NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:341
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 Membuka Kotak Pandora Digital

Benda itu terasa berat di telapak tangannya, jauh lebih berat dari seharusnya untuk sebuah perangkat sekecil itu, seolah menyerap semua harapan yang tersisa di ruangan tersebut.

“Jangan sentuh apa pun,” desis Sasha, suaranya nyaris tak terdengar. Rama, yang hendak melangkah mendekat, membeku di tempat.

“Apa itu, Bu?” tanya Rama, nadanya cemas. “Dari mana datangnya?”

“Aku tidak tahu dari mana,” jawab Sasha, matanya terpaku pada benda hitam itu. “Tapi aku punya dugaan kuat siapa yang meninggalkannya.”

“Gunawan?”

“Siapa lagi? Dia satu-satunya orang yang masuk dan keluar dari ruangan ini. Ini bukan pengunduran diri yang elegan, Rama. Ini… ini sesuatu yang lain.”

“Sebuah ancaman? Jebakan?”

“Panggil Bima kembali ke sini. Sekarang,” perintah Sasha, mengabaikan pertanyaan Rama. “Katakan padanya untuk membawa perangkat isolasi portabel. Jangan biarkan benda ini mendekati jaringan kita sampai kita tahu apa isinya.”

“Baik, Bu.” Rama bergegas keluar ruangan, meninggalkan Sasha sendirian dengan kotak Pandora digital di hadapannya.

Lima belas menit kemudian, Bima masuk dengan sebuah koper perak yang tampak kokoh. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa kelelahan dari malam tanpa tidur, kini bercampur dengan kewaspadaan baru.

“Rama bilang ada… temuan?” tanya Bima, matanya langsung tertuju pada flash drive di atas meja. Ia tidak mendekat.

“Ditinggalkan oleh Gunawan,” jelas Sasha singkat. “Aku mau kau memeriksanya. Di sini. Di laptop yang terisolasi total dari jaringan. Anggap saja ini bom digital.”

“Sangat mungkin memang begitu, Bu,” sahut Bima sambil membuka kopernya. Ia mengeluarkan sebuah laptop berwarna abu-abu kusam tanpa logo, beberapa kabel, dan sebuah perangkat analisis kecil. “Ini bisa jadi wiper malware yang dirancang untuk menghapus semua data kita, atau ransomware yang paling buruk. Bisa juga hanya flash drive kosong untuk membuat kita panik.”

“Aku tidak merasa ini hanya untuk membuat panik,” gumam Sasha, mengamati setiap gerakan Bima dengan saksama.

Bima bekerja dalam diam. Ia mengenakan sarung tangan antistatis, menjepit flash drive itu dengan pinset, dan memasukkannya ke dalam porta USB pada perangkat analisisnya, yang kemudian terhubung ke laptop terisolasi. Layar laptop itu hidup, menampilkan baris-baris kode yang bergerak cepat.

“Tidak ada autorun script yang berbahaya. Tidak ada payload yang langsung aktif,” lapor Bima, matanya bergerak cepat memindai layar. “Strukturnya bersih. Terlalu bersih.”

“Apa maksudmu?” tanya Sasha.

“Perangkat seperti ini, jika digunakan untuk serangan, biasanya memiliki lapisan jebakan. Yang ini… seperti sengaja dibuat mudah diakses. Seolah-olah pengirimnya ingin kita membukanya.”

“Kalau begitu, buka,” kata Sasha tegas.

Bima mengangguk. Dengan beberapa ketukan, sebuah jendela direktori muncul di layar. Hanya ada satu folder di dalamnya, tanpa nama, hanya ikon folder biasa.

“Aneh,” gumam Bima. “Tidak ada enkripsi, tidak ada proteksi kata sandi.”

“Buka foldernya, Bima.”

Bima mengklik dua kali. Folder itu terbuka, menampilkan ribuan berkas dengan nama-nama yang membingungkan: rangkaian angka, kode, dan stempel waktu.

“Ini… ini bukan data perusahaan kita,” kata Bima, keningnya berkerut dalam. “Ini log. Log lalu lintas jaringan. Tapi formatnya sangat aneh. Ini… astaga.”

“Ada apa?” desak Sasha, mendekat selangkah.

