Elena Ivor Carwyn hidup sebagai Duchess yang dibenci, dihina, dan dijadikan pion dalam permainan politik kaum bangsawan. Namun ketika hidupnya direnggut secara tragis, takdir memberinya kesempatan kedua kembali satu tahun sebelum kematiannya. Kali ini, Elena bukan lagi wanita naif yang mudah dipermainkan. Ia bertekad membalikkan keadaan, mengungkap pengkhianat di sekitarnya, dan melindungi masa depan yang pernah dirampas darinya.
Namun di balik senyuman manis para bangsawan, intrik yang lebih mematikan menanti. Elena harus berhadapan dengan konspirasi kerajaan, perang kekuasaan, dan rahasia besar yang mengancam rumah tangganya dengan Duke Marvyn Dieter Carwyn pria dingin yang menyimpan luka dan cinta yang tak pernah terucap. Di antara cinta, dendam, dan darah, Elena akan membuktikan bahwa Duchess Carwyn bukan lagi pion melainkan ratu di papan permainannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KazSil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Tak Diundang
Pagi hari di Duchy Carwyn dimulai dengan hiruk-pikuk yang teratur. Burung-burung berkiacau di taman, pelayan berlarian dengan langkah teratur, dan cahaya matahari menembus jendela kamar Elena dengan lembut.
Ketukan pelan terdengar di pintu.
"Duchess, tuan Alwen sudah tiba," ucap salah seorang pelayan wanita.
Elena sempat tertegun "Secepat ini?" gumamnya dalam hati. Meski begitu, ia tetap mengangguk pelan, memberi izin untuk mempersilakannya masuk.
Pintu terbuka, memperlihatkan seorang pria berusia muda, mungkin pertengahan dua puluhan. Rambut campuran hijau tua dan hitamnya terikat rapi ke belakang, wajahnya bersih tanpa janggut, dan mata abu-abunya jernih. Tubuhnya terlihat bugar, ramping namun tegap, langkahnya mantap saat ia masuk membawa tas kecil berisi peralatannya.
"Selamat pagi, Duchess," sapanya sopan. Suaranya tenang berwibawa. Dialah Alwen, Dokter pribadi Mervyn, sekaligus salah satu orang kepercayaannya.
Elena menatapnya sejenak sebelum berucap pelan, “Bukankah ini terlalu pagi?”
Alwen tersenyum tipis, sudut bibirnya terangkat halus. “Benar, saya pun sempat berpikir demikian. Namun, ini adalah perintah langsung dari Duke. Beliau meminta agar pemeriksaan dilakukan secepatnya.”
Ia menambahkan dengan nada ringan, “Tampaknya, Duke benar-benar mengkhawatirkan kesehatan Anda, Duchess.”
Elena terdiam sejenak, alisnya sedikit berkerut. “Dia…?” gumamnya lirih, seolah tidak yakin. Mengingat sikap Mervyn yang kerap berubah-ubah, hatinya diliputi keraguan.
Elena duduk di tepi ranjang, merentangkan lengan yang masih terbalut perban, Alwen memeriksanya dengan teliti, jemarinya bekerja hati-hati, membuka perban, lalu mengoleskan ramuan herbal beraroma tajam.
"Lukanya sudah mulai mengering," ujarnya tenang. "Namun, anda tetap harus berhati-hati. Jangan terlalu banyak menggerakkan lengan ini."
Elena mengangguk, namun matanya menatap pria itu lama.
Setelah selesai memeriksa, Alwen menunduk sopan. "Saya akan kembali besok untuk melihat perkembangannya." Lalu ia pergi dengan langkah tenang.
...
Angin sore berembus lembut dari arah taman, membawa aroma mawar yang baru mekar. Elena duduk di teras paviliun kecil yang menghadap kolam air mancur. Di hadapannya tersaji teh herbal hangat dan piring kecil berisi kue manis yang baru saja dibawa pelayan.
Sendok peraknya berputar pelan di dalam cangkir, namun tatapan Elena kosong. Ia hanya sekali menyesap teh, lalu kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Pagi tadi, sejak selesai diperiksa oleh Alwen, Elena sudah meminta Myra menemaninya ke arena latihan kesatria Carwyn. Ia berdiri di balik pagar kayu, memperhatikan puluhan pria bersenjata mengayunkan pedang dengan kekuatan dan presisi yang menggetarkan hati.
