Jiang Shen, seorang remaja berusia tujuh belas tahun, hidup di tengah kemiskinan bersama keluarganya yang kecil. Meski berbakat dalam jalan kultivasi, ia tidak pernah memiliki sumber daya ataupun dukungan untuk berkembang. Kehidupannya penuh tekanan, dihina karena status rendah, dan selalu dipandang remeh oleh para bangsawan muda.
Namun takdir mulai berubah ketika ia secara tak sengaja menemukan sebuah permata hijau misterius di kedalaman hutan. Benda itu ternyata menyimpan rahasia besar, membuka pintu menuju kekuatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sejak saat itu, langkah Jiang Shen di jalan kultivasi dimulai—sebuah jalan yang terjal, berdarah, dan dipenuhi bahaya.
Di antara dendam, pertempuran, dan persaingan dengan para genius dari keluarga besar, Jiang Shen bertekad menapaki puncak kekuatan. Dari remaja miskin yang diremehkan, ia akan membuktikan bahwa dirinya mampu mengguncang dunia kultivasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Penderitaan Yang Harus Dilalui
Siang itu, langit Kota Jinan diliputi cahaya matahari yang terik, tapi di halaman Paviliun Qingshan suasana terasa berbeda. Beberapa gerobak besar berisi peti kayu dan karung beras telah berjajar rapi, siap untuk berangkat menuju Kota Shengguang, sebuah kota dagang yang jaraknya sekitar dua hari perjalanan ke arah selatan.
Perjalanan ini bukanlah urusan sepele—seluruh barang yang dikirim bernilai sangat tinggi, dan jalur yang harus dilalui berbahaya karena melewati Hutan Yulong, tempat sarang banyak beast spiritual dan juga kabarnya dihuni oleh iblis tingkat rendah.
Jiang Shen berdiri di sudut, menatap tumpukan barang yang hampir setinggi tembok gerbang. Keringat sudah membasahi pakaian lusuhnya karena sejak pagi ia dipaksa mengangkat dan menyusun muatan ke atas gerobak. Tangannya lecet, pundaknya perih, tapi ia tak berani mengeluh. Baginya, setiap kesempatan bekerja adalah cara untuk bisa tetap bertahan dan menabung.
Namun, berbeda dari biasanya, kali ini ia tidak hanya ditugaskan mengangkat barang. Pengurus Paviliun menyebutkan bahwa ia harus ikut serta dalam perjalanan menuju Shengguang, bertanggung jawab menjaga muatan serta menurunkannya ketika sampai.
Meskipun jelas ini lebih seperti alasan untuk memanfaatkan tenaganya, dalam hati kecil Jiang Shen ada sedikit rasa bersemangat—ini pertama kalinya ia akan keluar dari kota, melihat dunia luar yang selama ini hanya ia dengar dari cerita orang lain.
Karena jalur penuh bahaya, pihak Paviliun Qingshan pun tidak gegabah. Mereka merekrut sepuluh pendekar kultivasi dari luar untuk menjadi pengawal kafilah.
Dari kejauhan, Jiang Shen melihat para pendekar itu berdiri dengan pakaian rapi, wajah penuh percaya diri, masing-masing membawa senjata tajam yang terikat di pinggang atau punggung mereka.
Mereka semua berada di ranah Pembangunan Fondasi. Sembilan orang berada di level 1, sementara satu orang tampak lebih menonjol—seorang pria berusia sekitar tiga puluhan dengan aura tenang namun menekan.
Dialah pemimpin rombongan, berada di level 5 Pembangunan Fondasi, kekuatannya jelas jauh lebih tinggi dibanding yang lain.
Bagi Jiang Shen yang masih manusia biasa tanpa kultivasi, keberadaan mereka seperti gunung yang tak tergapai. Ia bisa merasakan jelas perbedaan di antara dirinya dengan mereka, meski hanya berdiri beberapa langkah saja.
Untuk sekedar memperjelas, jalan kultivasi yang ada di dunia ini terbagi dalam sembilan ranah:
Kondensasi Qi (level 1–10) – tahap dasar, di mana seseorang mulai merasakan dan mengumpulkan energi spiritual ke dalam tubuh.
