Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan Eireen justru berubah menjadi neraka. Dipelaminan, di depan semua mata, ia dicampakkan oleh pria yang selama ini ia dukung seorang jaksa yang dulu ia temani berjuang dari nol. Pengkhianatan itu datang bersama perempuan yang ia anggap kakak sendiri.
Eireen tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga harga diri. Namun, dari kehancuran itu lahirlah tekad baru: ia akan membalas semua luka, dengan cara yang paling kejam dan elegan.
Takdir membawanya pada Xavion Leonard Alistair, pewaris keluarga mafia paling disegani.
Pria itu tidak percaya pada cinta, namun di balik tatapan tajamnya, ia melihat api balas dendam yang sama seperti milik Eireen.
Eireen mendekatinya dengan satu tujuan membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa bangkit, tetapi juga dimahkotai lebih tinggi dari siapa pun yang pernah merendahkannya.
Namun semakin dalam ia terjerat, semakin sulit ia membedakan antara balas dendam, ambisi dan cinta.
Mampukah Eireen melewati ini semua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Palsu?
Mata Zeya melotot. "Kau membentakku?"
Aslan justru tidak peduli dengan kemarahannya.
"Baiklah, kalau memang pilihanmu berpisah. Aku..."
"Aslan!" Kini Zeya yang membentak lagi, wajahnya kecewa sekali, karena begitu mudah, Aslan mengucap pisah, hanya demi perintah ibunya.
Aslan pun menarik istrinya mendekat, berbisik, "Cepat pilih saja, aku lebih rela lepas darimu daripada harus melepas bandot tua itu! Aku tidak mau miskin dan tanpa kuasa lagi, kau dengar?!"
Ia lepas istrinya, menatap penuh tanya. Wajah Zeya terlihat sudah akan menangis. Ia tidak menyangka, akan berada di dua pilihan yang semuanya merugikannya.
"Kau diam saja, berarti..."
"Iya-iya, akan aku lakukan! Puas kau, hah?!" sela Zeya dengan nada kesal. Tidak mungkin baginya berpisah dengan Aslan.
Segera setelahnya, Aslan menarik tangannya. Namun, Anabia yang tetap bersikeras tidak mau.
"Aku... tidak sudi!"
Ia membiarkan putrinya pergi bersama Aslan, berlutut di depan Eireen dan Xav.
Bahkan, Zeya sudah menahan tangis, matanya merah, tangannya mencengkram pakaian yang menempel di pahanya, menahan amarah karena malu yang tidak terkira di depan Eireen.
Lihatlah, apa yang dia sombongkan sirna begitu saja saat ucapan Eireen membuatnya berlutut menjadi nyata sekarang ini!
Walau sudah berlutut, Aslan dan Zeya hanya diam saja sejak tadi. Jadi, Saros pun menyenggol lengan Aslan, agar bicara, karena Xav dan Eireen tampaknya menunggu permintaa maaf.
"Hah." Aslan menghela napas, ia menekan rasa malunya, kemudian berkata, "Maafkan saya, Tuan Muda. Saya tidak tahu jika Anda orang penting. Jadi saya..."
"Heh. Orang penting?" sela Xav tiba-tiba.
"Jadi... maksudmu, kalau aku sungguhan hanya orang biasa, atau bahkan preman pasar sepertimu, layak kau dan kalian perlakukan sembarangan begitu? Iya?!" imbuhnya dengan tatapan marah.
"Eh, bu-bukan begitu. S-saya sebenarnya, hanya ingin membalas perlakuan Eireen saja. Dia yang lebih dulu yang menghina kami, Tuan Muda."
Eireen menyeringai. "Kalian memang orang-orang hina! Jelas-jelas berselingkuh, bahkan sampai menipuku untuk membiayai biaya resepsi pernikahan kalian. Aku... hanya bicara fakta, tentang betapa tidak tahu malunya kalian para peselingkuh, bahkan perkara hutang, semua benar adanya. Lantas mengusir, jelaslah aku harus mengusir orang-orang tidak tahu terima kasih yang mau memanfaatkanku saja!"
"Kalau diruntut juga, kalian yang salah, karena sudah berkhianat dan merencanakan penipuan kepadaku!" imbuhnya dengan nada emosi.
"Tapi..."
"Ck. ck. ck." Xav menyela lagi, dengan berdecak. "Pantas saja, kalian membuat uang palsu dan mengedarkannya, ternyata, hidup kalian memang palsu semua!"
