NovelToon NovelToon
Bound By Capital Chains

Bound By Capital Chains

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Obsesi / Percintaan Konglomerat
Popularitas:892
Nilai: 5
Nama Author: hellosi

Ketika takdir bisnis mengikat mereka dalam sebuah pertunangan, keduanya melihatnya sebagai transaksi sempurna, saling memanfaatkan, tanpa melibatkan hati.

Ini adalah fakta bisnis, bukan janji cinta.

​Tapi ikatan strategis itu perlahan berubah menjadi personal. Menciptakan garis tipis antara manipulasi dan ketertarikan yang tak terbantahkan.

***

​"Seharusnya kau tidak kembali," desis Aiden, suaranya lebih berbahaya daripada teriakan.

"Kau datang ke wilayah perang yang aktif. Mengapa?"

​"Aku datang untukmu, Kak."

"Aku tidak bisa membiarkan tunanganku berada dalam kekacauan emosional atau fisik sendirian." Jawab Helena, menatap langsung ke matanya.

​Tiba-tiba, Aiden menarik Helena erat ke tubuhnya.

​"Bodoh," bisik Aiden ke rambutnya, napasnya panas.

"Bodoh, keras kepala, dan bodoh."

​"Ya," bisik Helena, membiarkan dirinya ditahan.

"Aku aset yang tidak patuh."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hellosi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Setelah panggilan video dengan Helena, suasana hati Aiden tidak kembali ke kondisi normal.

Kemarahan dingin seorang predator telah tergantikan oleh kekesalan yang tegang, tetapi dia mengira kekesalan itu murni bersifat strategis.

Dia merasa rencananya telah dilanggar oleh Xavier Eoscar yang berani melangkah terlalu jauh.

Aiden, yang biasanya memulai hari dengan analisis yang tenang, kini tampak terburu-buru dan agresif.

Dia minum kopi hitam tanpa henti, dan pena yang dia gunakan untuk mengetuk tablet-nya terdengar lebih keras dan cepat.

"Kau terlihat seperti Henhard Aliston di akhir kuartal yang buruk, Aiden," komentar Noa suatu pagi, saat Aiden membanting laporan di meja.

Aiden menatapnya dingin.

"Aku sudah bilang, Ryder. Kekacauan tidak menghasilkan keuntungan."

"Tentu saja," balas Noa, matanya menelisik grafik Aliston di papan tulis.

"Tapi ini bukan kekacauan bisnis. Ini kekacauan teritorial. Seseorang menginjak aset termahalmu, tunanganmu, dan kau tidak bisa melakukan apa-apa karena kau berada di Amerika."

Noa berjalan ke papan tulis, mengambil spidol merah. Dia menggambar lingkaran besar di sekitar London.

"Eoscar ingin mengubah aliansi Nelson dari 'perisai Aliston' menjadi 'aset Eoscar'."

"Itu adalah kelemahan yang tidak dapat kau kalkulasi, Aliston. Itu adalah faktor manusia, dan kau membencinya," desis Noa, menantang.

Aiden mengepalkan tangannya di bawah meja. Noa benar. Rasa frustrasi itu adalah sesuatu yang tidak pernah dia rasakan.

Dia mengira kekesalannya berasal dari ancaman terhadap kontrolnya, terhadap rencananya yang sempurna.

Dia tidak menyadari itu adalah kecemburuan yang didorong oleh kepemilikan.

Aiden akhirnya memecah keheningan.

"Kau benar. Aku tidak bisa mengendalikan London dari Boston."

Aiden menatap Noa, tatapannya kini berubah dari kekesalan menjadi perhitungan yang dingin.

"Aku butuh seseorang di London yang bisa mengawasi Xavier. Bukan sebagai mata-mata, Ryder. Tapi sebagai bayangan yang selalu ada di setiap langkah Xavier, membuatnya tahu bahwa setiap gerakannya teramati."

Noa Ryder menyeringai, dia menyadari bahwa Aiden baru saja mengakui kecemburuannya dengan dalih strategi.

"Kau ingin aku mengerahkan jaringan Ryder di Eropa untuk menjaga tunanganmu? Itu di luar kontrak kita, Aliston."

"Aku tidak meminta secara gratis," balas Aiden, suaranya kembali datar.

"Ryder akan mendapatkan bagian keuntungan dari kesepakatan bisnis Aliston di Eropa. Itu adalah investasi. Kau akan membuat Xavier Eoscar merasa tidak nyaman. Itu sudah cukup."