Otot-otot mereka tegang, penuh bercucuran, teriakan semangat membahana. Tak ada satupun yang tampak lemah. Mereka memang di didik untuk menjadi benteng pertahanan Carwyn.
Namun, justru itulah masalahnya. Semua kesatria itu adalah bawahan langsung Mervyn. Setiap gerakan mereka, setiap perintah, setiap laporan semuanya akan sampai ke telinga Mervyn.
Dan Elena tidak bisa membiarkan itu terjadi. Jika benar yang ia rasakan selama ini berhubungan dengan kematiannya di kehidupan sebelumnya maka penyelidikan ini harus berjalan diam-diam. Tanpa sepengetahuan Mervyn.
Sendok di tangannya berhenti berputar. Elena menggenggam cangkir, menatap bayangan dirinya di permukaan teh. Wajahnya tampak pucat, lelah oleh pikiran yang berlapis-lapis.
"Jika aku salah langkah, aku bisa mengulang nasibku yang dulu... mati tanpa tahu apapun."
"Duchess Carwyn."
Suara berat nan dalam memecah lamunannya. Elena menoleh cepat.
Seorang pria agak tua berjalan menghampiri. Rambutnya sudah mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam seperti elang. Jubahnya berwarna gelap dengan bordir keemasan, tanda jelas seorang bangsawan.
Pelayan yang berjaga di sekitar segera menunduk memberi hormat, lalu mundur menjauh seakan tahu diri. Kecuali Myra, ia mundur tidak terlalu jauh dari paviliun itu dari jaraknya ia bisa melihat Elena dan mendengar sedikit pembicaraan mereka.
Elena berusaha tenang.
“Maafkan saya bila mengganggu waktu Anda yang berharga, Duchess. Saya, Baron Oswald Greymont,” ucapnya sambil menundukkan kepala sedikit, senyum ramah tersungging di bibirnya. “Bolehkah saya duduk dan berbincang bersama Anda?”
Elena menatapnya sejenak, lalu mengangkat sudut bibirnya dalam senyum sopan. “Silakan, duduklah” Ia memberi isyarat ringan kepada pelayan.
Tak lama, hidangan tambahan pun disajikan di hadapan Baron Oswald.
“Ah… saya baru menyadarinya. Lengan Anda, apakah anda terluka, Duchess?” tanyanya dengan nada prihatin.
Elena menahan senyum ramahnya. “Bukan hal besar, hanya luka kecil.”
“Namun luka sekecil apa pun pantas diperhatikan,” balas Baron Oswald lembut. “Lagipula, setelah lebih dari satu tahun menikah dengan Yang Mulia Duke, kabar tentang seorang pewaris belum juga terdengar. Tolong, jagalah kesehatan Anda demi masa depan keluarga Carwyn.” Ucapannya dibungkus senyum hangat, namun tajam bak bilah tipis yang menusuk.
Senyum Elena perlahan menurun. Nada suaranya berubah lebih dingin, meski tetap berbalut kesopanan. “Saya berterima kasih atas perhatian Anda, Baron. Namun seperti yang saya katakan, luka ini hanyalah akibat dari kunjungan resmi saya bersama Duke.”
“Kunjungan… bersama Duke?” alis Baron Oswald sedikit berkerut.
“Benar,” jawab Elena singkat.
Sekilas ketidaksenangan tampak di wajah Baron Oswald. Ia segera mengalihkan topik. “Saya memiliki seorang putri yang cantik dan berbakat dalam seni lukis. Belum lama ini saya memperoleh karya dari pelukis kenamaan, dan putri saya memahami lukisan itu dengan baik. Saya berencana mempersembahkannya kepada Duke, sekaligus memperkenalkan putri saya agar ia dapat menjelaskan makna lukisan itu dengan indah.”
Ia terus berbicara panjang tentang putrinya, hingga Elena hanya meneguk teh dalam diam.