Aslan dan Saros terhenyak dengan perkataan Xav itu. Bukan hanya mereka, Eireen, Menteri Kehakiman, semuanya juga menatap ke arah Xav penuh tanya.
"Kenapa terkejut sekali begitu?" Xav melirik ke arah uang-uang yang tercecer di bawah lantai.
"Sekali lihat saja aku sudah tahu, jika semua uang itu palsu!"
Mata orang-orang mulai melihat ke arah uang-uang di lantai. Satu dua mempertanyakan apakah benar itu uang palsu?
Lantas, beberapa orang yang lain justru terfokus kepada Saros, di calon walikota, yang sepertinya terlibat.
Ajudan Menteri Kehakiman memegang satu ikat uang dari lantai, memeriksanya, kemudian berbisik kepada Pak Menteri.
Xav menyeringai, karena Saros mulai berkeringat dingin. Sudah begitu, ia dengan sengaja bertanya, "Apa... peredaran uang palsu yang marah di lingkungan kota ini akhir-akhi ini karena ulahmu? Kau tipu masyarakat dengan memberikan uang sogokan kampanye dengan uang palsu itu?"
"T-tidak! Itu tidak benar!" Nada suara Saros meninggi, seolah ingin segera menampik perkataan Xav.
Namun, itu justru membuat semua orang menatap curiga kepadanya.
'Sial, bagaimana dia bisa tahu?' Aslan membatin kesal, melirik Xav sekilas.
Ia tidak tahu saja, jika pemerintah kalau sudah mulai kewalahan tentang satu kasus yang meresahkan masyarakat akan meminta bantuan juga kepada Keluarga Penguasa Dunia Gelap.
Jadi Xav tahu jika ada masalah peredaran uang palsu itu. Dan beruntungnya, ia langsung menemukan salah satu gembongnya saat ke resepsi itu.
Atau lebih tepatnya, Saros yang sial, karena bertemu dengan Xav dalam kondisi seperti ini.
Xav menoleh ke arah Menteri Kehakiman. "Jelas dia berbohong, Pak Menteri. Dan ya... tadi... katanya dia mau mengundang seorang mantan Jendral berisial BS ke sini. Anda pasti sudah bisa menebak arah dari kasus ini bukan?"
Menteri Kehakiman mengangguk paham. "Ya, Tuan Muda. Nanti, saya akan koordinasikan dengan pihak-pihak dari Kepolisian dan Kementerian Hukum untuk menyelidiki semuanya biar lebih spesifik lagi. Terima kasih, atas bantuan Anda, kasus ini mulai menemukan titik terang."
"No problem. Dengan begini, apa saya bisa berharap, jika tidak akan ada pemimpin busuk pengedar uang palsu, yang belum terpilih sudah menipu masyarakat, Pak Menteri?"
"Tentu, Tuan Muda. Jika terbukti...Menteri Kehakiman menatap Saros yang masih bersimpuh di lantai. "Maka orang itu tidak pantas menjabat posisi apapun, bahkan mungkin hanya penjara saja tempatnya!"
Mendengar ucapan begitu, Saros menelan ludahnya sendiri. Pemilihan umum sudah sebentar lagi, ia sudah bekerja keras sampai detik ini. Masa ia semuanya hancur dalam satu hari.
Bukan hanya Saros yang mulai ketar-ketir. Aslan yang bahkan sudah terlanjur berlutut begini, demi mengamankan asetnya Saros juga ikut kesal bukan main.
Sudah menahan malu, masa iya dia harus kehilangan apa yang ia bela hingga berlutut begini?
Eireen tampak puas menatap ekspresi Aslan saat itu. Apalagi Zeya, ia sebenarnya mau tertawa, karena miris sekali dengan nasib mereka.
"S-saya sungguh tidak melakukan itu, Pak Menteri. Tapi, kalau memang harus pembuktian, saya siap menjalani proses penyelidikan!" ucap Saros masih pura-pura tidak bersalah dan biar meyakinkan.
'Ya, sebelum terbukti dengan penyelidikan, aku masih ada kesempatan untuk melenyapkan jejak keterlibatanku!' imbuhnya dalam hati.
Seolah bisa menebak pikiran orang-orang busuk, Xav berkata, "Kenapa? Kau berpikir akan bisa menghilangkan jejakmu, makanya sok bicara begitu?"
