📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Malam - Kedekatan Karna Mabuk
Gerimis tipis masih menetes di luar, meninggalkan bercak air di kaca mobil yang baru saja Elesa dan Rom tinggalkan. Elesa melangkah keluar lebih dulu, menarik jaket kremnya erat-erat ke tubuhnya saat angin malam menyapa kulitnya. Rom mengikuti di belakang, tangannya sibuk menutup pintu mobil dengan bunyi pelan yang nyaris tenggelam oleh suara genangan air yang terinjak sepatunya. Aroma tanah basah bercampur aspal menguar, membaur dengan sisa kopi yang entah dari mana tercium samar.
Di depan mereka, neon kecil bertuliskan “Doktor Kaffee” berkedip pelan di atas pintu kafe, menyambut dengan cahaya kuning temaram yang bocor keluar dari jendela kaca. Elesa melirik Rom, alisnya terangkat seolah bertanya tanpa suara, “Ini tempatnya?” Rom hanya mengangguk, tangannya menunjuk ke arah pintu dengan gerakan santai.
“Kamu yakin kafe ini oke?” tanya Elesa, nada suaranya setengah bercanda, tapi ada rasa ingin tahu yang terselip. “Soalnya kayaknya… agak sepi.”
Rom tertawa kecil, napasnya membentuk kabut tipis di udara. “Justru enak kalau sepi. Bisa ngobrol tanpa teriak,” jawabnya, membuka pintu kaca untuk Elesa. Lonceng kecil di atas pintu berdenting lembut, menyapa kedatangan mereka.
Di dalam Warkop Doktor Coffee, udara terasa hangat, kontras dengan dinginnya malam di luar. Cahaya lampu kuning memantul di meja-meja kayu yang sudah usang, beberapa masih menyimpan sisa tetesan kopi dari pelanggan sebelumnya. Musik jazz mengalir pelan dari speaker di sudut, seperti berbisik, mencoba menenangkan sesuatu yang tak terucapkan. Aroma kopi panggang dan kayu manis menyelinap ke indera mereka, bercampur dengan sisa gerimis yang masih menempel di jaket Elesa.
“Kamu pilih tempat duduk,” kata Rom, tangannya masih di saku celana, matanya menyapu ruangan yang hanya diisi dua meja lain di kejauhan.
Elesa melangkah menuju meja di dekat jendela, tempat cahaya lampu jalan menyelinap masuk, memantul di kaca yang sedikit berembun. Ia menarik kursi kayu, suara gesekannya pelan di lantai ubin. “Sini aja, biar bisa lihat jalanan,” katanya, meletakkan jaketnya di sandaran kursi sebelum duduk. Rom mengikuti, duduk di hadapannya, sendok kecil di meja menarik perhatiannya hingga ia memainkannya tanpa sadar.
Elesa menyandarkan dagu di tangan, matanya menangkap pantulan wajahnya sendiri di jendela sebelum beralih ke Rom. “Hahaha… kamu sering ya ke kafe kayak gini?” tanyanya, suaranya ringan tapi ada nada penasaran yang tersembunyi.
“Kadang. Kalo diajak,” jawab Rom, bahunya sedikit terangkat. Tangannya masih memainkan sendok, mengetuk tepi meja dengan ritme tak beraturan.
“Diajak?” Elesa menaikkan satu alis, senyum kecilnya penuh teka-teki. “Berarti kamu nggak pernah ke kafe sendiri dong? Sama siapa emang?”
Rom terdiam sejenak, napasnya seperti tertahan. “Sama Lin—” katanya, lalu buru-buru membetulkan, “Sam… temen. Kadang sama tetangga, temen biasa gitu.”
Elesa menghentikan gerakan tangannya yang sedang merapikan serbet di meja. Matanya menatap Rom sekilas, menangkap nama yang nyaris lolos itu. Ada sesuatu di sana—sebuah celah kecil yang ia rasakan tapi memilih untuk tak dibuka sekarang. Ia hanya tersenyum samar, memutuskan untuk membiarkan momen itu menggantung.
