Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Rumi Jengah
Derry buru-buru berdiri dan mengambil tiang infus yang masih tersambung di tangan Rumi. Dengan langkah sigap ia mengikuti bosnya, memastikan cairan infus tetap mengalir tanpa terhambat.
Julian berjalan mantap menuju meja makan. Aroma kopi dan roti hangat makin terasa saat ia mendekat. Dengan hati-hati, ia menurunkan Rumi di kursi, memastikan tubuhnya bersandar nyaman.
“Duduk diam. Sarapan,” perintahnya pendek, seakan sedang memberi instruksi kerja.
Rumi melipat tangannya di dada, masih manyun. “Saya bisa duduk sendiri, bisa makan sendiri. Kenapa Bapak repot-repot segala?”
Julian menatapnya datar, lalu mencondongkan tubuh sedikit. “Karena saya tidak mau ada masalah di sini. Kamu sedang sakit, dan saya tidak mau sibuk mengurus kalau kamu tiba-tiba jatuh pingsan. Jadi makan. Sekarang.”
Nada suaranya tidak meninggi, tapi dinginnya menusuk sampai ke tulang. Rumi akhirnya hanya bisa menghela napas keras, lalu menunduk pada piring di hadapannya.
Derry dengan sigap menuangkan sup krim ke dalam mangkuk, lalu menaruh sendok di sampingnya. Tangannya sedikit gemetar saat meletakkan piring, sebab pikirannya masih sibuk bertanya-tanya. Sejak kapan Tuan Julian begini? Apa ini hanya sekadar perhatian karena kondisi pasien? Atau … dia mengingat sesuatu tentang Rumi?
Julian duduk di kursi seberang, membuka map dokumen seolah tak terjadi apa-apa. Namun matanya sesekali terangkat, memperhatikan gerakan Rumi yang perlahan mulai menyendok sup.
Suasana kamar VIP kembali tenang, hanya diwarnai suara isapan Kenzo yang sudah tenang di pelukan Nia setelah dimandikan. Bayi mungil itu tampak nyaman dibedong kain lembut, wajahnya merah merona.
Rumi menunduk, menyeruput sup perlahan. Hangatnya menenangkan perut yang tadi sempat mulas. Namun pikirannya kacau. Kenapa dia harus menggendongku seperti itu? Memalukan sekali ….
Julian menutup mapnya, lalu bersuara. “Kalau kamu butuh sesuatu, katakan. Jangan maksa diri.”
Rumi mengangkat wajah, menatapnya dengan alis terangkat. “Kenapa Bapak begitu peduli? Kita bahkan bukan siapa-siapa.”
Julian menatap balik tanpa ekspresi. “Karena kamu ibu susu dari anak saya.” Ia mengangguk singkat ke arah Kenzo yang digendong Nia. “Dan anak itu akan butuh kamu tetap sehat. Itu saja alasannya.”
Jawaban itu membuat dada Rumi sesak. Kata-kata Julian sederhana, dingin, tanpa embel-embel manis. Namun justru karena itulah terasa jujur. Ia menunduk lagi, menahan perasaan yang tiba-tiba mengalir entah dari mana.
Derry berpura-pura sibuk menata roti dan olesan selai, padahal telinganya tajam menyerap setiap kata. Ia semakin yakin, ada sesuatu dalam sikap Julian yang tidak biasa kali ini.
“Bapak .…” Rumi akhirnya membuka suara lagi, suaranya lebih pelan. “Kalau pun saya lemah, jangan perlakukan saya seakan tidak berharga. Saya masih bisa berusaha untuk kuat.”
Julian bersandar di kursinya, menatapnya lama. “Kalau kamu benar-benar ingin kuat, buktikan dengan menjaga dirimu sendiri. Jangan menyusahkan orang lain.”
Ucapan itu kembali seperti cambuk. Rumi terdiam, jari-jarinya meremas sendok di tangannya. Tapi anehnya, di balik rasa kesal, ada rasa hangat yang menyusup.
Keheningan kembali turun, hanya terdengar bunyi sendok yang beradu dengan mangkuk. Nia sesekali menimang Kenzo agar tetap tenang, sementara Derry berdehem kecil untuk memecah suasana canggung.
Aroma kopi yang baru dituangkan semakin kuat, menambah kehangatan pagi itu. Namun yang lebih terasa adalah hawa dingin dari Julian yang berusaha keras menyamarkan kegelisahannya sendiri.
Ia menatap Rumi sekali lagi, kemudian mengalihkan pandangan ke dokumen di tangannya. Namun jemarinya kembali mengetuk meja—kebiasaan yang selalu muncul saat pikirannya tidak tenang.