"Tenang saja, kalau penyelidikan tidak mampu menyeretmu, aku... yang akan buka semua aibmu ke seluruh negeri ini. Jadi jangan bertingkah, selagi bukan aku yang turun tangan langsung, kau setidaknya tidak akan terlalu menderita. Ya kecuali, kau mau nekad dan membuktikan perkataanku ini lagi? Seperti tadi?" imbuhnya dengan seringaian tengil mengejek.
Saros tampak tida langsung menjawab. Ia benar-benar bimbang, karena bahkan Xav bisa mendatangkan Menteri Kehakiman seperti katanya tadi. 'Sialan, siapa sebenarnya orang ini?'
Eireen justru semakin kagum. Entahlah, semakin ia mendengar ucapan Xav, yang baginya keren karena walau terkenal kejam, laki-laki itu masih menunjukkan rasa peduli akan keadilan dalam bermasyarakat.
Merasa dilihati, Xav menoleh menatap Eireen.
Namun, melihat ekspresi gadis yang aneh begitu, ia segera membangunkannya dari lamunan.
Xav menarik tubuh Eireen dengan merangkulnya menggunakan satu tangan. Gadis itu pun terkejut, karena tadi melamun.
"Ah sudahlah, urusan itu nanti saja. Yang penting, kau dan kau..." Xav menunjuk Aslan serta Zeya satu per satu. "Jangan pernah sekali-kali mencari gara-gara dengan Eireen. Dia kekasihku, siapa yang mengusiknya, maka akan berhadapan denganku!"
"Iya." Aslan dan Zeya menjawab menundukkan kepala, menahan malu dan amarah. Eireen dan perempuan kebanyakan disana mulai terkagum lagi dengan Xav.
Sementara, ada juga satu yang diam-diam mengawasi dari kerumunan para tamu sejak tadi.
Orang itu seperti mengawasi ekspresi Xav, pergerakan tangannya yang menepuk-nepuk lembut lengan Eireen, seolah begitu sayang sekali, kemudian berpindah melihat wajah Eireen.
Xav yang merasakan dilihati, akhirnya menoleh ke arah yang ia duga. Namun, orang itu sudah hilang dari radar sensornya, tidak ada di tempat semula.
Lantas, teringat jika ia masih harus melakukan sesuatu, Xav menoleh ke arah Eireen. "Kau tidak mengharap mereka meminta maaf kan? Percuma, orang-orang seperti mereka pasti tidak ada guna permintaan maafnya. Atau.. mau tantemu itu berlutut juga?"
"Aku tidak akan pernah melakukannya!" Anabia langsung beranjak pergi, masuk ke arah ruangan rias.
"Heh. Tidak perlu, nanti biar aku urus mereka di rumah, Sayang. Cukup sampai di sini saja, aku sudah lega," kata Eireen dengan nada manja.
"Baiklah. Kalau begitu, bisa kita pergi dari sini? Maaf, acara seperti ini tidak layak kau datangi, Sayang. Mari bersenang-senang di tempat lain saja. Ok?"
"Ok!" Eireen tersenyum riang sekali, membuat Zeya semakin kebarakan jenggot.
Xav pun berpamitan kepada Pak Menteri.
"Sepertinya saya harus pergi, Pak Menteri. Terima kasih, Anda sudah berkenan hadir ke sini."
"Dengan senang hati, Tuan Muda. Saya sebagai mantan atasan Pak Saros turut memohon maaf, atas kelancangannya. Tapi, Anda tidak perlu khawatir, hari ini juga, semua kasus ini akan kami proses. Terima kasih banyak atas kontribusinya."
Xav menganggukkan kepala mantap. Lantas, ia mendekati Pak Menteri, berbisik, "Tolong urus juga orang-orang di sini, saya sedang dalam misi rahasia sebenarnya, jadi Anda tahu maksud saya, kan, Pak Menteri?"
Menteri Kehakiman itu menganggukkan kepala mantap. "Tentu, saya paham. Anda tidak perlu khawatir."
"Baiklah. Sekali lagi terima kasih, Pak Menteri. Saya pamit undur diri lebih dulu. Permisi." Xav merangkul tangan Eireen, membawanya pergi.
Menteri Kehakiman itu melihat kepergiaannya sekilas, sebelum kemudian meminta ajudannya menghubungi orang kepolisian.
Tidak lupa, ia memerintah ajudannya itu, agar mulai membriefing semua orang yang ada di sana, biar tidak menyebarkan tentang kehadiran Xav.
