Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Castella Medical Center – siang itu.
Hening ruang praktik tiba-tiba terusik oleh suara ketukan tajam di pintu.
Sebelum Chesna sempat berkata apa pun, pintu itu terbuka begitu saja dan sosok berwibawa dengan rambut putih tersanggul rapi berdiri di ambang.
Gaun biru toska yang dikenakannya kontras dengan tatapan tajam penuh api di matanya.
“Jadi benar,” suaranya dingin, tapi penuh getaran. “Yang ada di sini memang kamu, Tuan Sanggana.”
Gideon menoleh cepat. Napasnya tercekat.
Sementara Chesna mendadak berdiri dari kursinya, gugup bukan main.
“Nenek… kenapa Nenek datang ke sini?” tanyanya pelan, mencoba menenangkan situasi.
Nenek Mia melangkah masuk tanpa menjawab, tongkat kecil di tangannya mengetuk lantai dengan suara mantap setiap kali ia melangkah.
Tatapan matanya lurus menembus Gideon, seolah ingin memastikan kalau lelaki itu benar-benar nyata, lelaki yang dulu pernah hampir kehilangan nyawanya demi cucunya.
“Jadi ini caramu menebus masa lalu, Tuan Gideon?”
Suara itu mengiris.
“Kamu datang lagi, setelah cucuku dipermalukan oleh nenekmu sendiri?”
“Nenek, tolong-” Chesna mencoba bicara, tapi Mia mengangkat tangannya, menahan.
“Tidak, Chesna. Kali ini Nenek tidak akan diam.” Tatapan tajam itu kini beralih pada cucunya.
“Kamu mungkin terlalu lembut untuk melawan, tapi Nenek tidak.”
Gideon menunduk, tapi tetap berusaha menatap sang nenek dengan hormat.
“Bu Mia,” ucapnya tenang tapi getir, “saya mengerti kemarahan Anda. Tapi saya tidak berniat-”
“Tidak berniat?” potong sang nenek, suaranya meninggi. “Kalau tidak berniat, seharusnya kamu tidak datang lagi kemari!“
Chesna menggigit bibirnya. “Nenek, mohon dengarkan aku dulu…”
Tapi Mia tak mau berhenti.
“Cucuku menahan malu, menunduk di hadapan wanita tua yang menampar harga dirinya tanpa alasan! Dan sekarang kamu datang ke sini dengan wajah penuh penyesalan seolah kamu korban? Tidak, Gideon. Cukup.”
Ruang praktik itu mendadak dingin.
Lidya yang berdiri di luar pintu tak berani masuk, hanya bisa mendengar dari balik kaca dengan wajah tegang.
Gideon menghela napas panjang, lalu berkata pelan, “Saya datang bukan untuk membela diri, Nek. Saya datang karena saya tidak ingin semuanya sia-sia.”
Gideon menatap Chesna sejenak, lalu kembali menatap sang nenek.
“Saya minta maaf atas apa yang terjadi. Tapi, Nek… saya tidak akan menyerah memperbaiki semuanya. Saya…”
Suara itu terhenti karena tatapan tajam yang menusuknya wanita tua itu.
“Cukup, Gideon.”
Nada Chesna akhirnya terdengar, pelan tapi tegas. “Nenek benar. Mungkin kamu sebaiknya pergi dulu.”
Gideon terdiam lama.
Ia memandangi wajah Chesna, wajah lembut yang kini tampak dingin karena kebimbangan.
Gideon tahu, bukan Chesna yang ingin mengusirnya. Tapi keadaan.
Ia akhirnya mengangguk pelan.
“Baik. Aku pergi.”
Ia memutar tubuhnya perlahan, tongkat di tangan kanannya bergemerisik menyentuh lantai.
Namun baru beberapa langkah, suara Nenek Mia kembali terdengar, kali ini lebih lirih tapi tajam.
“Kalau kamu masih punya harga diri, Gideon, jangan pernah dekat-dekat dengan cucuku lagi. Biarkan dia tenang. Dia tidak butuh kasih sayang yang bisa diambil sewaktu-waktu.”
Langkah Gideon berhenti sejenak. Ia menutup matanya rapat, menahan setiap kata yang ingin keluar. Tapi kemudian ia hanya berkata, dengan suara hampir bergetar:
“Maafkan saya, Nenek. Untuk hal itu… saya tidak bisa berjanji.”
Hening menyelimuti ruangan.
Chesna menatap punggung Gideon yang perlahan menjauh.
Dan saat pintu tertutup, baru air mata yang ia tahan akhirnya menetes pelan di pipinya.
Beberapa detik berlalu, lalu suara lembut tapi sarat makna keluar dari bibir sang nenek.
“Anak itu sopan ya,” katanya tiba-tiba, nadanya ringan, seolah seluruh ketegangan tadi tak pernah terjadi.
Chesna menoleh cepat, masih dengan mata yang sedikit merah.
“Nenek…?” tanyanya ragu, antara bingung dan masih menahan emosi.
Nenek Mia berbalik, menatap cucunya sambil menarik kursi dan duduk santai.
“Ya ampun, Chesna. Wajahmu itu… mirip anak TK yang merengek karna dibawa pulang dari taman bermain.”
Nada suaranya lembut, bahkan sedikit geli.
Chesna terperangah. “Tapi tadi Nenek marah-marah ke Gideon.”
