Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#18
Pada akhirnya, Afi memilih untuk tetap tinggal. Sungguh, pria ini sudah benar-benar tidak punya kesempatan lagi untuk tinggal di samping Anindia.
"Maafkan aku, mbak Desi. Aku, aku benar-benar sudah menambah kesulitan untuk hidupmu."
"Tidak. Kamu tidak melakukannya, Fi. Sekarang, pulanglah. Temui lah, Nindi. Aku akan baik-baik saja."
"Tidak. Aku tidak akan pulang. Aku akan tetap di sini buat temani kamu, mbak."
"Tapi-- "
"Gak papa, mbak. Nanti, aku akan jelaskan semuanya pada Anin. Aku yakin, Anin akan mengerti."
Bahagia bukan kepalang hati Desi. Tawa lepas dalam hati. Sungguh, ternyata, wajah sedih sangat berguna untuk membuat Afi memihak padanya. Wajah tertindas yang sangat ampuh.
Desi langsung menundukkan wajahnya. Tak lupa, wajah bersalah dia perlihatkan. "Hiks, maafkan aku, Afi. Semua gara-gara-- "
"Jangan di bahas lagi, mbak Desi. Lupakan saja. Di sini, kita semua adalah korban dari wasiat yang menyakitkan itu."
"Mulai dari sekarang, kamu sepenuhnya adalah tanggung jawab ku. Tanggung jawab yang dulunya mas Ali pikul, sekarang, sudah menjadi milikku sepenuhnya."
Manik mata bercahaya langsung terlihat. Sungguh, rasanya, Desi sangat ingin menghambur ke dalam pelukan Afi. Tapi sayangnya, itu belum bisa ia lakukan. Karena sekarang, dia masih harus menjaga wajahnya. Dia masih perlu mempertahankan kesan baik yang selama ini sedang dia perankan.
"Afi, jangan bicara seperti itu. Kita menikah hanya karena wasiat. Dan kamu saat ini masih punya istri lain selain aku yang hanya kamu nikahi karena sebuah wasiat saja."
Suasana hening seketika. Mata Afi terlihat sangat sedih. "Aku menikah dengan mu memang murni karena wasiat, mbak. Tapi, meskipun begitu, aku akan tetap melakukan tanggung jawab ku sebagai suami kamu."
"Kamu yakin, Fi?"
"Ya ... ya aku akan berusaha, Mbak."
"Afi. Jangan paksa dirimu melakukan apa yang tidak bisa kamu lakukan. Pernikahan kita ini, ah, lupakan saja. Ada hal penting yang harus aku tanyakan padamu. Ini menyangkut Anindia."
Mata Hanafi langsung melebar sempurna. "Soal Anin?"
"Hm. Iya. Soal Anindia yang katanya ... bersedia mengizinkan kita menikah secara sah itu dengan alasan, kamu akan menceraikan dia setelah kita menikah. Benarkah itu, Hanafi?"
Afi tidak langsung menjawab. Dia malah berjalan menuju jendela yang berada tak jauh darinya. Dia lepas napas berat di ujung jendela tersebut. Seberat, beban yang saat ini sedang menindih dadanya. Yang membuat dadanya sesak bukan kepalang.
Setelah terdiam beberapa lama, barulah Hanafi angkat bicara. "Ya, mbak. Syarat izin menikah yang aku dapatkan memang perpisahan. Tapi, aku tidak yakin kalau syarat itu bisa aku lakukan."
Seketika, mata Desi membulat sempurna. Sungguh, kata-kata yang baru saja Afi ucapkan, cukup mampu untuk membuat hatinya terkejut.
"Maksud kamu, Fi? Kamu tidak akan bercerai dengan Anin?"
Hanafi memutar tubuhnya untuk melihat Desi. Setelah mata mereka saling pandang, anggukan pelan Afi berikan.
"Iya. Aku ... tidak yakin bisa melepaskan Anin, mbak. Karena aku, sungguh sangat mencintai dirinya."
Desi ingin tertawa. Menertawakan dirinya yang telah dicampakkan secara tidak langsung oleh pria yang baru saja menikahi dia. Pria yang sejujurnya sangat dia inginkan sejak lama. Pria yang memang sudah dia simpan rasa cinta secara diam-diam dalam hatinya sejak pertama kali dia masuk ke dalam keluarga suaminya.
