Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Rumah besar itu kembali dipenuhi dua dunia yang berbeda: dingin milik Tristan, dan ribut penuh warna milik Tiwi. Sejak “penarikan paksa” di restoran, ada semacam atmosfer aneh yang menggantung di udara. Tidak ada yang mau mengaku, tapi keduanya tahu ada sesuatu yang berubah.
Tiwi masih bersikap seperti biasa—cerewet, kocak, suka menempelkan sticky note di berbagai sudut. Tapi diam-diam, setiap kali menatap Tristan, hatinya jadi berdegup tak karuan.
Sedangkan Tristan… dokter dingin itu ternyata jauh lebih gelisah dari yang terlihat. Tatapannya kerap mengawasi Tiwi lebih lama dari biasanya. Ia seolah baru sadar, rumah itu tidak pernah benar-benar terasa hidup sebelum Tiwi datang.
----
Hari Senin, jam enam pagi. Tiwi sudah heboh di dapur, sibuk membuat sarapan. Tangan kanan mengaduk sup, tangan kiri menempelkan sticky note baru di pintu kulkas.
Tulisan besar:
“Menu hari ini: Bubur Ayam ala Tiwi. Kalau bilang hambar, siap-siap aku kasih 1000 kata ceramah.”
Tristan turun tangga dengan wajah setengah mengantuk. Kemeja putihnya sudah rapi, tapi rambutnya masih sedikit berantakan. Ia berhenti di dapur, menatap sosok Tiwi yang sedang ribut sendiri.
“Kenapa kamu harus menempelkan kertas di setiap sudut rumah?” tanyanya datar.
Tiwi menoleh, tersenyum lebarnya seperti biasa. “Biar nggak kaku, Dok! Rumah kamu ini dinginnya kebangetan. Sticky note itu kayak vitamin, bikin hidup lebih ceria.”
Tristan hanya menghela napas, lalu duduk. Tiwi datang membawa semangkuk bubur hangat.
“Nih, sarapan spesial. Jangan bilang nggak enak, ya. Aku udah susah payah ngulek bawang jam enam pagi, sampai tetangga mungkin curiga aku bikin sambal satu karung.”
Tristan mencicipi. Wajahnya tetap datar, tapi sebenarnya ia menikmati.
“Gimana?” tanya Tiwi antusias.
“…lumayan.”
“Lumayan?!” Tiwi menatap dramatis. “Ya Tuhan, orang lain bakal kasih aku bintang lima, kamu malah lumayan. Oke, fine. Mulai besok aku bikin indomie aja biar gampang.”
Tristan menatapnya sebentar, lalu berkata pelan, “Tidak usah. Bubur ini… enak.”
Tiwi terdiam sepersekian detik. Wajahnya langsung sumringah. “YES! Akhirnya keluar juga pujian dari bibir dinginmu. Aku catet nih di sticky note: ‘Hari ini Tristan bilang masakan Tiwi enak.’ Ini sejarah besar, Dok.”
Tristan menunduk lagi, pura-pura sibuk dengan sarapan. Tapi sudut bibirnya terangkat samar.
----
Hari-hari berikutnya berjalan cepat. Tiwi tetap datang setiap pagi, beres-beres rumah, masak, kadang mengomel kalau Tristan terlalu lama di depan laptop.
Tapi setiap kali Tiwi pulang sore hari, rumah itu kembali dingin. Tidak ada suara ribut, tidak ada sticky note baru, tidak ada tawa aneh yang memecah kesunyian.
Tristan sering mendapati dirinya menunggu jam enam pagi. Bahkan, ia mulai memperhatikan hal kecil: suara langkah Tiwi di teras, derit pintu yang dibuka, hingga suara riuhnya menyapa, “Pagi, Dok!”
Suatu malam, Tristan duduk di ruang kerja. Di laci mejanya, ia menyimpan beberapa sticky note lama yang sudah ia cabut dari kulkas atau dinding.
Ia menatap salah satunya, tulisan acak Tiwi dengan gambar emotikon senyum besar.
“Kenapa aku menyimpan ini?” gumamnya.
Tapi ia tidak membuangnya. Malah, ia menyelipkan sticky note itu ke dalam buku medisnya, seperti harta karun.
----
Sementara itu, di rumah keluarga Wiranto, orang tua Tiwi tetap khawatir berlebihan.
Suatu malam, setelah makan malam, ibunya berkata, “Tiwi, kamu hati-hati kerja di rumah laki-laki sendirian. Jangan sampai ada gosip.”
Tiwi menepuk dada. “Tenang, Ma! Kalau ada yang gosipin aku, aku akan ajak dia kerja di rumah Tristan biar dia tau seberapa dinginnya si vampir itu.”
Ayahnya langsung menjawab "Sudah tau dingin masih saja betah kerja sama dia jangan jangan kamu tergoda"
Tiwi ngakak. “Ya gak lah lah, yang bener itu dia yang tergoda sama Tiwi , Pa. Lagian kalau Dokter Vampir itu macem-macem, aku lempar aja pake wajan. Nggak usah takut.”
Orang tuanya saling pandang, lelah. “Anak kita ini…” gumam ayahnya.
...----------------...
Hari Minggu, Tiwi seharusnya libur. Tapi jam sembilan pagi, ia sudah dikerubungi chat dari Naya.
“Wi, plis banget temenin aku. Aku mau ketemu Adi lagi. Aku takut sendirian.”
Tiwi mendengus di kasur. “Nay, aku nggak mau jadi obat nyamuk. Aku pengen rebahan seharian.”
“Tolong banget, Wi. Dia bawa temen lagi kok. Jadi kamu nggak sendirian. Aku janji traktir dessert kesukaanmu.”