“Ini log serangan siber, Bu,” jawab Bima, suaranya bergetar karena campuran ngeri dan takjub. “Sebuah serangan yang sangat canggih. Bukan yang pernah kita alami. Ini… ini seperti cetak biru perang digital.” Ia mengklik salah satu berkas. Layar dipenuhi dengan diagram alur yang rumit. “Mereka memetakan seluruh infrastruktur kita. Pintu belakang, kerentanan zero-day… Mereka tahu segalanya.”

“Kapan ini terjadi?” tanya Sasha, jantungnya berdebar kencang.

Bima menunjuk ke stempel waktu di sudut layar. “Enam bulan yang lalu. Tepat sebelum… sebelum Pak Bara meninggal.”

Napas Sasha tercekat. “Bara. Dia tahu tentang ini?”

“Lebih dari tahu, Bu. Lihat ini.” Bima menunjuk ke bagian lain dari log. “Di sini, serangannya dihentikan. Ada jejak patch darurat, firewall yang dikonfigurasi ulang secara manual, dan sebuah honeypot yang dipasang untuk menjebak penyerang. Kode-kode ini… ini gaya khas Pak Bara. Hanya dia yang bisa melakukan ini secepat dan sebersih ini. Dia menghentikan mereka.”

“Dia tidak pernah memberitahuku,” bisik Sasha, lebih pada dirinya sendiri.

“Mungkin dia tidak ingin membuat Ibu khawatir,” kata Bima pelan. “Tapi ada lagi, Bu. Sumber serangannya. Saya berhasil melacak jejak alamat IP asalnya. Mereka menggunakan serangkaian proksi global yang sangat rumit, tetapi jejak samar terakhirnya mengarah ke sini.”

Jari Bima menunjuk ke sebuah nama yang tertera di akhir baris kode. Sebuah nama yang membuat darah Sasha terasa membeku.

Express Teknologi.

“Nama yang sama,” kata Sasha datar. “Yayasan yang membayar beasiswa putri Gunawan.”

“Jadi, ini bukan sekadar pengambilalihan perusahaan oleh Pak Hadi,” simpul Bima, akhirnya memahami skala masalahnya. “Ini invasi.”

“Dan Gunawan bukan sekadar pengkhianat,” tambah Sasha, matanya berkilat dingin. “Dia adalah kurir. Dia tidak meninggalkan ini sebagai ancaman. Dia meninggalkannya sebagai peringatan. Atau mungkin… sebuah permohonan maaf.”

“Peringatan tentang apa, Bu? Serangan ini sudah digagalkan.”

“Kau tidak mengerti, Bima,” balas Sasha. “Ini bukan tentang serangan yang sudah terjadi. Ini tentang serangan yang akan datang. Express Teknologi tidak akan mencoba cara yang sama dua kali. Mereka tahu kita tahu. Ini artinya mereka akan menggunakan cara lain yang lebih… langsung.”

“Kita harus melaporkan ini ke pihak berwenang. Ke Kominfo, ke BSSN,” usul Bima.

“Tidak,” potong Sasha cepat. “Jika kita melakukan itu, berita tentang kerentanan kita akan bocor. Hadi akan menggunakan itu untuk menghancurkan kita di rapat pemegang saham. Dia akan bilang aku tidak kompeten, bahwa di bawah kepemimpinanku, DigiRaya nyaris lumpuh. Publik akan panik. Saham kita akan anjlok. Kita akan kalah sebelum perang dimulai.”

“Lalu apa yang kita lakukan?” tanya Bima, terdengar putus asa. “Kita tidak bisa melawan mereka sendirian.”

“Kau benar,” sahut Sasha. Keheningan menyelimuti ruangan selama hampir satu menit penuh. Sasha berjalan mondar-mandir, otaknya bekerja secepat superkomputer. Kemudian, ia berhenti. Sebuah ingatan samar, dari percakapan larut malam dengan Bara beberapa bulan sebelum kematiannya, muncul ke permukaan.

...****************...

Lima hari kemudian, suasana di Menara DigiRaya terasa sedikit lebih tenang. Kemenangan media Sasha dan pemecatan diam-diam sang pengkhianat telah menstabilkan kapal untuk sementara. Laporan kinerja menunjukkan tren positif. Namun, bagi Sasha, ketenangan itu terasa seperti keheningan sebelum badai.