Desi menahan perasaan kesalnya dengan susah payah. Setelah berhasil, barulah bibirnya bisa mengeluarkan kata-kata. "Jadi, sebelumnya, kamu hanya ingin meminta restu dari Anin, Hanafi? Kamu tidak benar-benar akan menuruti permintaan dia?"
"Iya ... iya aku tidak punya cara, mbak. Anin tidak mengizinkan aku menikah lagi. Jika menikah, dia ingin kami bercerai. Dia tidak ingin berbagi suami dengan orang lain. Sedang aku, aku tidak bisa melepaskan dia karena aku sangat mencintainya."
"Lalu, bagaimana kalau dia tahu kamu berbohong padanya, Fi? Apa dia masih bisa menerima dirimu? Atau, bagaimana kalau dia akan berubah sangat membenci kamu, Afi?"
Hanafi langsung bungkam. Sebelumnya, dia sempat berpikir akan hal tersebut. Dia sempat berpikir akan bercerai. Tapi, semakin ia pikirkan, maka semakin berat pula hatinya untuk melakukan.
Tadinya, dia ingin merelakan Anindia untuk sementara waktu. Dia akan mengikuti apa yang Nindi inginkan. Mereka bercerai, lalu dia akan kembali membuat Nindi jatuh cinta padanya setelah perceraian itu. Tapi tiba-tiba, hatinya malah berubah haluan. Dia malah berpikir kalau lebih baik untuk tidak berpisah. Setelah pernikahan, dia akan mempertahankan Anindia agar tetap tinggal disisinya.
Dia tidak akan rela melepaskan istrinya walau sesaat. Itulah yang saat ini ada dalam pikiran Afi. Keinginan untuk mempertahankan malah semakin membesar. Sungguh, rasa egois itu sudah sangat memenuhi hatinya sekarang.
"Hanafi. Apa tidak sebaiknya, kamu ikuti saja dulu apa yang dia inginkan, Fi. Kamu-- "
"Mungkin tidak, mbak. Aku mungkin akan pertahankan dia walau dia sangat membenci diriku. Bagiku, tetap mempertahankan dia adalah pilihan yang paling baik. Karena aku yakin, aku akan mampu membuat dia rela untuk berbagi nantinya. Karena jika dia sudah terbiasa, dia tidak akan ingin berpisah lagi."
Desi langsung kehilangan kata-kata sekarang. Dia sungguh tidak percaya kalau orang yang dia suka, ternyata telah mencintai orang lain sangat dalam. Pernikahan mereka hanya sebatas status saja ternyata.
'Hanafi. Kamu sungguh keterlaluan,' ucap Desi dalam hati. 'Tapi, seperti dirimu yang tidak akan menyerah pada Anindia, aku juga sama. Aku juga tidak akan menyerah padamu. Aku juga akan perjuangkan dirimu seperti mana kamu memperjuangkan dia.'
Beberapa saat kemudian, pembicaraan Desi dan Hanafi berakhir. Hanafi ingin langsung meninggalkan kamar tersebut. Tapi Desi langsung menahannya.
"Afi, tunggu!"
"Iya, mbak? Ada apa?"
"Itu ... bisakah kamu ubah panggilan mu padaku? Tolong, jangan panggil aku dengan sebutan mbak lagi. Panggil saja aku dengan namaku langsung. Karena status kita sekarang juga sudah berubah, bukan?"
Afi terdiam sambil memikirkan apa yang baru saja Desi ucap. Mereka sama-sama terdiam beberapa saat lamanya. Lalu, Desi kembali angkat bicara karena dia sadar akan Afi yang terlihat sedikit enggan untuk menuruti apa yang dia minta.
"Ah, aku hanya merasa, panggilan itu tidak lagi cocok untuk ku, Fi. Walaupun kita menikah karena terpaksa, tapi status pernikahan akan tetap saja, kamu tetap suami aku. Dan aku, tetap istri kamu. Panggilan itu terasa aneh untukku sekarang."
"Iya ... iya baiklah. Aku akan ubah nanti secara perlahan."
"Permisi. Aku keluar sekarang," ucap Afi cepat seolah tidak ingin bicara lebih lama lagi dengan Desi.
*
Acara yang melelahkan akhirnya usai. Malam itu, karena tidak ingin mendengar pergunjingan orang lain, Afi terpaksa tetap tinggal di kediaman Desi. Janjinya pada Nindi membuatnya merasa tidak nyaman. Berulang kali dia coba menghubungi Nindi, tapi sayangnya, tidak ada satupun yang di jawab.
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.