NovelToon NovelToon
Senja Di Aksara Bintang

Senja Di Aksara Bintang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Mengubah Takdir / Cinta Murni / Angst
Popularitas:310
Nilai: 5
Nama Author: NdahDhani

Alden berjalan sendirian di jalanan kota yang mulai diselimuti dengan senja. Hidupnya tidak pernah beruntung, selalu ada badai yang menghalangi langkahnya.

Dania, adalah cahaya dibalik kegelapan baginya. Tapi, kata-katanya selalu menusuk kalbu, "Alden, pergilah... Aku tidak layak untukmu."

Apa yang menyebabkan Dania menyuruh Alden pergi tanpa alasan? Nantikan jawabannya hanya di “Senja di aksara bintang”, sebuah cerita tentang cinta, pengorbanan dan rahasia yang akan merubah hidup Alden selamanya...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NdahDhani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9: Luka yang masih membekas

Alden berjalan sendirian di jalanan yang sepi. Setelah sebelumnya ia bertemu dengan Dania dan Rani di persimpangan jalan.

Dua gadis itu mengajak Alden untuk jalan-jalan sore, tapi Alden menolak karena suatu hal.

Alden berhenti di sebuah jalan yang ditanami pohon rindang di sepanjang jalannya. Angin berdesir membuat daun-daun kering berguguran.

Alden memejamkan matanya, menghirup udara segar untuk mengisi paru-parunya. Ia melepaskan sejenak beban pikirannya yang kembali melayang ke masa lalu.

Saat membuka mata, tiba-tiba saja ada seseorang yang menabraknya dari belakang, membuat Alden kehilangan keseimbangan untuk sejenak. Orang itu berlari, tidak memperhatikan sekitar.

Alden menyeimbangkan tubuhnya dan mendapati seorang pria paruh baya yang terlihat celingukan, seperti sedang dikejar oleh sesuatu.

Alden tidak bisa melihat jelas siapa orang itu, karena posisinya yang membelakangi Alden. Tapi, dari ciri-cirinya seperti orang yang Alden lihat di kontrakannya beberapa hari lalu.

Pria itu tiba-tiba menoleh dan keduanya sama-sama terkejut. Alden sendiri tidak percaya apa yang dilihatnya.

"Ayah?" ujar Alden dengan nada yang berat dan tidak percaya. "Siapa kamu?" tanya pria paruh baya itu yang tidak mengenali Alden.

Alden tertawa dingin, ayahnya yang dulu meninggalkannya begitu saja kini justru tidak mengenali Alden lagi. "Ayah benar-benar melupakan aku dan ibu."

Pria itu mengernyitkan dahi, memandangi Alden dalam. Setelah beberapa saat ia baru menyadari bahwa pemuda di depannya adalah putra kandungnya. "Alden? Kamu Alden?"

Alden menggelengkan kepalanya, tidak bisa mempercayai bahwa ia bertemu dengan ayahnya lagi. Tapi, yang membuatnya semakin tidak percaya adalah ayahnya yang tidak mengenali dirinya lagi.

"Ini ayah, Alden." ujarnya sambil mencoba memeluk Alden.

Alden melangkah mundur, seolah tidak ingin disentuh oleh ayahnya. "Ayah? Tapi ayah sendiri gak kenal aku."

"Kemana aja ayah selama ini? Ayah ninggalin aku dan ibu begitu saja. Apa yang ayah lakukan di luaran sana?" tanpa sadar, Alden menitikkan air mata. Rasa sedih dan kecewa yang telah lama ia pendam, kini keluar bersamaan dengan emosinya.

"Ayah khilaf, Alden." ujar ayahnya sedikit lembut. Ia mencoba untuk menyentuh Alden lagi, tapi pemuda itu lagi-lagi mengambil langkah mundur.

"Ayah gadaikan rumah untuk menutupi hutang ayah. Ayah pergi gitu aja tanpa kabar. Ayah gak peduli dengan aku dan ibu." ujar Alden dengan helaan nafas panjang, ia merasakan tubuhnya yang bergetar karena perasaannya yang campur aduk saat ini.

"Alden, maafkan ayah..." hanya kalimat itu yang diucapkan ayahnya tanpa penjelasan lebih lanjut.

"Apa yang ayah lakukan di luaran sana, jawab aku ayah."

"Jangan lari!"

Belum sempat ayahnya menjawab, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang dari kejauhan. Suara itu terdengar tegas dan berisi peringatan, membuat ayah Alden langsung berlari tanpa kata.

"Apa lagi yang ayah lakukan?" gumam Alden lirih, menatap kosong ke arah ayahnya yang sudah berlalu.

"Permisi, apa Anda melihat seorang pria dengan jaket hitam berlari ke arah sini?" tanya salah satu petugas kepolisian yang menghampiri Alden.

