Raka menunduk. “Aku nggak akan ganggu kamu. Aku janji. Besok pagi, aku pergi.”

Reva mengangguk. Tapi dalam hati, ia tahu—besok pagi, luka Raka mungkin belum membaik. Dan preman itu mungkin masih mencarinya.

Ia mengambil selimut tipis, lalu menyuruh Raka berbaring di lantai. “Tidur di sini. Jangan sentuh apapun. Jangan keluar. Kalau ada suara, diam saja.”

Raka mengangguk. “Terima kasih… Kamu malaikat.”

Reva tak menjawab. Ia duduk di tepi kasur, memeluk lutut, menatap Raka yang perlahan tertidur. Tapi ia sendiri tak bisa tidur. Pikirannya kacau.

*Apa yang kulakukan ini benar?*

*Apa Bu Siti akan marah kalau tahu?*

*Apa tetangga melihatku membawanya masuk?*

*Apa yang terjadi kalau ada orang yang mengetahui ada seorang lelaki di kamarnya ?*

Dan yang paling menghantuinya: *Apa Raka benar-benar korban… atau justru penipu ulung?*

Tapi setiap kali ia menoleh dan melihat wajah Raka yang damai dalam tidur—wajah yang penuh luka tapi tak penuh niat jahat—keraguannya perlahan sirna.

Ia ingat dirinya sendiri, di bukit itu, menjerit: *“Kenapa harus aku? Aku juga ingin bahagia!”*

Mungkin inilah caranya bahagia—bukan hanya menyelamatkan diri sendiri, tapi juga berani menyelamatkan orang lain, meski itu berarti mengorbankan rasa amannya sendiri.

***

Hujan terus turun sepanjang malam. Suara genting berisik, angin menerpa jendela, tapi di dalam kamar kecil itu, ada keheningan yang aneh—keheningan yang lahir dari kepercayaan yang rapuh, tapi nyata.

Menjelang subuh, Raka terbangun. Demam. Tubuhnya panas.

Reva panik. Ia tak punya obat. Tak punya uang untuk ke klinik. Dengan gemetar, ia mengompres kening Raka dengan kain basah.

“Jangan mati…” bisiknya. “Aku nggak sanggup…”

Raka membuka mata. “Aku nggak akan mati… Aku janji.”

***

Pagi tiba. Hujan reda. Langit kelabu, tapi udara segar.

Reva tahu, ia harus segera mengambil keputusan.

Ia menulis surat kecil untuk Bu Siti—tanpa menyebut nama Raka—hanya meminta izin “menampung sementara teman yang sedang dalam kesulitan”. Ia selipkan di bawah pintu Bu Siti, lalu kembali ke kamarnya.

Raka sudah duduk, meski tubuhnya masih lemah.

“Kamu nggak usah pergi hari ini,” kata Reva pelan. “Tapi kamu harus sembunyi kalau ada yang datang. Dan kamu harus bantu aku percaya padamu.”

Raka menatapnya. “Aku akan buktikan.”

"Sekarang kamu istirahatlah ! Biar lukamu cepat sembuh ! Dan kamu segera pulang lah !"

Reva segera bergegas kedapur

1
Napoleon
woop , rasanya gimana tuh Raka manis pasti
Napoleon
Buruk
Napoleon
Kecewa
Jena
Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu
MayAyunda: terimakasih kak
total 1 replies
kawaiko
Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!
MayAyunda: siap kak 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!