Noa mengangguk, mengagumi perhitungan dingin itu.

"Baiklah. Ryder akan menjadi bayangan Xavier di London. Senjatamu. Tapi aku akan menagih bunganya."

Noa menyeringai keji saat Aiden memunggunginya.

"Kau harus membayar mahal untuk kenyamanan emosional ini, Aliston."

​Aiden berhenti di ambang pintu, tidak berbalik.

"Kenyamanan emosional adalah kemewahan yang tidak aku kenal, Ryder. Aku membayar untuk kontrol sesuatu yang selalu bisa aku hitung harganya."

​Dia melangkah keluar, meninggalkan Noa sendirian di kantor yang dipenuhi asap kopi dan ketegangan.

***

​Di London, dalam waktu dua puluh empat jam, pergerakan dimulai. Noa tidak mengirimkan mata-mata, dia mengirimkan gesekan.

​Xavier Eoscar merasakan perubahan suhu sosial.

​Dia berada di restoran yang biasanya eksklusif, di mana para pelayan tahu nama dan hidangan favoritnya.

Namun tiba-tiba, reservasi terbaik selalu 'baru saja' diambil.

Saat dia menghadiri lelang seni, penawar yang tidak dikenal, seseorang dengan akun anonim yang sangat terorganisir selalu menaikkan harga untuk setiap barang yang menarik perhatian Xavier, membuatnya membayar lebih atau kehilangan barang tersebut.

​Bukan ancaman, tapi gangguan yang konstan.

​Puncak dari serangkaian 'kebetulan' itu terjadi saat Xavier mengadakan pesta makan malam tertutup.

Tiba-tiba, seorang reporter muda yang cerdas, yang seharusnya tidak memiliki akses, muncul di pintu dan mengajukan pertanyaan tajam tentang restrukturisasi dana investasi lama Eoscar, sebuah informasi yang sangat sensitif dan tersembunyi.

​Keesokan paginya, saat Xavier membaca surat kabar yang memuat artikel singkat namun sangat detail tentang 'kebetulan' di lelang seni, dia menyadari polanya.

​"Mereka tidak mencoba membunuhku, tapi membuatku gila," gumam Xavier, melempar koran.

​"Bayangan," katanya pada asistennya.

"Seseorang telah mengirim bayangan."

***

Di suatu sore, Helena dan Xavier telah menghabiskan waktu berjam-jam di sebuah kafe kuno di luar LBS.

Mereka tenggelam dalam diagram dan analisis yang rumit membahas studi kasus.

Meja kecil itu penuh dengan kertas coretan dan cangkir kopi yang hampir kosong.

Di luar, gerimis tipis mulai turun, menciptakan keheningan yang tiba-tiba dan mendalam.

Suara gemericik air memukul kaca jendela membuat suasana terasa intim dan sedikit tegang.

Helena mengambil kesempatan dari keheningan itu. Dia menggeser tab di laptop canggihnya, membuka dokumen dengan keamanan tingkat tinggi tentang Aliansi Politik Nelson di Brussel.

Xavier, yang duduk di sampingnya, melihat sekilas isi layar itu.

Matanya yang tajam langsung menangkap logo European Parliament dan garis-garis rumit yang memetakan lobi dan dukungan.

Lebih dari itu, dia melihat garis ketegangan halus di sekitar mata Helena, sebuah tanda stres yang tidak pernah dia tunjukkan saat berdebat dengannya.

Xavier tidak bertanya tentang isi dokumen itu. Dia memilih pertanyaan yang lebih personal.

"Kau terlihat lelah, Helena," ujar Xavier, suaranya pelan, memecah kesunyian gerimis.

"Pewaris Aliston di Boston sedang berjuang untuk mengendalikan likuiditas, tapi Pewaris Nelson di London sedang berjuang untuk mengendalikan kerutan di wajahnya."

Helena tersentak. Dia segera menutup jendela dokumen Brussel itu, kembali ke layar utama dengan cepat.

Dia memaksakan senyum yang tidak mencapai matanya.

"Aku hanya... frustrasi," aku Helena, nadanya lebih terbuka dari yang dia inginkan.

"Semua yang kita pelajari di sini adalah tentang mengambil untung, menyerang, dan menguasai." Dia mengetuk pelan meja.

"Tapi Nelson harus tetap di tengah. Selalu netral. Itu membuat kami terlihat lambat, dan terkadang, itu membuatku merasa seperti kami bermain untuk kalah."