“Hmm, temen ya,” katanya ringan, lalu memandang keluar jendela, ke genangan air di trotoar yang memantulkan lampu jalan. “Beruntung juga temen kamu, bisa ngajak kamu keluar.”
Rom membalas senyum itu, tapi matanya tak sepenuhnya tenang. Di antara denting gelas dari meja lain dan alunan musik jazz, ada keheningan yang menggantung di udara—bukan rahasia besar, tapi cukup untuk membuat momen itu terasa lebih berat dari seharusnya. Di dekat jendela Warkop Doktor Coffee, Elesa dan Rom baru saja memulai malam mereka, tapi sudah ada bayangan masa lalu yang mengintip di sela-sela percakapan.
Pelayan mendekati meja mereka dengan langkah gesit, sepatunya berderit pelan di lantai ubin Warkop Doktor Coffee. Nampan kecil di tangannya memegang dua buku menu cokelat tua, sudut-sudutnya sudah sedikit mengelupas, penuh cerita malam-malam sebelumnya. Cahaya lampu gantung rotan di atas meneteskan keemasan lembut ke wajahnya yang ramah. “Selamat malam, Kak. Ini menunya. Mau pesan minum dulu atau langsung makan?” tanyanya, suaranya cerah tapi santai, seperti angin malam yang baru reda di luar.
Elesa, jilbab biru mudanya sedikit bergeser saat ia mencondongkan tubuh ke depan, mengambil menu dengan tangan kanan.
Jarinya yang ramping menyusuri daftar makanan—nasi goreng, mie godog, roti bakar—sebelum berhenti di halaman minuman. Matanya melebar tipis, alisnya terangkat saat melihat daftar anggur lokal yang tak biasa untuk kafe sederhana seperti ini. “Eh, ada anggur merah? Kayaknya asyik buat malam ini,” katanya, suaranya ringan tapi penuh antusias. Ia melirik Rom, sudut bibirnya terangkat, seolah mengajak tanpa kata.
Rom, yang baru saja menyandarkan punggung ke kursi kayu di dekat jendela, mengambil menu satunya. Tangan kirinya, penuh bekas luka kecil dari latihan lapangan, memegang menu dengan santai. “Boleh, Les. Anggur merah yang ringan aja, biar nggak nendang terlalu keras,” balasnya, suaranya dalam tapi ada nada bercanda yang mengintip. Ia menatap Elesa, matanya menyipit seperti sedang menimbang sesuatu, lalu tersenyum kecil. “Satu botol cukup, kan?”
Elesa terkekeh, menutup menu dengan gerakan cepat. “Cukup, asal kamu nggak mabuk duluan.” Jilbabnya sedikit bergoyang saat ia menggelengkan kepala, menambah kesan ceria pada ekspresinya.
Pelayan mencatat pesanan mereka, pulpennya bergerak cepat di kertas kecil. “Anggur merah lokal, satu botol. Makanannya, Kak?”
“Nasi goreng telur mata sapi, sambal extra,” kata Elesa, tangannya menunjuk menu seolah memastikan. “Kamu, Rom?”
“Mie godog pedas, level tiga,” jawab Rom, menyerahkan menu kembali dengan senyum tipis. “Biar panas malam ini.” Pelayan mengangguk, lalu berlalu, meninggalkan aroma kopi panggang dan manisnya roti bakar yang menguar dari dapur.
Elesa memutar sedotan di gelas air yang sudah ada di meja, jari-jarinya bermain dengan ujung jilbab yang menjuntai di bahu. Di luar jendela, genangan air di trotoar memantulkan lampu jalan, menciptakan kilau yang lembut di wajahnya. “Kamu sering ke kafe kayak gini, Rom? Aku sih jarang, apalagi yang punya anggur. Biasanya cuma kopi hitam biar nggak ngantuk,” katanya, suaranya penuh rasa ingin tahu, matanya menangkap pantulan Rom di kaca.
