Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. menjaga jarak itu penting dari orang yang membuat luka.
Pagi itu, ruang keberangkatan Bandara Soekarno–Hatta dipenuhi awak penerbangan dari berbagai maskapai. Sorotan kamera media tampak di mana-mana, ada peluncuran armada baru milik Grup Wirantara Air.
Sebagai salah satu pilot senior, Kapten Shaka Wirantara berdiri di depan, mengenakan seragam putih dengan epaulet emas, tegap dan berwibawa seperti biasa. Namun, pikirannya tak berada di tempat yang sama.
Sejak tadi, matanya terus saja mencari sosok berambut hitam yang selalu mampu menahan badai di dadanya, yaitu Amara. Wanita itu sedang berdiri di sisi lain ruangan, mengenakan seragam pramugarinya.
Rambutnya disanggul rapi, wajahnya datar, dan senyumnya tipis tapi tenang. Senyum yang dulu menenangkan Shaka, tapi kini justru membuat dadanya sesak, karena senyum itu bukan lagi untuknya.
“Mas Shaka!”
Suara lembut namun nyaring itu datang lagi, Karina melangkah ke arahnya, mengenakan seragam pramugari dengan badge bertuliskan Karina Wirantara. Ia tersenyum cerah, tak peduli pada pandangan orang di sekitarnya.
“Mas, aku tadi diminta menemani tamu investor dari Singapura. Boleh aku berdiri di samping Mas aja? Biar gampang koordinasinya.”
Shaka menegakkan tubuh, mencoba menahan ekspresi jengah.
“Karina, ada banyak petugas lain...”
“Tapi aku kan bagian dari tim Mas,” potong Karina dengan nada manja, lalu menyenggol lengannya kecil. Gerakannya ringan, tapi cukup untuk menarik perhatian beberapa orang di sekitar. Beberapa pilot muda saling berbisik, sebagian pramugari menatap dengan tatapan ingin tahu. Dan di antara mereka semua, mata Amara sempat menoleh sepersekian detik. Lalu ia kembali menatap lurus ke depan, melanjutkan percakapan formal dengan direktur maskapai.
Tak ada kemarahan, tak ada kecemburuan. Justru ketenangan yang menusuk jauh lebih dalam. Shaka menatapnya lama. Ia merasa kehilangan kendali bukan karena Amara marah, tapi karena Amara tidak marah sama sekali. Diamnya Amara terasa lebih tajam daripada seribu protes.
Karina dengan ringan menggandeng lengan Shaka ketika mereka berjalan menuju area parkir awak penerbangan.
“Mas, aku boleh nebeng mobil Mas aja, kan?” ucapnya tanpa malu.
Shaka menarik lengannya pelan. “Kau naik mobil dinas saja, aku ada urusan.”
“Urusan sama Mbak Amara, ya?” Karina tersenyum setengah mengejek.
“Masih aja dingin ke dia. Padahal semua orang tahu, dia nggak pernah nunjukin rasa punya suami.”
Kalimat itu membuat Shaka berhenti melangkah. Rahangnya mengeras.
“Jaga bicaramu, Karina. Dia tetap istri sahku.”
“Tapi Mas sendiri kayaknya nggak yakin dengan itu.”
Karina tertawa kecil, lalu berlalu meninggalkan Shaka yang diam membeku. Kata-kata itu menancap seperti duri di dada. Ia tahu Karina benar, bukan karena ia tidak mencintai Amara, tapi karena ia baru sadar betapa dalam perasaan itu setelah Amara benar-benar mulai menjauh.
Malamnya, Shaka berdiri di depan jendela ruang istirahat pilot. Cahaya kota Jakarta memantul di kaca, dan di sana ia melihat bayangan dirinya, seorang pria yang tampak kokoh, tapi hancur perlahan dari dalam.
Ia ingat bagaimana Amara dulu menemaninya di masa-masa awal pernikahan mereka, diam, lembut, dan selalu mengerti meski tak pernah ditanya. Ia ingat senyum samar wanita itu setiap kali Shaka pulang larut malam, walau tanpa satu pun pelukan. Dan kini, semua itu lenyap diganti dengan formalitas dan jarak. Shaka menunduk, mengusap wajahnya lelah.
Keesokan harinya, Amara melewati ruangannya tanpa menatap sedikit pun. Langkahnya ringan, tapi sikapnya tegas. Dan entah kenapa, di dada Shaka, ada rasa sesak yang aneh. Sampai Karina kembali datang dengan senyum manis dan segelas kopi. Namun kali ini, Shaka hanya menatap gelas itu lama sebelum berkata pelan,
“Jangan lakukan ini lagi, Karina. Aku tidak butuh pengganti.”
Wajah Karina berubah. “Maksud Mas?”
