Arga adalah remaja SMA yang selalu terlihat ramah dan polos, bahkan dikenal sebagai kuli pikul yang tekun di pasar tiap harinya. Namun di balik senyumnya yang tulus, Arga menyimpan rahasia kelam yang hanya diketahui sedikit orang. Ia diam-diam menyelidiki siapa dalang pembantaian keluarganya yang tragis, terbakar oleh tekad balas dendam yang membara. Perjalanan mencari kebenaran itu membawanya bertemu dua gadis tangguh bernama Kinan dan Keysha, yang ternyata juga anak-anak mafia dari keluarga besar yang menyamar sebagai murid SMA biasa namun tetap memiliki jiwa petarung yang kuat di sekolah. Bersama ketiganya, kisah penuh intrik, persahabatan, dan konflik berseteru di dunia gelap mafia pun dimulai, menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi jauh di balik wajah polos mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang basir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mata yang mengintai
Dari bangkunya, Rindi menatap dengan wajah cemas, jantungnya berdebar keras. Sedangkan Keysha, Kinan, dan Leo semakin yakin—apa yang mereka lihat tadi bukan kebetulan.
Dalam posisi menunduk membenahi tali sepatu, wajah Arga tetap tenang, seolah tidak ada yang terjadi. Begitu selesai, ia berdiri tegak kembali lalu menaruh penghapus di tempatnya seperti murid biasa yang patuh.
Murid bangor itu makin geram melihat sikap Arga yang seolah tak terusik. Dengan kesal ia mengangkat kaki dan melayangkan tendangan lurus ke arah punggung Arga.
Namun sekali lagi serangannya meleset. Tepat sebelum terkena, Arga berbalik badan ke samping dan melangkah maju seolah hanya ingin menyingkir ke depan.
Duar! Suara keras terdengar ketika kaki anak bangor menghantam papan tulis. Seluruh kelas spontan terdiam, beberapa murid menahan tawa, sebagian lain membuka mulut tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.
Arga berhenti, lalu menoleh ke belakang dengan ekspresi pura-pura terkejut, seperti baru sadar ada keributan. “astaga, apa yang sedang kamu lakukan?” tanyanya datar, seolah benar-benar polos.
Anak bangor itu langsung menarik kakinya sambil meringis kecil karena benturan, wajahnya merah menahan malu. Sementara di bangku belakang, Keysha, Kinan, dan Leo semakin memperhatikan dengan tatapan serius.
“Coba kamu perhatikan gerakannya. Apa kamu nggak merasa ada yang aneh?” bisik Keysha pelan sambil melirik Kinan.
Kinan mengangguk kecil. Tatapannya tidak lepas dari Arga. “Ya… aku juga merasa begitu. Gerakan tadi terlalu tepat. Itu bukan kebetulan, dia sengaja menghindar.”
Keduanya semakin serius menatap ke arah Arga yang tampak tenang berdiri di depan kelas, seolah tak ada apa-apa. Justru kepolosan itulah yang membuat mereka semakin curiga. Kalau dia benar-benar kuat, kenapa memilih berpura-pura jadi murid biasa?
Sementara itu, di pojok kiri, Leo perlahan menutup bukunya. Ia meletakkannya di meja, lalu bersandar dengan dua tangan terlipat di dada. Pandangannya tajam, tidak lagi sekadar mengamati, tapi menantang.
Dalam hati Leo berbisik, “Ayo… tunjukkan dirimu yang sebenarnya. Jangan terus bersembunyi di balik topeng polos itu.”
Kelas masih riuh dengan suara cekikikan murid lain yang menganggap kejadian tadi hanya kejahilan gagal. Namun di balik tawa itu, ada tiga pasang mata yang benar-benar memperhatikan Arga dengan penuh rasa penasaran.
“Kurang ajar! Akan kubuat kamu menyesal karena sudah berani bikin aku merasa malu di depan kelas!” bentak murid bangor sambil maju dengan sorot mata penuh amarah.
Wajah Arga yang sejak tadi tenang kini berubah. Ia pura-pura ketakutan, matanya bergerak cepat melirik ke sekeliling kelas. Dari sudut pandang sempit itu, ia sadar ada tiga pasang mata yang mengawasi: Keysha, Kinan, dan Leo. Tatapan mereka tajam, penuh kecurigaan.
Arga tahu satu gerakan salah bisa membuka jati dirinya. Maka ia memasang senyum kikuk, seperti murid polos yang benar-benar terpojok. Ia mundur perlahan, punggungnya hampir menyentuh dinding.
“S-sabar… kita bisa omongin semua ini secara baik-baik,” ucap Arga dengan suara dibuat gemetar, lalu menepuk pelan dada murid bangor seolah berusaha menenangkan.