Tiwi menghela napas panjang. “Ya ampun, dasar bucin. Yaudah deh, aku ikut. Tapi kalau temennya aneh, aku sikat, lho.”
----
Sore itu, Tiwi datang ke restoran Cloud Nine lagi. Kali ini tampil kasual chic, blouse biru muda, jeans putih, sneakers. Rambutnya digerai alami.
Di meja, Adi sudah menunggu bersama seorang pria lain teman baru yang diperkenalkan untuk Tiwi.
“Tiwi, ini Dimas. Dia teman kuliahku,” kata Adi.
Dimas ramah, murah senyum, dan cepat akrab. Percakapan jadi cair. Naya terlihat bahagia, Tiwi pun ikut tertawa-tawa.
Namun, tanpa ia sadari, ada tatapan tajam dari seberang ruangan.
Ya, Tristan lagi.
Kali ini ia tidak sendiri. Ia duduk dengan beberapa kolega dokter. Tapi matanya hanya terpaku pada satu titik: Tiwi.
Melihat Tiwi tertawa bersama pria lain, Tristan merasa dadanya sesak. Ia mencoba fokus pada obrolan kolega, tapi gagal. Telinganya mendengar, tapi matanya menolak berpaling.
Saat Dimas mendorong gelas minum ke arah Tiwi dengan senyum ramah, Tristan mengepalkan tangan di bawah meja.
“Kenapa aku… marah lagi?” bisiknya dalam hati.
----
Dimas bercerita sesuatu yang lucu, Tiwi tertawa keras, bahkan menepuk lengan Dimas tanpa sadar. Momen itu membuat Tristan benar-benar tidak tahan.
Ia bangkit, kursinya bergeser keras. Beberapa kolega menatap kaget.
“Tristan, kamu ke mana?” tanya salah satu dokter wanita.
“Ke sana,” jawabnya singkat.
Langkahnya mantap menuju meja Tiwi.
“Ya ampun… vampirnya nongol lagi,” gumam Tiwi begitu melihatnya.
Naya sampai panik, begitu juga Adi dan sesementara Dimas bingung melihat pria dingin itu mendekat.
Tristan berdiri di samping Tiwi, menatap Dimas datar. “Kamu siapa?”
Dimas menelan ludah. “Saya… Dimas. Teman kuliahnya Adi.”
"Kamu Adi yang kemarin ajak teman untuk godain Tiwi"
Tristan bergeser menatap Tiwi. “Dan kenapa kamu di sini lagi?”
Tiwi mendengus. “Ya jelas nemenin Naya. Lah, kamu kenapa sih, Dok? Restoran ini bukan punya kamu aja.”
Tristan mencondongkan tubuh, wajahnya dekat sekali dengan Tiwi. “Kamu suka bikin aku marah.”
Deg.
Tiwi mendadak panas dingin. Tapi tentu saja, lidahnya tak bisa diam. “Lah, terus salah aku? Aku cuma ketawa-ketawa. Emangnya kalau aku ketawa sama orang lain, kamu rugi saham, ya?”
Tristan menutup mata sebentar, menarik napas panjang. Lalu ia meraih pergelangan tangan Tiwi, persis seperti sebelumnya.
“Eh, eh, jangan narik lagi, Dok!” protes Tiwi.
“Pulang,” kata Tristan pendek.
Semua mata pengunjung lagi-lagi tertuju pada mereka. Naya sampai mau pingsan saking malunya.
Dimas dan Adi hanya bisa diam, tidak berani macam-macam. Aura Tristan terlalu menekan.
Dengan setengah gemas, setengah malu, Tiwi membiarkan dirinya digiring keluar lagi.
---
Mobil melaju di jalanan malam. Hening, hanya suara mesin yang terdengar.
Tiwi akhirnya bersuara, “Dok, serius deh, kamu tuh kayak bodyguard mafia. Setiap aku ketemu cowok, kamu datang nyeret aku. Aku malu tau nggak?”
Tristan tetap menatap lurus ke jalan. “Aku tidak suka.”
“Tidak suka apanya?” tanya Tiwi
“Tidak suka kamu tertawa dengan pria lain.”
Tiwi terdiam, lalu perlahan tersenyum miring. “Ya ampun… Dokter Vampir beneran cemburu lagi. Duh, hati aku leleh, gimana nih.”
Tristan menoleh sekilas, tatapannya tajam tapi wajahnya serius. “Kalau iya, kenapa?”
Tiwi menatapnya lama. Dadanya berdebar tak karuan. Tapi, seperti biasa, ia menyembunyikan rasa itu dengan celetukan.
“Kalau iya, berarti aku makin limited edition dong. ART yang bukan cuma bisa masak, bersih-bersih, tapi juga bisa bikin dokter dingin cemburu. Wah, paket komplit banget.” ujar tiwi
Tristan menahan senyum, kembali fokus menyetir. Tapi hatinya bergejolak hebat.
Begitu sampai, Tiwi bingung kok di ajak kerumah Tristan "Ini kenapa kesini, aku mau pulang" ujar Tiwi
"Aku mau ambil barangku untuk, aku antar sekalian kerumah sakit" jawab Tristan
Tiwi langsung rebahan di sofa, menutup wajah dengan bantal. “Ya Tuhan, hidupku mendadak jadi drama Korea. Aku kayak pemeran utama yang tiap minggu diculik cowok tajir dingin.”
Tristan menaruh jasnya di gantungan, lalu naik ke tangga. Sebelum masuk kamar, ia berkata pelan, “Rumah ini… memang sepi tanpa kamu.”
Tiwi menurunkan bantal, menatap punggungnya yang menghilang di tangga. Bibirnya perlahan tersenyum lebar.
“Gawat,” bisiknya. “Kalau terus begini… aku beneran jatuh cinta.”
Bersambung…
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