Rom mengedikkan bahu, tangan kanannya memainkan sendok kecil di meja, mengetuk-ngetuk dengan ritme tak beraturan. “Kadang, kalau lagi pengen santai. Dua minggu ini kita kan sering ngobrol di kantor, aku pikir malam ini cocok buat sesuatu yang beda. Bukan cuma teh tarik atau kopi susu.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, matanya berbinar di bawah cahaya lampu rotan. “Tapi, serius, Les, aku penasaran. Kamu berjilbab, kok oke aja pesan anggur? Nggak takut mabuk?”
Elesa terkekeh keras, tangannya menutup mulut sebentar, jilbabnya bergoyang lagi. “Hahaha, ketahuan, ya? Aku nggak minum sering, Rom. Cuma... malam ini kayaknya boleh lah, buat lepas penat. Jilbab ini cuma penutup kepala, bukan penutup rasa capekku.” Ia menyentuh ujung jilbabnya, menatanya ulang dengan gerakan lembut, lalu menatap Rom dengan ekspresi setengah bercanda, setengah menantang. “Kamu nggak keberatan, kan, tentara?”
Rom menggelengkan kepala, tertawa pelan. “Nggak, nggak. Cuma penasaran. Kamu kelihatan galak di lapangan, tapi sekarang... santai banget. Kayak bukan Elesa yang biasa ngomel.”
“Itu kamu banget, sih,” balas Elesa cepat, tangannya menunjuk Rom dengan sedotan, matanya menyipit penuh canda. “Luar tenang, dalam ribut. Aku tahu, kamu pasti nyimpan seribu rahasia.”
Pelayan kembali, membawa botol anggur merah dan dua gelas kristal sederhana. Ia menuang anggur dengan hati-hati, cairannya berkilau merah tua di bawah cahaya lampu. Aroma manis bercampur sedikit asam langsung mengisi udara. “Makanannya sebentar lagi, Kak,” katanya sebelum berlalu.
Elesa mengangkat gelasnya, jilbabnya sedikit tergeser lagi saat ia menggerakkan kepala. “Cheers? Buat malam yang nggak galak,” katanya, senyumnya lebar, matanya berbinar.
Rom mengangkat gelasnya, gelas mereka bertemu dengan bunyi clink yang renyah. “Buat kita yang capek tapi masih bisa ketawa,” balasnya, lalu meneguk pelan. Elesa mengikuti, wajahnya sedikit mengernyit saat rasa asam anggur menyentuh lidahnya, tapi ia tetap tersenyum. Rom memperhatikan reaksinya, sudut bibirnya terangkat. “Nggak biasa, ya?”
“Agak-agak kecut, tapi enak,” jawab Elesa, memutar gelas di tangannya, jari-jarinya menyentuh pinggir kristal dengan gerakan ringan.
Makanan tiba tak lama kemudian. Piring nasi goreng Elesa beruap, telur mata sapi di atasnya bergoyang pelan, kuningnya mengilap di bawah lampu. Mie godog Rom berwarna merah menyala karena cabai, aroma bawang goreng dan kecap bercampur dengan uap anggur. Elesa langsung menyendok nasi gorengnya, meniupnya pelan sebelum memasukkan ke mulut, gerakannya cepat tapi anggun, seperti seseorang yang terbiasa makan di sela kesibukan. “Wah, ini pedas banget,” katanya, matanya melebar, tapi ia terus mengunyah, pipinya sedikit membulat.
Rom mengaduk mie-nya dengan garpu, tangannya bergerak ritmis, seperti tentara yang terlatih untuk presisi. “Coba tahan, Les. Ini pasti bikin keringetan,” katanya, menyendok mie dan memakannya dengan santai, meski matanya menyipit karena pedas. “Bagus, biar suasananya panas.”