Namun dalam hati, ia sedang menahan insting bertarungnya agar tidak meledak.
Sementara itu, Rindi yang sejak tadi hanya diam akhirnya memberanikan diri. Meski jelas tubuhnya gemetar, ia melangkah maju mencoba membela Arga.
“Hentikan! Sikap kamu itu sudah keterlaluan sama murid baru. Kalau begini terus, aku bisa laporkan kamu ke guru agar kamu dapat hukuman,” bentaknya dengan suara bergetar.
Murid bangor itu langsung menoleh. Sejenak ia terdiam, lalu tertawa terbahak, tawa meremehkan yang membuat suasana kelas semakin tegang.
“Diam, dasar wanita lemah,” ucapnya sambil melirik Rindi penuh ejekan.
Wajah Rindi memucat, tapi ia tetap berdiri di tempatnya. Arga yang melihat itu tahu, jika dibiarkan, Rindi akan ikut terseret. Ia pun memasang wajah kikuk, lalu menepuk dada murid bangor pelan, berusaha mencairkan suasana.
“Kalau bisa, tolong… jangan bicara kasar ke cewek,” ucap Arga dengan senyum takut, sambil melangkah mundur menjauh.
Namun, bukannya tenang, murid bangor justru makin tersulut. Tangannya terangkat cepat dan mencengkeram kerah baju Arga dari belakang. Tarikannya kasar, seolah sedang menyeret kucing liar yang hendak melarikan diri.
“Mau ke mana kamu? Urusan kita belum selesai,” ucap anak bangor sambil menarik kerah baju Arga kasar.
Arga menoleh dengan wajah panik, senyum kikuk terpampang seolah benar-benar ketakutan. Kedua tangannya disatukan di dada, memberi tanda memohon belas kasihan.
Namun rasa malu anak bangor sudah memuncak. Ia tak peduli lagi. Tarikannya semakin keras, membuat tubuh Arga terhuyung, lalu dengan gerakan beringas ia mencoba melayangkan lutut tepat ke perut Arga. Kedua tangannya mencengkeram erat baju Arga, memaksa tubuh itu menunduk agar lututnya mengenai sasaran.
Detik itu, mata Arga berkilat cepat. Dengan gerakan halus nyaris tak terlihat, tangan kanannya bergerak menahan serangan lutut tersebut, lalu menyingkirkannya ke samping sebelum sempat mendarat di perutnya. Semua berlangsung begitu cepat, tak seorang pun menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Untuk menutupinya, Arga langsung berpura-pura terhantam keras. Ia menekuk tubuh, kedua tangannya menekan perut, lalu berlutut di lantai sambil mengerang kesakitan.
Wajahnya meringis, napasnya tersengal, seolah benar-benar terkena serangan.
Dari sudut kelas, murid-murid hanya melihat anak bangor berhasil membuat Arga terkapar. Tak ada yang tahu gerakan sebenarnya tadi.
“Aku kira dia punya sesuatu yang disembunyikan… ternyata aku salah menilainya,” bisik Keysha lirih pada Kinan.
Kinan hanya tersenyum tipis tanpa menjawab. Tatapannya tetap mengarah ke depan, seakan sedang menimbang sesuatu, tapi wajahnya jelas menunjukkan kecurigaan yang belum sepenuhnya hilang.
Sementara itu, Leo yang sejak tadi menunggu momen berbeda kini menoleh ke samping. Senyum meremehkan muncul di wajahnya, seolah ekspektasinya terhadap Arga sudah runtuh begitu saja.
“Payah,” gumamnya pelan, pandangannya kemudian teralihkan ke langit-langit kelas, malas menaruh perhatian lebih.
Di balik ringisan kesakitan yang Arga tunjukkan, sebenarnya ia sedang menahan tawa dalam hati. Melihat ekspresi Keysha, Kinan, dan Leo yang tampak kecewa, ia justru merasa puas. Semua berjalan sesuai rencananya: mereka percaya kalau dirinya hanyalah murid lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa.
“Mampus. Makanya jangan coba-coba cari masalah sama aku,” ucap anak bangor sambil menunduk sedikit lalu mendorong kepala Arga dengan kasar.
Setelah puas, ia berbalik melangkah santai kembali ke bangkunya, meninggalkan Arga yang masih terpuruk di lantai.
Arga perlahan meredam ringisannya. Dengan gerakan seolah penuh rasa sakit, ia bangkit sambil tetap menekan perutnya. Wajahnya ditahan tegang, menampilkan kesan lemah dan kesulitan berdiri.
Pelan-pelan ia berjalan menuju bangku tempatnya duduk bersama Rindi.