Shaka menatap lurus ke depan.
“Satu Amara saja sudah cukup membuat aku kehilangan diriku sendiri.”
Dan Karina pun diam, sementara Shaka, di balik ketegasan seorang kapten, perlahan kehilangan arah dalam hidupnya sendiri.
Sudah tiga hari Amara tak berbicara banyak dengan Shaka. Ia tetap datang tepat waktu, menjalankan penerbangan sesuai jadwal, bersikap profesional, dan tersenyum secukupnya.
Bagi rekan kerja, Amara hanyalah Pramugari teladan yang anggun dan tenang. Tapi di balik ketenangan itu, ada badai yang sudah lama ia tahan agar tak meledak di tempat yang salah. Setiap kali melihat Shaka berjalan berdampingan dengan Karina, entah dalam rapat singkat atau sekadar di ruang briefing, dadanya terasa sesak.
Namun, anehnya, kini bukan lagi karena cemburu. Lebih kepada kelelahan, lelah mencintai sendirian.
Siang itu, setelah menyelesaikan penerbangan Jakarta–Denpasar, Amara duduk di ruang tunggu awak. Ia membuka tablet, mengecek jadwalnya minggu depan.
Ada tiga rute internasional yang menunggu, dan sejujurnya, ia mulai berpikir untuk mengambil cuti panjang setelah semua selesai.
“Amara.”
Sebuah suara berat datang dari belakang. Ia menoleh, ternyata Shaka berdiri di ambang pintu, masih dengan seragam lengkap. Tatapannya tajam, tapi wajahnya tampak letih.
Mungkin sama letihnya seperti dirinya.
“Aku ingin bicara,” ucap Shaka pelan.
“Tidak di sini, Kapten.”
Nada Amara formal, kaku, dingin, dia sengaja menekankan kata Kapten.
Shaka menarik napas panjang. “Berhentilah memanggilku begitu, Amara.”
Amara menatap lurus ke depan. “Kalau bukan di tempat kerja, Mas ingin aku memanggil apa? Suami? Padahal, sejak awal aku tidak pernah benar-benar punya seorang suami.”
Shaka terdiam, dan untuk pertama kalinya, ia tak punya kata untuk membantah.
Malamnya, di apartemen dinasnya, Amara berdiri di depan jendela besar yang menampakkan pemandangan kota. Lampu-lampu Jakarta tampak berpendar seperti ribuan kenangan yang berputar di kepalanya. Ia meneguk air putih perlahan, mencoba menenangkan detak jantung yang tak juga stabil.
Lalu, ponselnya bergetar di meja. Sebuah nama muncul di layar, Armand, asisten Keluarga Marvionne. Jari Amara berhenti sejenak sebelum menekan tombol accept.
“Ya, Pak Armand. Ada apa?”
Suara pria itu terdengar dalam dan berwibawa.
[Nona Amara, kami mendapat kabar bahwa ada tamu penting dari luar negeri akan tiba di Jakarta pekan depan. Dewan Marvionne meminta Anda yang mengawal beliau secara pribadi. Ini misi berprioritas tinggi.]
Amara menutup matanya sesaat. Sudah lama ia tidak mendengar kata misi dari keluarga besarnya itu, keluarga yang membesarkannya dan melatihnya menjadi agen rahasia di usia muda, jauh sebelum dunia mengenalnya sebagai istri seorang kapten pilot.
[Apakah Nona bersedia menerima tugas ini?] lanjut Armand.
Amara menarik napas panjang.
“Untuk saat ini … tidak, Pak Armand.”
Suaranya lembut tapi tegas. "Kondisiku tidak sehat. Aku butuh istirahat dulu."
Ada jeda di seberang sana.
[Baik, kami akan mencari agen pengganti. Namun, Dewan akan tetap menunggu jika Anda berubah pikiran.]
“Terima kasih,” jawab Amara singkat sebelum menutup panggilan.
Ia menatap layar ponsel yang kini gelap, lalu tersenyum pahit. Kembali menjadi agen berarti kembali menanggalkan segalanya termasuk sisa-sisa hidupnya di samping Shaka.
Dan meski hatinya hancur, ia tahu ia belum siap benar-benar pergi. Masih ada urusan yang belum selesai. Masih ada luka yang harus ia tutup dengan tenang. Angin malam berembus pelan melalui jendela yang sedikit terbuka.
Amara menatap langit yang hitam tanpa bintang, dan di bawah sinar lampu kota, ia berbisik pada dirinya sendiri.
“Tenang dulu, Amara. Setelah semua urusan ini selesai … kau akan kembali. Tapi kali ini, bukan sebagai istri siapa pun ... melainkan sebagai dirimu sendiri.”
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka
Semakin menyesal Shaka setelah tahu kenyataan yang sebenarnya