Elesa mencubit lengan Rom pelan dengan tangan kiri, jilbabnya bergoyang lagi saat ia tertawa. “Dasar tentara! Selalu siap perang, bahkan sama sambal!” Gerakannya itu membuat Rom bergeser sedikit di kursi, tapi ia balas dengan menepuk punggung tangan Elesa ringan, jarinya menyentuh kulitnya sebentar sebelum ditarik. “Kamu juga, Instruktor Elesa,” balasnya, suaranya penuh canda. “Suaramu pas ngomel di lapangan bisa ngalahin sirene. Aku denger dari ujung kantor aja ngerasa aman—kayak ada komandan cadangan.”
Elesa menutup mulut dengan tangan, menahan tawa sambil mengunyah. “Ngaku, ya, kamu dengerin aku ngomel!” katanya, lalu meneguk anggur lagi, pipinya mulai memerah—entah dari pedas atau alkohol. Ia menyandarkan dagu di tangan, matanya tertuju pada arloji perak di pergelangan Rom, yang berkilau samar di bawah lampu. “Eh, bagus jamnya,” katanya pelan, suaranya sedikit serius. “Kayak udah lama banget nemenin kamu.”
Rom menatap arlojinya, ekspresinya berubah—ada bayang muram yang melintas di matanya. Ia meletakkan garpu, jari-jarinya menyentuh tepi arloji dengan hati-hati. “Lima tahun. Dapat pas aku 24, misi di utara. Musuh yang nyerahin ini sebelum... ya, sebelum dia selesai.” Suaranya rendah, seperti menahan beban. “Anehnya, jam ini nggak pernah mati. Kehujanan seminggu, tenggelam di lumpur, tetep jalan.”
Elesa memandangnya, jilbabnya sedikit miring saat ia memiringkan kepala, matanya penuh empati. “Lima tahun lalu... aku masih kuliah, belum kepikiran jadi instruktur. Kamu masih simpan karena...?”
“Karena selama dia berdetak, aku ngerasa aku juga masih jalan,” jawab Rom, suaranya pelan tapi tegas. Ia tersenyum kecil, mencoba menghilangkan kesedihan dari wajahnya. “Sentimental, ya?”
Elesa mengangguk, tangannya menyentuh ujung gelas anggur. “Sentimental itu bikin orang waras, Rom. Aku suka sisi itu dari kamu.” Ia tersenyum, lalu meneguk anggur lagi, matanya mulai berkaca-kaca karena alkohol.
Rom mencondongkan tubuh ke depan, penasaran. “Ngomong-ngomong, kerjaanmu sebagai instruktur tuh gimana? Aku cuma tentara lapangan—latihan, patroli, operasi kecil. Nggak serumit kamu yang ngatur anak didik tiap hari.”
Elesa menghela napas, menyendok nasi gorengnya lagi, tapi gerakannya lebih lambat sekarang. “Repot banget. Plan latihan, koreksi kesalahan, laporan ke atasan. Fisik capek, pikiran lebih capek. Apalagi sejak...” Ia berhenti, matanya menunduk, jari-jarinya menarik ujung jilbabnya. “Sejak video itu.”
Rom mengerutkan kening, garpunya berhenti di udara. “Video rumah sakit?”
Elesa mengangguk, suaranya kecil. “Iya. Musuh yang nyebarin video pribadiku... aku nggak bisa lupain. Rasanya kayak luka yang nggak sembuh.” Ia meneguk anggur lebih dalam, tangannya sedikit gemetar.
Rom menjangkau tangan Elesa, jarinya menyentuh punggung tangan gadis itu dengan lembut, hanya sebentar sebelum ditarik kembali. “Les, itu bukan salahmu,” katanya, suaranya tenang tapi penuh keyakinan. “Mereka cuma pengen bikin kamu jatuh. Tapi kamu masih berdiri. Masih ngajar, masih galak.” Ia tersenyum lebar, mencoba mengembalikan tawa Elesa.
Elesa terkekeh, matanya berkaca-kaca tapi ia cepat mengusapnya dengan ujung jilbab. “Makasih, Rom. Beneran. Ajak aku ke sini... aku ngerasa lebih tenang malam ini.” Ia meneguk anggur lagi, gelasnya kosong sekarang, pipinya merah merekah.