“Kamu nggak apa-apa kan Ar?” suara Rindi terdengar panik. Ia buru-buru memegang tangan Arga yang masih menekan perut.
Arga hanya menggeleng pelan, menunduk dalam-dalam. Tangan kanannya bertumpu di meja, sementara tangan kirinya masih menempel di perut, menjaga perannya.
Dalam posisi menunduk itu, matanya bergerak sekilas, melirik ke arah samping. Tatapannya jatuh pada Keysha dan Kinan, yang sejak awal tidak berhenti memperhatikannya.
Saat itu, Arga menangkap sesuatu. Gerakan bibir kecil dari Kinan.
“Menarik… kamu memang orang yang sangat hebat.”
Ucapan itu tidak terdengar, tapi cukup jelas terbaca dari gerak bibir. Seketika mata Arga menyipit tipis, hatinya berdegup satu ketukan lebih cepat.
“Apakah dia tahu kalau aku sedang berpura-pura?” batin Arga, napasnya sedikit tercekat.
Tatapannya yang samar masih mengarah pada Kinan. Gadis itu menatapnya lekat, lalu perlahan mengangkat sudut bibirnya. Senyum kecil tersungging, seakan ia baru saja menemukan rahasia besar yang disembunyikan Arga.
Bibir Kinan kembali bergerak pelan.
“Jangan terus berpura-pura seperti itu. Kalau aku jadi kamu… orang itu sudah kubunuh tanpa belas kasihan.”
Kata-kata itu, meski tanpa suara, jelas tertangkap oleh mata Arga. Seketika tubuhnya menegang. Ia buru-buru menghentikan lirikan, memalingkan pandangan, seolah kembali menahan sakit di perutnya.
Namun wajahnya mengeras. Dahi Arga berkerut, sorot matanya dipenuhi tanda tanya. Kenapa Kinan bisa berkata seperti itu? Bagaimana dia bisa tahu sesuatu yang seharusnya tidak diketahui orang lain?
Beberapa menit berlalu, pintu kelas akhirnya terbuka. Guru masuk dengan langkah tenang, membawa setumpuk buku. Suasana yang tadinya riuh perlahan mereda, meski tidak sepenuhnya.
Pelajaran pun dimulai. Sebagian murid mengikuti dengan serius, mencatat setiap kata yang keluar dari mulut guru. Namun sebagian lainnya sibuk dengan urusan masing-masing—ada yang menggambar di buku, ada yang saling berbisik, bahkan ada yang hanya menatap kosong ke arah jendela.
Guru yang berdiri di depan kelas tampak tak terlalu peduli. Baginya, yang penting materi tersampaikan. Murid mau memperhatikan atau tidak, itu urusan mereka sendiri.
Waktu pun terus bergulir. Detik demi detik terasa lambat, hingga akhirnya bel istirahat berbunyi nyaring, memecah kesunyian kelas.
“Baik, untuk hari ini kita sudahi dulu pembenaran nya, kita lanjutkan di lain waktu lagi,” ucap sang guru singkat sebelum melangkah keluar.
Begitu pintu menutup, suasana kelas seketika berubah. Sorak kecil, tawa, dan obrolan riuh terdengar. Murid-murid berhamburan dari bangku mereka, sebagian berlari keluar kelas, sebagian lagi langsung membuka duduk berkumpul dengan teman.
Hari itu, jam istirahat kembali menjadi momen yang paling ditunggu.
“Ar, ke kantin yuk, aku laper,” ucap Rindi sambil memegang lengan Arga.
Arga membalas dengan senyum tipis, seolah masih menahan sakit. Tangannya tetap menekan perut.
“Kamu ke kantin aja dulu. Aku mau istirahat sebentar,” jawabnya pelan.
Rindi menatap wajah Arga dengan cemas, lalu tersenyum kecil untuk menenangkan dirinya sendiri.
“Kalau gitu kamu mau aku beliin apa? Biar aku bawain sekalian,” tawarnya lembut.
Arga hanya menggeleng pelan, menandakan tidak ingin apa pun.
“Ya udah, aku pergi dulu ya. Tapi kalau ada apa-apa, cepat keluar dari kelas,” pesan Rindi sambil menepuk pelan lengan Arga, lalu melangkah keluar kelas.
Di sisi lain, Keysha sempat menoleh ke Kinan. “Ke kantin yuk?” ajaknya singkat.
Namun Kinan bersandar santai di kursinya dan menggeleng. “Aku capek. Mau istirahat saja di kelas.”
Keysha sempat menatap Kinan beberapa detik, seakan mengerti maksud sebenarnya. Dengan senyum tipis yang penuh arti, ia akhirnya bangkit. “Ya udah, aku duluan.”
nunggu banget nih lanjutannya