Sudah menjadi protokol, kehadiran Xav harus selalu dirahasiakan. Itu adalah syarat mutlak, yang harus dilakukan oleh pemerintah, agar rekan bayangannya tidak terekspos.
Xav dan Eireen pergi, Saros berusaha membujuk Menteri itu. Tapi sayang, ia gagal. Saat ia menghubungi mantan Jendral kenalannya, laki-laki itu justru mendadak tidak bisa dihubungi.
Zeya marah dan meninggalkan Aslan, menyusul sang ibu. Resepsi yang harusnya senang-senang justru berakhir tragis.
Ia sudah kehilangan muka, berlama-lama di ruangan itu, akan membuat amarahnya ingin meledak saja.
Aslan pun pusing sendiri, istrinya marah, semua mata terlihat mengoloknya pula. 'Sialan, kenapa begini sih?!'
Sementara itu, di dalam mobil Eireen, Xav ternyata ikut masuk, mengambil kendali kemudi juga.
"Kau tidak bawa mobil?" tanya Eireen heran.
"Bukan urusanmu. Setelah kau antar aku pergi, selesai urusan kita!" ketus laki-laki itu, sudah kembali ke setelan awal.
Mobil mulai beranjak, meninggalkan parkiran gedung itu. Eireen yang duduk di sampingnya masih curi-curi pandang.
Walau ia sudah sadar, semuanya hanya sandiwara. Tapi, rasa kagum itu masih ada di dalam dirinya.
Xav merasa dilihati, tapi, ia tidak peduli, fokus saja mengemudi.
"Oh iya, terima kasih sudah menepati janji. Bahkan sampai membuat mereka berlutut begitu."
Xav tidak menjawab. Eireen memanyunkan bibir. Tapi, ia tidak tinggal diam, karena dalam dirinya ada rasa ingin bicara dengan laki-laki itu lebih lama.
"Kalau kau butuh bantuanku setelah ini, katakan saja!" katanya, diam-diam mau mulai pendekatan, walau dari berteman dulu. Ya, Eireen berharap, bisa lebih lama dengan Xav.
Xav tetap diam, menoleh pun tidak. Eireen jadi gregetan sendiri. 'Gila, jual mahal sekali? Tadi saja dia peluk-peluk, pakai panggil sayang juga! Dasar menyebalkan!'
Eireen tanpa sadar terus saja menatap wajah laki-laki itu dari samping.
Lantas, karena mulai merasa terganggu juga, Xav tiba-tiba berceletuk, "Bisa tidak jangan melihatku terus, hah?!"
"Dih... aku itu hanya berpikir, untuk membalas kebaikanmu tadi saja. Kau kan berbuat lebih dari yang kuminta!" kelit Eireen, padahal malu juga ketahaun.
"Tidak menggangguku, itu sudah lebih dari membantuku!"
"Hah? Siapa yang mengganggumu? Diperhatikan malah bilang mengganggu. Dasar!"
"Aku tidak butuh perhatianmu. Jadi jangan kau melihat-lihatku lagi begitu!"
Eireen mengernyit. "Kenapa? Ah... aku tahu..!"
Xav curiga sekali, karena nada suara gadis itu terdengar tengil. Tapi, ia gengsi tanya, jadi diam sambil menunggu saja lanjutannya.
"Kau... jangan-jangan salah tingkah ya, karena dilihati perempuan cantik sepertiku?" tanya Eireen sambil menundukkan badan, memiringkan kepala, biar Xav bisa melihat wajahnya.
"Heh. Omong kosong!" celetuk Xav dengan nada kesal.
Lucunya, Eireen masih memiringkan kepala, mengedipkan kelopak matanya sambil tersenyum tengil mengejek.
Xav yang kesal, karena jadi kikuk dilihati begitu pun segera menggerakkan tangan, memutar kepala Eireen, agar tidak melihat ke arahnya.
"Aurgh!" Eireen menoleh lagi, mengeluh dengan nada protes. "Apaan sih? Kenapa seenaknya saja membelokkan kepala orang sembarangan begitu, hah?"
Xav tidak menjawab. Masa iya, dia harus mengaku jika terganggu dengan wajah aneh itu.
"Kau..."
CIT...!
Mobil tiba-tiba mengambil arah memutar.
Eireen protes lagi. "Kau gila?"
Namun, Xav justru menatap ke arah kaca spion.
Penasaran, Eireen ikut melihat ke arah yang sama.
Ternyata, ada motor yang mengikuti mobil mereka. "Siapa?" tanyanya.