Pembangunan Fondasi (level 1–10) – tahap membangun dasar kuat, memperkuat tubuh, dan mulai mampu menggunakan teknik sederhana.
Inti Emas (level 1–10) – energi qi terkondensasi menjadi inti emas di dantian, kekuatan meningkat pesat.
Jiwa Emas (level 1–10) – jiwa dan roh diperkuat, serangan spiritual mulai bisa dilakukan.
Raja (level 1–10) – pemimpin wilayah kecil, kekuatan luar biasa dan mampu menghancurkan pasukan dengan mudah.
Kaisar (level 1–10) – penguasa yang dapat menundukkan ribuan orang, tubuh dan qi mencapai kesempurnaan tingkat tinggi.
Pendekar Suci (level 1–10) – kekuatan mereka dapat mempengaruhi langit dan bumi, nama mereka dicatat dalam sejarah.
Setengah Abadi (awal, menengah, puncak) – berada satu langkah dari keabadian, kekuatannya tak terbayangkan.
Abadi – puncak dari jalan kultivasi, keberadaan mereka seperti dewa, jarang sekali terlihat di dunia fana.
Jiang Shen hanya bisa menatap dengan kagum dan sedikit iri. Di dalam hatinya, ia bersumpah suatu hari ia pun akan berdiri sejajar, atau bahkan melampaui para pendekar yang kini dipandanginya.
“Oi, anak desa!” teriak Wei Liang sambil berjalan mendekat dengan wajah sinis. “Jangan bengong! Kau pikir ikut ke Shengguang itu jalan-jalan? Kau di sini hanya untuk memanggul barang, bukan melotot melihat para pendekar. Cepat naikkan lagi dua karung itu ke gerobak, atau aku lempar kau keluar sekarang juga!”
Tawa kuli lain pun pecah, suara mereka memenuhi halaman. Jiang Shen menggertakkan giginya, namun tetap diam. Ia membungkuk, mengangkat karung lain dengan tubuh yang gemetar, lalu meletakkannya ke atas gerobak.
Langkah demi langkah persiapan dilakukan. Kuda-kuda hitam yang besar diikatkan pada gerobak, senjata para pendekar diperiksa, dan barang-barang dagangan dikunci rapat. Jiang Shen berdiri di barisan paling belakang, napasnya berat namun matanya menatap lurus ke depan.
Hari ini, ia akan keluar dari Jinan untuk pertama kalinya. Ia tahu, bahaya menunggu di luar sana, dan dirinya hanyalah kuli lemah tanpa perlindungan. Tapi entah mengapa, ada getaran aneh di hatinya—seolah perjalanan ini akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar.
Dan ketika lonceng besar di gerbang Paviliun Qingshan berdentang, rombongan itu pun bersiap untuk berangkat…
...
Rombongan Paviliun Qingshan akhirnya bergerak meninggalkan Kota Jinan. Derap kaki kuda terdengar berat, roda-roda gerobak berderit menahan beban barang dagangan. Suara riuh pasar lama-kelamaan memudar, berganti dengan kesunyian jalanan panjang yang sepi.
Setelah beberapa jam perjalanan, dinding batu kota Jinan sudah tak terlihat lagi di belakang. Jalanan berubah menjadi tanah keras yang membentang lurus tanpa banyak pepohonan. Di kiri dan kanan, hamparan rumput luas terhampar sejauh mata memandang, bergoyang diterpa angin sore. Langit biru mulai merona jingga, tanda matahari bersiap tenggelam di ufuk barat.
Jiang Shen duduk di bagian belakang salah satu gerobak, tubuhnya masih terasa pegal setelah seharian mengangkat muatan. Ia mengusap peluh di wajahnya, menatap sekeliling dengan mata penuh rasa ingin tahu. Ini pertama kalinya ia benar-benar melihat dunia luar. Bagi orang lain mungkin pemandangan itu biasa saja, namun bagi Jiang Shen, hamparan luas itu terasa seperti kebebasan—berlawanan dengan hidup sempitnya di Jinan.
Namun kebebasan itu tak bertahan lama. Begitu senja merayap dan cahaya mulai redup, pemimpin pengawal—pria ranah Pembangunan Fondasi level 5—mengangkat tangan dan memberi perintah untuk berhenti.