Dan di ruangan itu, setiap orang tahu: dinginnya Julian hanyalah lapisan luar. Di baliknya, ada sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat—sesuatu yang bahkan dirinya mungkin belum siap untuk mengakui.
***
Setelah beberapa sendok sup krim dan roti sandwich masuk ke perut, Rumi akhirnya menurunkan sendoknya. Mangkok di depannya kosong, hanya tersisa jejak kuah yang menempel di pinggir. Ia menutup mulut dengan serbet, menahan napas panjang agar tidak menampakkan wajah lega di depan Julian.
Julian sendiri sudah membereskan sarapannya. Gerakannya tenang, terukur, seolah setiap detail kecil—dari menaruh sendok hingga melipat serbet—adalah bagian dari rutinitas yang tidak boleh salah sedikit pun. Derry berdiri agak jauh, menyingkirkan piring dan gelas dengan rapi.
Di sisi lain ruangan, baby Kenzo sudah kembali tertidur pulas. Wajah mungilnya tampak damai, napasnya teratur. Nia, setelah memastikan bayi itu nyaman dibedong, merebahkannya ke dalam boks kecil di sudut kamar. Suasana mendadak hening. Hanya suara mesin infus dan detak jam dinding yang mengisi udara.
Ketukan pintu memecah keheningan. Seorang dokter anak dengan jas putih rapi masuk, ditemani seorang perawat muda yang membawa catatan medis. “Selamat pagi,” sapa dokter itu ramah.
Julian berdiri refleks, memberi ruang. Rumi pun ikut menoleh, meski wajahnya masih terlihat sedikit lelah.
Dokter itu menghampiri boks baby Kenzo, membuka kain bedong perlahan, dan memeriksa tubuh kecil bayi itu dengan cermat. Stetoskop dingin menempel di dada mungil, diikuti suara napas dokter yang fokus mendengarkan. Setelah beberapa menit, ia tersenyum tipis.
“Demamnya sudah turun. Suhu tubuhnya stabil sejak semalam. Tidak ada tanda-tanda komplikasi,” ucap dokter itu tenang. “Untuk sementara, bayi ini bisa tetap dirawat di sini sambil terus dipantau. Jika kondisinya bertahan baik sampai besok, kemungkinan besar sudah bisa pulang.”
Rumi hampir menjatuhkan napas lega. “Syukurlah …,” gumamnya, menatap Kenzo penuh rasa syukur.
Julian hanya mengangguk sekali, ekspresinya tetap datar, namun matanya memantul sedikit cahaya lega. “Terima kasih, Dokter. Lanjutkan pemantauan seperti biasa. Saya tidak mau ada yang terlewat.”
“Baik, Pak Julian,” jawab dokter itu sambil mencatat beberapa instruksi pada perawat. Setelah beberapa menit lagi memastikan semuanya, mereka berpamitan dan keluar ruangan.
Keheningan kembali.
Rumi melirik singkat ke arah Julian yang sudah kembali duduk di kursinya, membuka map dokumen. Ia mendesah pelan, merasa tubuhnya masih segar setelah mandi tadi, meski hati justru penuh gejolak. Perhatian Julian yang berlebihan sejak tadi membuatnya jengah.
“Nia, tolong buatkan susu coklat yang dibelikan Derry untuk Rumi …,” katanya tanpa menoleh.
Nia menoleh, sempat melirik Julian yang masih sibuk dengan kertasnya. “Baik, Tuan,” jawabnya.
Tak lama, segelas susu coklat hangat tersaji di meja. Rumi membawanya ke balkon kamar VIP—ruang kecil dengan kursi dan meja bundar, menghadap pemandangan taman rumah sakit. Matahari sudah naik lebih tinggi, cahayanya menimpa dedaunan yang basah oleh embun. Suasana luar terasa lebih segar, meski samar-samar bau antiseptik tetap terbawa angin.
Rumi duduk, memeluk gelas hangat itu dengan kedua tangan. Ia menyesap perlahan, membiarkan manis dan hangatnya menenangkan hati. Bukan karena lelah fisik ia memilih duduk di sini, melainkan karena ingin menjauh sejenak dari dinginnya perhatian Julian.
Namun, rupanya ia tidak sendiri.
Langkah kaki berat dan tenang terdengar dari dalam ruangan. Tak butuh waktu lama, sosok tinggi Julian muncul di ambang pintu balkon, membawa satu map dokumen di tangan kirinya. Tatapannya sekilas menyapu wajah Rumi, lalu kursi kosong di sebelahnya. Tanpa banyak bicara, ia menarik kursi itu dan duduk.
Bersambung ... ✍️
Apa bu Ita sudah tahu kalau Kenzo putranya Rumi ya...???