Suara denting halus terdengar saat ia mengangkat gelas dari piring kecilnya. Elena menahan gelas di udara sejenak sebelum meneguknya. “Baron, mengapa Anda merasa perlu menyampaikan hal ini kepada saya?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh arti.
Kata-katanya membuat Baron Oswald sedikit terdiam. Elena meletakkan kembali gelasnya perlahan. “Apakah karena Yang Mulia Duke tidak memberi tanggapan yang Anda harapkan, maka kini Anda mencari telinga lain untuk mendengarkannya?”
Senyum tipis muncul di bibir Elena, mata dinginnya menatap lurus. “Sayang sekali. Suami saya terlalu sering mendengar orang-orang berbicara dengan maksud yang tidak sejalan dengan kata-kata mereka. Seperti yang Anda lakukan saat ini.”
Nada ramah Baron Oswald sontak mengeras, ia bangkit dari duduknya. “Duchess… kata-kata Anda melangkahi batas kesopanan. Apa maksud Anda dengan tuduhan niat terselubung itu?”
"Seperti yang saya katakan, Baron. Membawa-bawa putri Anda dalam pembicaraan… saya akan langsung bertanya pada intinya. Apakah Anda bermaksud menggoda Duke melalui putri Anda?"
Wajah Baron Oswald memerah seketika. Ia berdiri dengan geram, suaranya meninggi meski tetap berusaha menjaga wibawa bangsawan.
“Lancang! Perkataan Anda sungguh lancang, Duchess. Tak pernah saya sangka, seorang yang menyandang gelar Duchess Carwyn bisa bersikap tanpa pendidikan, tanpa tata krama. Benar-benar tak ada gunanya saya melanjutkan percakapan ini. Saya akan undur diri.”
Elena tidak bergerak sedikit pun. Ia hanya menegakkan tubuhnya dan menatapnya dengan dingin. “Kalau begitu, pergilah.”
Nada ucapannya singkat, padat, dan tak memberi ruang untuk ditawar.
Baron Oswald akhirnya berbalik dengan wajah yang semakin merah, langkahnya berat menahan amarah. Namun sebelum ia benar-benar pergi, Elena mengangkat tangannya dan melambaikan jemarinya dengan senyum tipis, seakan menyambut perpisahan seorang tamu yang tak diinginkan.
Itulah yang membuat sang Baron semakin terbakar oleh rasa malu.
....
Malam itu, langit Duchy Carwyn dihiasi kelam yang sunyi, hingga tiba-tiba cahaya merah dan emas mekar di udara. Dentuman lembut kembang api terdengar, menggema di kejauhan.
Elena, yang tengah duduk di sofa ruang pribadinya, menoleh cepat ke arah jendela. Cahaya berwarna-warni memantul di matanya, membuatnya sedikit terperangah. “Itu…?”
Myra yang baru masuk dengan membawa selimut tipis ikut menoleh, lalu tersenyum tipis. “Festival musim panen sudah dimulai, Yang Mulia. Setiap tahun, rakyat menyalakan kembang api untuk menandai pembukaannya.”
Sejenak, Elena terdiam. Namun senyumnya perlahan merekah, kali ini bukan senyum ramah seorang Duchess, melainkan senyum nakal seorang wanita yang ingin merasakan kebebasan sejenak. Ia bangkit, matanya berbinar penuh semangat.
“Myra,” ucapnya dengan nada berbisik, hampir seperti anak kecil yang menyusun rencana jahil. “Ayo kita keluar? Pergi ke festival. Tanpa memberitahu siapa pun.”
Mata Myra membelalak. “Duchess! Itu berbahaya—”
Namun Elena sudah menarik tangannya, langkahnya ringan, penuh kegembiraan yang mendadak. “Ayo, Myra. Malam ini, aku ingin hidup bukan sebagai Duchess Carwyn, tapi sebagai Elena.”
Kembang api kembali mekar di langit malam, seakan mendukung niat gilanya. Myra hanya bisa terhanyut, meski hatinya berdebar keras.
Malam itu, tanpa sepengetahuan siapa pun di Duchy Carwyn, Elena dan Myra mulai merencanakan langkah diam-diam mereka.