“Diana … kamu akan diberi hukuman mati karena telah melakukan percobaan pembunuhan.”
Diana yang sudah sangat lemah diikat dan di arak ketengah tempat eksekusi. semua rakyat dan bangsawan melihatnya, mereka melemparnya dengan batu dan mengumpat kepadanya.
Kepala Diana ditaruh di tiang untuk di penggal.
Diana melihat kearah Wanita yang dicintai suaminya dan melihat ayah serta kakaknya yang masih tetap membencinya hingga akhir hayatnya.
“Kenapa kalian sangat membenciku?” gumam Diana.
Jika aku bisa mengulang waktu, maka aku tidak akan lagi mengemis cinta kepada kalian.
KRAK. Suara alat penggal terdengar keras memenggal kepala Diana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ellani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Benih Masa Depan
Pagi di istana kerajaan selalu dipenuhi cahaya lembut dan aroma bunga mawar dari taman timur. Tapi bagi Diana, ketenangan itu hanya lapisan tipis yang menutupi badai di pikirannya. Sejak fajar, ia sudah duduk di ruang kerjanya, menatap tumpukan laporan yang memenuhi meja.
Kertas-kertas itu berisi data tentang tambang batu kapur milik keluarga Lerky. Semua terlihat rapi dan sempurna, namun Diana tahu di balik angka-angka itu tersembunyi kebohongan besar. Ia telah melihat sendiri kondisi desa tambang, tanah rusak, rakyat miskin, dan anak-anak kelaparan.
“Laporan mereka menyebut panen batu meningkat, tapi tidak ada peningkatan kas untuk kerajaan. Kemana sisanya mengalir?” gumamnya pelan.
Ia menggenggam ujung pena bulu di tangannya, mengetuk meja dengan ritme tak sabar. Pikiran dan perasaannya bercampur: marah, prihatin, tapi juga tekad yang tak tergoyahkan.
Ketukan lembut di pintu mengalihkan perhatiannya.
“Masuk,” ucapnya tenang.
Olim masuk dengan sopan. “Yang mulia, anak-anak yang Anda bawa dari desa sudah bangun. Mereka sedang sarapan di taman timur.”
Wajah Diana melunak. “Terima kasih. Aku akan segera ke sana.”
Ia berdiri, merapikan gaun biru gelapnya, lalu berjalan melewati lorong panjang dengan lukisan para raja terdahulu tergantung di dinding. Setiap langkahnya bergema lembut di lantai marmer putih.
Di taman, Arel dan Fey duduk di meja kecil yang dihiasi taplak bersulam emas. Di hadapan mereka tersaji roti gandum, madu, buah kering, dan sup hangat.
Fey tersenyum malu-malu saat melihat Diana datang. “Yang mulia! Kami sudah mencoba semuanya… rasanya luar biasa.”
Arel, dengan pipi masih penuh roti, buru-buru menelan dan berkata, “Aku belum pernah makan makanan seenak ini seumur hidupku.”
Diana tertawa kecil. “Nikmatilah. Istana bukan hanya tempat untuk bangsawan, tapi tempat di mana kerja keras dihargai. Kalian akan belajar di sini, dan suatu hari kalian akan memberi manfaat bagi banyak orang.”
Fey mengangguk sopan. “Terima kasih telah membawa kami, Yang Mulia. Kami tidak tahu harus bagaimana membalasnya.”
“Belajarlah,” jawab Diana lembut. “Itu sudah cukup.”
Setelah sarapan, ia mengajak mereka berkeliling. Ia memperkenalkan taman istana, perpustakaan, ruang latihan, dan bengkel kecil di sisi barat.
Ketika melewati bengkel itu, Arel berhenti. Matanya tertarik pada meja penuh potongan logam, alat kecil, dan batu permata berkilau. “Apa ini, Yang Mulia?” tanyanya.
“Itu bengkel perhiasan istana. Para pengrajin membuat mahkota dan perhiasan bangsawan di sini.”
Arel melangkah mendekat, jarinya menyentuh lembut logam kecil di meja. Ia menatap kilaunya lama, seakan memahami sesuatu yang tak bisa diucapkan. “Benda ini indah… seperti punya kehidupan sendiri,” ucap Arel kagum.
Diana memperhatikan tatapannya dan tersenyum samar. Anak ini punya mata yang tajam. Bakatnya berbeda dari yang lain, seperti yang di tuliskan di dalam novel.
Mereka melanjutkan tur menuju ruang belajar, di mana dua guru sudah menunggu: seorang pria paruh baya dengan jubah abu-abu dan seorang wanita muda yang membawa tumpukan buku.
Diana memperkenalkan mereka. “Mulai hari ini, kalian akan belajar membaca, menulis, berhitung, serta etika dasar. Arel, kau juga akan berlatih bela diri. Fey, kau akan belajar tata krama dan seni melayani bangsawan.”
Fey memeluk buku pertamanya dengan kagum. “Aku… akan belajar sebaik mungkin.”