“Anda yakin tentang ini, Bu?” tanya Rama untuk kelima kalinya hari itu. Mereka berada di dalam mobil, melaju meninggalkan gemerlap Jakarta menuju perbukitan Bandung yang diselimuti kabut tipis.

“Aku tidak punya pilihan lain, Rama,” jawab Sasha, matanya menatap ke luar jendela. “Semua ahli keamanan siber terbaik di negara ini bekerja untuk pemerintah atau korporasi lain. Kita tidak bisa memercayai siapa pun. Kita butuh seseorang dari luar sistem. Seseorang yang tidak bisa dibeli.”

“Tapi seorang peretas anonim? Yang rumornya dicari oleh interpol? Ini terlalu berisiko.”

“Bara memercayainya,” kata Sasha pelan. “Dia pernah bercerita padaku. Ada sebuah serangan besar pada sistem perbankan nasional tiga tahun lalu. Pemerintah hampir lumpuh. Tiba-tiba, serangan itu berhenti dan semua uang yang dicuri kembali dengan sendirinya. Tidak ada yang tahu siapa yang melakukannya, tapi Bara yakin itu perbuatan orang ini. Dia bilang orang ini bukan penjahat, tapi seorang seniman anarkis yang membenci penyalahgunaan kekuasaan. Bara menyebutnya ‘hantu penjaga’.”

“Sebuah dongeng, Bu,” cibir Rama lembut.

“Mungkin,” aku Sasha. “Tapi saat ini, aku butuh dongeng itu menjadi nyata. Alamatnya benar di sini?”

“Sesuai informasi dari kontak lama Pak Bara. Sebuah warung kopi di gang sempit. Nama aliasnya: Zega.”

Mobil berhenti di ujung sebuah gang yang becek dan remang-remang. Aroma kopi sangrai bercampur dengan asap rokok kretek. Sasha menarik napas dalam-dalam, merapikan blazernya yang terasa sangat tidak pada tempatnya.

“Tunggu di sini,” perintahnya pada Rama.

“Tapi, Bu…”

“Ini harus aku lakukan sendiri.”

Sasha melangkah keluar dari kenyamanan mobilnya dan masuk ke dalam dunia yang berbeda. Warung kopi itu kecil, berdinding kayu yang sudah lapuk, diterangi oleh satu bohlam kuning. Hanya ada beberapa pelanggan, para lelaki tua yang bermain catur. Di sudut paling gelap, sendirian, duduk seseorang yang punggungnya menghadap pintu. Di depannya hanya ada secangkir kopi hitam pekat dan sebuah laptop tua yang penuh stiker.

Sasha berjalan mendekat, jantungnya berdebar. “Permisi,” katanya pelan. “Saya mencari Zega.”

Sosok itu tidak bergerak selama beberapa detik. Kemudian, kepalanya perlahan menoleh. Itu bukan pria berumur seperti yang ia bayangkan. Itu seorang Remaja mungkin masih sekolah kelas 12 atau baru lulus SMA, dengan rambut pendek acak-acakan, mata yang tajam dan lelah, dan tatapan yang seolah bisa melihat menembus semua kepura-puraan di dunia.

“Zega?” ulang Sasha, sedikit ragu.

Pemuda itu mengangkat cangkir kopinya, menyesapnya perlahan, matanya tidak pernah lepas dari Sasha. Ia meletakkan cangkirnya kembali dengan suara pelan.

“Siapa yang mencarinya?” tanyanya, suaranya serak dan dingin.

“Nama saya Sasha Victoria,” jawab Sasha, berusaha terdengar percaya diri. “Saya dari DigiRaya. Saya butuh bantuan Anda.”

Sebuah senyum sinis yang nyaris tak terlihat tersungging di bibir pemuda itu. Ia menatap Sasha dari ujung rambut hingga ujung sepatu mahalnya, tatapannya terasa seperti pisau bedah yang menguliti.

“DigiRaya,” desisnya, nama itu terdengar seperti kutukan di mulutnya. “Aku tahu siapa kau. Pewaris yang sedang bermain perang-perangan.” Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, cahaya bohlam kuning menimpa wajahnya, menampakkan sepasang mata yang membara dengan kebencian yang dalam. “Pergilah dari sini. Sebelum aku membongkar perusahaanmu sampai ke fondasinya hanya untuk bersenang-senang.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!