Alden terdiam sejenak, merasa ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan polisi itu. Alden menghela nafas panjang, akhirnya dengan berat hati ia menunjuk ke arah jalan.

"Beliau berlari ke arah sana, Pak."

"Terima kasih atas informasinya, mari." ujar polisi itu dan berlari ke arah jalan yang ditunjuk oleh Alden.

"Maafkan aku, ayah." Alden sendiri tidak tahu perkataan maafnya itu ditujukan untuk apa. Ia mengucapkan kata itu karena tidak bisa menolong ayahnya atau justru karena Alden membiarkan polisi mengejar ayahnya.

Entahlah, Alden sendiri juga tidak mengerti apa yang ia rasakan saat ini. Ia merasa seperti kembali ke masa itu. Luka yang masih membekas, kini kembali menyeruak dalam hatinya.

...✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧...

Dania sedang duduk di taman rumahnya dengan ayah dan ibunya, diiringi dengan canda dan tawa.

Ayahnya yang baru pulang dari luar kota beberapa hari lalu, kini meluangkan waktunya untuk keluarga kecilnya.

Suasana di rumah Dania terlihat sangat akrab dan hangat, sangat jauh berbeda dari keadaan Alden saat ini.

Pemuda berusia 17 tahun itu duduk di kamarnya sambil mengobati tangannya yang terluka. Ya, Alden sempat menghantam pohon saat berjalan menuju kontrakannya.

Ia tidak bisa mengendalikan emosi yang telah lama ia pendam. Ia tidak benci dengan ayahnya, hanya saja ia merasakan kekecewaan yang mendalam.

"Alden, ayo makan nak." ujar ibunya yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya.

Alden yang panik langsung menyembunyikan tangannya ke belakang punggungnya. "Ah, i-iya Bu." ujar Alden gugup.

"Kamu kenapa nak?" tanya ibunya yang memperhatikan gerak-gerik Alden. "Enggak ada kok Bu," ujar Alden dengan seutas senyum.

Ibunya yang tidak percaya langsung menarik tangan Alden. Alden terkejut, tapi ia tidak bisa berkata-kata karena ibunya sudah melihat apa yang dia sembunyikan.

"Ya Allah nak! Ini tangan kamu kenapa?"

"Maaf, Bu..." Alden menunduk, tidak berani melihat wajah ibunya. Lagi-lagi, ia membuat ibunya khawatir.

"Alden, kamu kenapa sayang?" ujar ibunya lembut dan memegangi kedua bahu Alden.

Alden menghela nafas panjang, akhirnya ia menoleh ke arah ibunya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Tadi, aku bertemu ayah, Bu." ujar Alden lirih.

"Terus tangan kamu kenapa, Alden?" tanya ibunya yang semakin khawatir. Ia takut ayahnya telah melakukan sesuatu yang buruk kepada putra tunggalnya itu.

"Aku pukul pohon, Bu." ujar Alden jujur dan menelan ludahnya.

"Emangnya apa yang ayahmu lakukan, nak? Kenapa kamu sampe begini?" Ibunya menatap Alden dalam, kilasan matanya terlihat berkaca-kaca.

"Ayah gak ngelakuin apa-apa kok Bu. Cuma..." Alden menghentikan perkataannya, ia bimbang harus menceritakannya pada ibunya atau tidak.

"Ayah kenapa, nak?"

"Ayah dikejar polisi, Bu." ujar Alden berat, mengingat kejadian tadi sore.

"Apa? Polisi?" ujar ibunya yang tidak percaya. Alden hanya mengangguk perlahan, terasa menyakitkan jika harus mengingat kejadian itu. Keduanya hening untuk beberapa saat, terhanyut dalam pikiran masing-masing.

"Nak, ayahmu punya masalahnya sendiri. Kita enggak bisa merubahnya. Biarkanlah ayahmu mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukannya." ujar ibunya di sela-sela keheningan.

"Kamu harus fokus pada masa depanmu. Kamu memiliki potensi yang besar, nak. Jangan biarkan masa lalu itu menghalangi niat kamu." ibunya menasihati dengan lembut.

Alden mengangguk perlahan, merasa sedikit lega dengan nasihat ibunya. Apa yang dikatakan ibunya ada benarnya, jalan hidupnya masih panjang. Dan Alden harus fokus pada masa depannya.

"Terima kasih, Bu." ujar Alden dengan senyuman. Ibunya tersenyum lalu berjalan ke arah dapur.

"Ibu tunggu di dapur, nak."

Alden hanya mengangguk singkat. Setelah ibunya keluar dari kamarnya, mata Alden tertuju pada benda pipih yang selalu dipegangnya itu.

Layarnya menyala, menandakan adanya notifikasi masuk. Alden sedikit tersenyum, ketika membaca pesan dari seorang gadis.

^^^Bersambung...^^^

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!