“Kita tidak boleh memaksa perjalanan di malam hari. Cari tempat datar yang aman, dirikan tenda. Besok pagi kita lanjut.”
Para pengawal segera turun dari kuda, mulai menyusun tenda dan memeriksa sekitar. Jiang Shen, seperti biasa, dipanggil Wei Liang dengan nada meremehkan.
“Hoi, anak desa! Jangan bengong. Cepat dirikan tenda, buat perapian, siapkan makan malam. Kalau kau lambat, jangan harap bisa tidur malam ini!”
Jiang Shen menggertakkan gigi, lalu menuruti perintah. Ia mengangkat tiang-tiang kayu, memasang tali, dan menarik kain tenda dengan tenaga sisa. Tangannya yang sudah lecet kembali tergores, darah merembes sedikit, namun ia tak peduli.
Setelah itu, ia berjongkok, menyusun kayu kering yang ia kumpulkan di sepanjang perjalanan, lalu menyalakan api dengan susah payah. Butuh beberapa kali percikan sebelum akhirnya api kecil menyala, memberi kehangatan di tengah udara malam yang mulai dingin.
Namun tugasnya belum selesai. Para pekerja lain menyuruhnya menyiapkan makanan. Jiang Shen memotong sayuran, merebus air, bahkan memanggang daging sapi kering yang sudah disiapkan sejak dari Jinan. Asap tipis mengepul, aroma gurih dari daging yang dipanggang menusuk hidung, membuat perutnya yang kosong terasa semakin perih.
Ketika semuanya siap, ia menyerahkan masakan itu kepada para pekerja dan pengawal. Gelak tawa terdengar saat mereka duduk melingkar, menikmati makanan hangat di bawah cahaya api unggun. Potongan dendeng sapi yang lezat berpindah dari tangan ke tangan, dimakan dengan lahap.
Jiang Shen duduk di sudut, menatap piring kayu di tangannya. Isinya hanya sepotong roti kering yang keras, hampir basi. Tak ada daging, tak ada sayuran, meskipun semua itu ia yang menyiapkannya dengan susah payah.
“Jangan berharap makan daging, anak desa,” kata salah satu pekerja lain sambil terkekeh, menenggak arak. “Itu untuk orang-orang yang berharga, bukan sampah sepertimu.”
Wei Liang ikut menimpali, tawa angkuhnya menusuk telinga. “Kau seharusnya bersyukur diberi roti kering itu. Kalau aku yang memutuskan, mungkin kau bahkan hanya boleh mencium aroma daging saja!”
Tawa pecah, sementara Jiang Shen hanya menunduk. Ia menggenggam roti kering itu erat-erat, lalu menggigitnya pelan. Rasanya hambar, keras, bahkan membuat gusinya sakit. Tapi ia memakannya juga, karena ia tahu tubuhnya butuh tenaga untuk bertahan.
Api unggun berderak, langit malam dipenuhi bintang yang berkilau. Suara binatang malam sesekali terdengar dari kejauhan, membuat suasana semakin hening. Semua orang tampak puas, kecuali Jiang Shen.
Di dalam hatinya, bara kecil kembali menyala. Setiap hinaan, setiap ketidakadilan, ia telan dalam-dalam. Sakitnya ia simpan. Lapar, lelah, marah—semuanya ia kumpulkan. Bukan untuk ditumpahkan sekarang, tapi untuk hari nanti, saat ia bisa berdiri dan membalas dunia dengan caranya sendiri.
Dan malam itu, di bawah bintang-bintang, Jiang Shen berbaring sendirian di tanah keras tanpa alas, hanya beralaskan jaket tipis. Matanya tetap terbuka, menatap langit, sembari berbisik dalam hati:
“Suatu hari … aku akan keluar dari penderitaan ini. Aku akan lebih kuat dari siapapun di sini.”
MC nya belom mengenal luas nya dunia karena belom berpetualang keluar tempat asal nya,hanya tinggal dikota itu saja
Jangan buat cerita MC nya mudah tergoda pada setiap wanita yg di temui seperti kebanyakan novel2 pada umum nya,cukup 1 wanita.