“Hmm,” Nenek Mia menatap kuku jarinya sebentar, lalu menatap Chesna dengan ekspresi jenaka.
“Itu akting, sayang.”
“Akting?!” Chesna terkejut.
Neneknya mengangguk santai sambil tersenyum penuh kebanggaan.
“Ya iya, masa Nenek mau diem aja? Kamu dipermalukan sama neneknya anak itu! Kalau Nenek nggak pasang muka garang sedikit, nanti dia pikir keluarga Abram ini bisa diinjak-injak.”
Chesna menatapnya lama, antara terharu dan tidak percaya.
“Jadi Nenek nggak benar-benar benci Gideon?”
“Benci? Astaga, tentu saja tidak!”
Nenek Mia terkekeh kecil, lalu melanjutkan dengan nada menggoda,
“Kalau Nenek masih muda, mungkin Nenek juga suka sama anak itu. Matanya lembut, tatapannya tulus. Ya ampun, cucuku punya selera bagus juga ternyata.”
Chesna spontan menutup wajahnya dengan kedua tangan, pipinya memanas.
“Neeenek\~!” serunya malu-malu, tapi tidak bisa menahan tawa yang mulai pecah.
Suasana yang semula kaku berubah jadi hangat.
Tawa kecil Chesna berpadu dengan suara lembut Nenek Mia yang mulai mengomel ringan, tapi dengan nada yang menenangkan.
“Nenek cuma ingin memastikan anak itu punya nyali. Dan ternyata punya,” ujarnya sambil tersenyum tipis. “Tadi pas kamu nyuruh dia pergi, wajahnya itu, lho… kayak kucing kehujanan. Aduh, Nenek hampir kasihan beneran.”
Chesna menatap neneknya dengan mata berkaca-kaca, kali ini bukan karena sedih, tapi lega.
Ia menyandarkan kepala di bahu sang nenek, menghirup aroma yang khas dari parfum yang selalu digunakan wanita tua itu.
“Terima kasih, Nek,” bisiknya pelan. “Aku kira Nenek benar-benar ingin memisahkan kami.”
“Memisahkan kamu? Oh, sayang…” Nenek Mia menepuk kepala cucunya pelan.
“Justru Nenek pengen pastikan kamu tahu siapa yang kamu perjuangkan. Kalau dia mundur cuma karena bentakan Nenek, berarti dia nggak cukup kuat buat kamu. Tapi kalau dia balik lagi besok? Nah, itu baru calon suami yang pantas.”
Chesna tersenyum lebar, matanya mulai berbinar seperti anak kecil.
“Kamu tahu,” lanjut Nenek Mia sambil menyipitkan mata, “Nenek itu dulunya sahabat baik Nyonya Besar Sanggana. Kami dulu satu komunitas sosial, sering berlibur bareng.”
Ia mendesah pelan, nada suaranya berubah sedikit lembut.
“Sampai kejadian itu… setelah kecelakaan Gideon, semuanya berubah.”
Chesna menatap haru. Lalu berkata, “maaf ya Nek, hubungan kalian jadi rumit gara-gara kecelakaan itu.”
“Ya sudah sayang, semua sudah berlalu. Gideon pun perlahan membaik. Tugasmu adalah menyayangi Gideon dengan tindakan yang pantas. Dia itu … malaikat biat kamu sayang, nenek sangat bersyukur karena dia, nenek tidak kehilangan kamu, yang bahkan saat itu nenek belum mengenalmu.
Chesna mengangguk sambil menatapnya dalam.. keduanya kembali berpelukan, sangat lama.
“Jadi… Nenek percaya kalau neneknya Deon akan mendukung kami juga?”
Nenek Mia tersenyum lebar, menunjukkan kerutan lembut di sudut matanya.
“Tentu saja. Kamu pikir Neneknya Gideon itu batu? Dia cuma keras di luar. Dalamnya lembek. Cucunya cuma satu, sayang. Percaya deh, apapun keinginan Gideon, neneknya akan mengalah, apalagi kalau kamu bikin Gideon bahagia, wanita tua itu pasti akan sangat menyayangi kamu.”
Chesna menahan tawa sambil menghapus sisa air mata di pipinya.
“Hmm, tapi Nenek kan tadi ngomong lumayan pedas soal beliau. Aku sedih, Nek. Kasihan Gideon….”
“Ah, itu…” Nenek Mia pura-pura batuk kecil, tapi senyum geli tetap menari di bibirnya.
“Sedikit bumbu untuk drama keluarga. Biar cucunya tahu siapa yang paling keren di antara dua nenek.”
Ia berkedip nakal. “Dan jelas, pemenangnya Nenek-mu ini.”
Tawa renyah pun pecah di ruangan itu.
Untuk pertama kalinya setelah hari yang melelahkan, Chesna bisa tertawa lega tanpa rasa bersalah.
Dan saat Nenek Mia berdiri hendak pergi, ia menoleh sambil berujar ringan,
“Kapan-kapan kalau anak itu balik ke sini, kasi dia teh buatan Nenek, ya. Katakan saja… itu minuman perdamaian.”
Chesna terkekeh sambil mengangguk.
“Siap, Nenek. Tapi nanti jangan pura-pura galak lagi, ya.”
“Lho, justru itu senjata rahasia Nenek!” sahutnya cepat sambil mengangkat tongkat, membuat Chesna kembali tertawa.
___
Bersumbang… 🤭
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??