​"Bermain untuk kalah?" tanya Xavier, mengangkat alis.

"Itu bukan kata-kata pewaris."

​Helena menghela napas.

"Ini bukan tentang kekalahan, Xavier. Ini tentang kehati-hatian. Nelson harus selalu bersikap netral. Kami tidak bisa memihak faksi politik mana pun di Brussel, karena itu akan merusak integritas kami sebagai mediator."

Xavier mengangguk, mengakui strategi itu, tetapi matanya tetap tertuju pada kelelahan Helena.

"Itu strategi yang baik, Helena. Tapi itu strategi bertahan. Kau memposisikan Nelson sebagai penengah netral yang mahal, yang hanya penting saat ada konflik."

"Lalu, apa solusinya?" tanya Helena, suaranya mengandung tantangan, tetapi ada nada putus asa yang samar.

"Bagaimana Nelson bisa menjadi Raja jika kami harus selalu bermain netral?"

Xavier meletakkan cangkirnya. Matanya bersinar dengan intensitas yang lebih tajam dari cahaya lampu kafe.

"Alih-alih menjadi mediator yang netral, Eoscar memilih menjadi arsitek konflik."

Helena mengerutkan kening. "Menjadi arsitek konflik? Itu terdengar... merusak."

"Itu revolusioner," koreksi Xavier, senyumnya dingin.

"Di Eropa, kekuasaan tidak lagi hanya diukur dari cadangan minyak atau nilai saham. Kekuasaan diukur dari penguasaan narasi yang mengikat para pembuat kebijakan."

Xavier mengambil pena dan menggambar diagram sederhana di atas kertas, satu lingkaran besar berlabel 'Energi Eoscar', dan beberapa lingkaran kecil di sekitarnya.

"Eoscar tidak hanya menjual gas ke Eropa Timur. Kami secara simultan mendanai think tank lingkungan yang menentang penggunaan batu bara di negara-negara tersebut, dan pada saat yang sama, kami mensponsori kampanye infrastruktur yang sangat kuat untuk sistem pipa gas baru," jelas Xavier.

(Think tank lingkungan: Lembaga atau organisasi yang melakukan penelitian, kampanye, dan advokasi yang menyoroti dampak buruk dan biaya tinggi batu bara.)

Helena mencondongkan tubuh ke depan, matanya mengikuti diagram itu dengan penuh minat.

"Itu... kontradiktif," gumam Helena.

"Tepat! Kontradiksi adalah pondasi Eoscar," balas Xavier.

"Ketika negara-negara tersebut terpaksa meninggalkan batu bara (karena tekanan lingkungan), mereka tidak punya pilihan selain membeli gas Eoscar (karena pipa sudah terpasang). Kami menciptakan masalah, dan kemudian menawarkan solusi tunggal. Kami menciptakan permintaan, bukan menunggu permintaan."

Xavier menunjuk ke tengah kertas.

"Nelson membangun fondasi di atas integritas yang rapuh. Eoscar membangun fondasi di atas kebutuhan yang diciptakan."

Wajah Helena membeku sesaat, bukan karena jijik, melainkan karena kekaguman murni. Ini adalah permainan kekuatan di tingkat psikologi global dan manipulasi pasar yang berkelas.

Helena meraih kertas itu, memegangnya erat.

"Kau menggunakan soft power yang sangat berbeda," bisik Helena, nada suaranya penuh pengakuan yang mendalam.

"Eoscar mengunci pilihan dari seluruh negara. Eoscar melihat bahwa konflik adalah aset yang lebih berharga daripada perdamaian."

Xavier membalas tatapannya, kini dengan kelembutan yang jarang dia tunjukkan.

"Aku tahu kau mengagumi Aiden karena dia melihat gambaran besar. Tapi aku ingin kau tahu, Helena, ada gambaran yang jauh lebih besar dari angka. Ada kontrol yang lahir dari keharusan."

Dalam ambisi Helena untuk berkembang, wawasan Xavier terasa seperti kunci yang hilang.

Kagumnya itu tulus, dan itu adalah bahan bakar yang jauh lebih berbahaya daripada cinta.

Helena ingin menguasai seni arsitektur konflik itu.

"Tunjukkan padaku," ujar Helena, suaranya rendah dan penuh tekad.

"Tunjukkan padaku bagaimana Eoscar membangun narasi, Xavier."

Xavier tersenyum, senyum seorang mentor yang baru saja memenangkan murid yang paling berharga.

"Tentu, Helena. Tentu saja."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!