Rom mengisi ulang gelas mereka, tangannya sedikit goyah karena anggur mulai terasa. “Baguslah. Kamu butuh jeda, Les. Terlalu tegang nggak sehat.” Ia menyendok mie lagi, tapi matanya lebih sering tertuju pada Elesa, memperhatikan bagaimana jilbabnya membingkai wajahnya yang semakin rileks.
Obrolan mereka semakin liar, gelas anggur bertambah jadi dua, lalu tiga. Elesa tertawa lebih lepas, tangannya menepuk meja pelan saat Rom menceritakan kekonyolan patroli malam yang nyaris tersesat. “Kamu tuh lucu juga ternyata!” katanya, suaranya sedikit kacau, jilbabnya miring lagi karena gerakan kepalanya yang antusias. Ia menepuk bahu Rom, jari-jarinya berlama-lama di lengan bajunya. “Biasanya kan cuma diem, kayak orang bawa kabut di kepala.”
Rom tertawa, tangannya membalas menepuk lengan Elesa, gerakannya ringan tapi penuh kehangatan. “Malam ini kabutnya ilang karena kamu senyum terus. Kamu tahu nggak, Les, kamu tuh... cantik banget. Muda, pangkat bagus, instruktur hebat. Aku? Masih tentara lapangan, nggak naik-naik.” Matanya lembut, menatap Elesa tanpa malu-malu, anggur membuat kata-katanya lebih berani.
Elesa tersipu, tangannya menyentuh pipinya yang panas, jilbabnya ditata ulang dengan gerakan gugup. “Kamu... bisa aja. Biasanya aku tegas, katanya kayak robot. Malam ini beda ya?” Suaranya mulai tersendat, matanya setengah terpejam karena mabuk.
“Beda banget,” jawab Rom, suaranya rendah dan hangat. Ia bergeser lebih dekat, bahu mereka hampir bersentuhan. “Senyummu tulus. Bukan Elesa yang ngomel di lapangan. Kayak... gadis biasa yang bikin orang lupa capek.” Ia tersenyum, tangannya memainkan gelas anggur yang hampir kosong.
Elesa terkekeh lagi, menepuk bahu Rom lebih keras, lalu tanpa sadar menyandarkan kepalanya di pundaknya. “Kamu bikin aku lupa capek, Rom,” gumamnya, napasnya hangat di leher Rom, kata-katanya kacau karena anggur. “Jilbabku... apa nggak aneh pas aku gini?”
Rom tertawa pelan, tangannya merangkul pundak Elesa dengan gerakan hati-hati, jari-jarinya mengusap bahu gadis itu dengan lembut. “Nggak aneh. Malah... unik. Kamu tetep Elesa, jilbab atau nggak, mabuk atau nggak.” Ia melirik arlojinya, jarum menunjukkan pukul 00.00, dentingan halus seperti penutup malam yang sakral.
Elesa sudah tertidur di pundaknya, napasnya berat, pipinya merah karena anggur, jilbabnya sedikit miring tapi tetap membingkai wajahnya yang damai. Rom membayar tagihan dengan tangan bebas, lalu menggendong Elesa dengan hati-hati—lengan kiri di bawah lutut, kanan di punggung—langkahnya pelan menuju mobil. Angin malam menyapa mereka, membawa aroma aspal basah. Rom menurunkan Elesa ke jok belakang, memandang wajahnya sebentar. “Kamu tuh... cantik banget pas nggak marah,” gumamnya, tahu Elesa tak mendengar.
Ia duduk di kursi pengemudi, menyalakan mesin, dan melaju pelan ke perumahan Rom. Di kaca spion, bayangan Elesa yang tertidur tampak tenang, jilbabnya sedikit bergeser tapi tetap menawan. Malam itu, tanpa janji besar, mereka menemukan kehangatan kecil yang tumbuh pelan di antara tawa, anggur, dan luka yang mulai memudar.