Arel mengangguk tegas. “Aku juga, Yang Mulia.”
Diana menepuk bahu mereka. “Kalian tidak perlu menjadi bangsawan untuk hebat. Tapi untuk menjadi orang yang dihormati, kalian harus memiliki ilmu dan hati yang kuat.”
Setelah memastikan keduanya memulai pelajaran, Diana kembali ke ruang kerjanya. Ia segera menulis surat dengan tinta hitam di atas kertas bergaris emas.
Surat pertama ditujukan kepada Kepala Pengawas Kerajaan:
“Selidiki aktivitas tambang Lerky tanpa sepengetahuan mereka. Kumpulkan kesaksian pekerja. Catat perbedaan antara hasil tambang dan laporan resmi. Laporkan padaku langsung.”
Surat kedua untuk Kapten Pengawal Istana:
“Kirim mata-mata ke gudang Lerky di luar kota. Cari bukti pemalsuan dokumen dan aliran dana gelap. Bertindak dalam diam.”
Diana menutup kedua surat dengan segel pribadinya dan memanggil pelayan kepercayaannya, Olim. “Antarkan ini dengan tanganmu sendiri. Jangan ada yang tahu.”
“Baik, Yang Mulia,” jawab Olim sambil membungkuk.
Setelah mereka pergi, Diana berdiri di depan jendela besar, menatap taman di mana Arel dan Fey masih belajar. Dalam hatinya tumbuh rasa haru yang hangat.
“Aku tidak bisa menyelamatkan semua orang… tapi setidaknya aku bisa menyelamatkan mereka.”
Malam mulai tiba ketika seorang utusan datang membawa surat dengan segel biru tua. Diana membuka dan membaca cepat. Itu dari Duke Arven:
“Yang mulia Diana, Kudengar kau sedang bergerak melawan Lerky. Hati-hati. Banyak bangsawan lain yang berutang budi padanya. Jika kau butuh tangan kanan, kirimkan pesan rahasia. Aku siap membantu.”
Diana menutup surat itu perlahan. Arven… bangsawan tua yang setia kepada kerajaan. Mungkin aku memang memerlukan bantuannya.
Malam semakin larut. Lilin menyala lembut di ruang belajar tempat Arel dan Fey berlatih. Fey dengan sabar mengeja huruf, sementara Arel sibuk menggambar pola di kertas.
“Apa yang kau gambar?” tanya Diana mendekat. Diana melihat ruangan masih ada cahaya.
“Megapa kalian tidak menggunakan lampu?” tanya Diana sambil menyalakan lampu yang sudah diberi sihir.
“Kami tidak ingin mengganggu orang lain,” jawab Arel.
Diana mengelus kepala Arel.
Arel menunjukkan kertasnya. Sebuah sketsa cincin sederhana dengan ukiran halus menghiasi sisi logamnya. “Aku ingin membuat benda seperti ini suatu hari nanti.”
“Cantik,” ujar Diana kagum. “Kau punya imajinasi yang indah. Aku akan memintakan izin agar kau bisa belajar langsung dari pengrajin istana.”
Mata Arel berbinar. “Benarkah, Yang Mulia?”
“Ya… jika kau terus berlatih, suatu hari kau bisa membuat mahkota untuk Raja.”
Fey tersenyum bangga pada kakaknya. “Kalau begitu aku ingin jadi orang pertama yang memakainya.”
Tawa kecil pecah di antara mereka. Namun di balik senyum itu, Diana tahu dunia tidak akan selalu seindah malam ini. Lerky masih bebas, masih berkuasa, dan masih berbahaya.
Ia menatap lilin yang perlahan mencair, lalu meniupnya.
“Benih masa depan telah kutanam. Sekarang tugasku adalah mencabut duri masa lalu,” gumam Diana.
Malam itu, di bawah cahaya bulan di istana, Diana bersumpah dalam hati: keadilan akan datang, dan tidak ada bangsawan busuk yang akan lolos dari tangannya. Diana mengepalkan kedua tangannya.
Di perbatasan.
Malam itu sangat gelap. Mereka semua menggunakan obor untuk mencari seseorang.
“Apa kau yakin dia berada disini?” tanya Rowan sambil mengerutkan keningnya.
Selena menggigit bibirnya, seharusnya pria itu berada disini. Dimana dia?
“Love … apa kau tidak bisa mencarinya?” tanya Selena menggunakan telepati.
“Tidak bisa … itu diluar jangkauanku,” jawab Love.
Tch. Selena terus berjalan.
“Aku yakin pasti ada disekitar sini karena yang mulia telah melukainya,” ucap Selena. Spirit barunya belum juga bangun, ia harus segera membuat kontrak.
Selena diam – diam melukai jarinya dan meneteskannya pada batu putih itu. Masih belum ada reaksi? Huuf .. bersabarlah Selena.
pesan author :
Maaf karena terlambat update di karenakan author sedang sakit beberapa hari ini ><)
jangan lengah jangan lelah