Bram, playboy kelas kakap dari Bekasi, hidupnya hanya tentang pesta dan menaklukkan wanita. Sampai suatu malam, mimpi aneh mengubah segalanya. Ia terbangun dalam tubuh seorang wanita! Sialnya, ia harus belajar semua hal tentang menjadi wanita, sambil mencari cara untuk kembali ke wujud semula. Kekacauan, kebingungan, dan pelajaran berharga menanti Bram dalam petualangan paling gilanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaenal 1992, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan Sang Terperangkap dan Penyelamat Tak Terduga
Sinta mencoba bangkit, perih terasa di sekujur tubuh, terutama pada memar di pipinya. Namun, sebuah tangan lembut menahan bahunya.
"Jangan bergerak dulu, Sinta," kata Rian dengan nada cemas, mendorong Sinta agar kembali berbaring. "Kamu masih lemah. Banyak luka di tubuhmu. Istirahatlah."
Rian membetulkan selimut yang menutupi Sinta, matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Sinta menurut, kepalanya terasa berdenyut-denyut. Ia menyadari betapa lemahnya ia sekarang, betapa mudahnya tubuh ini dilumpuhkan—sebuah realitas yang sangat menyakitkan bagi Bram yang terperangkap.
"Aku minta maaf... karena sudah merepotkanmu," bisik Sinta, suaranya serak. Ia menatap sekeliling. Ruangan ini bersih, minimalis, dan jelas adalah kamar tidur Rian.
Rian menggeleng cepat. "Sinta, jangan bicara begitu. kamu sama sekali tidak merepotkanku. Tapi... boleh aku tahu apa yang terjadi? Kenapa kamu ada di jalanan sepi, sampai dirampok begitu?"
Sinta menghela napas panjang. Kejadian itu seperti mimpi buruk yang terlalu nyata. Ia meremas selimut di tangannya, rasa sakit dan frustrasi kembali menyeruak.
"Aku... aku baru saja pindah," jawab Sinta, suaranya sedikit bergetar. "Aku pindah dari rumah keluarga Maya."
Rian mengerutkan kening, bingung. "Pindah? Tapi kenapa mendadak? Dan ke mana? Aku pikir kamu baik-baik saja tinggal di sana."
Sinta menelan ludah, tatapan matanya menerawang. Ia harus jujur, setidaknya dalam batas-batas yang ia mampu. Ia tidak bisa menceritakan tentang perubahan jenis kelamin, tentang Bram yang terperangkap di tubuh Wanita, tetapi ia bisa menjelaskan alasannya pindah.
"Aku... aku sudah terlalu lama menumpang di rumah mereka, Rian," Sinta memulai, suaranya lebih tegas. "Sejak aku pindah ke kota ini untuk bekerja, mereka sudah sangat baik menolongku, mengizinkanku tinggal di sana. Tapi... aku tidak mau merepotkan Tante, Om, dan terutama... Reno dan Raka."
Ia sengaja menekan nama Reno dan Raka. Bagian itu adalah kebenaran yang paling mendesak.
"Aku merasa sudah waktunya aku hidup mandiri. Aku sudah bekerja, aku punya penghasilan. Aku harus punya tempat tinggalku sendiri. Kontrakan yang aku tuju itu lumayan jauh dan aku baru saja mau pindah malam itu," lanjutnya. "Aku tidak ingin mereka terus-menerus merasa terbebani oleh kehadiranku, atau terpaksa memikirkan keperluanku. Aku harus hidup dengan kakiku sendiri."
Sinta merasakan sedikit kelegaan setelah mengucapkannya. Keputusan itu memang berat, terutama harus meninggalkan kasih sayang tulus keluarga Maya, namun ia harus menciptakan jarak, demi menjaga perasaannya sendiri—atau lebih tepatnya, demi menjaga Bram agar tidak terlalu terlibat dalam kehidupan dua bocah laki-laki yang semakin memuja 'Sinta'.
Rian terdiam sejenak, mencerna ucapan Sinta. Ada rasa kagum yang muncul di matanya. Sinta adalah wanita yang kuat dan bertanggung jawab.
"Sinta... Kamu tidak pernah merepotkan siapa pun," kata Rian lembut. "Keputusanmu untuk mandiri itu hebat, tapi kamu tidak perlu melakukan semua ini sendirian. Kalau saja kamu bilang, aku bisa bantu mencarikan kontrakan yang lebih aman, atau setidaknya aku bisa mengantarmu saat itu."
"Aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu," sela Sinta cepat. Ia tidak bisa membiarkan Rian tahu lebih jauh. Semakin sedikit orang yang terlibat, semakin baik.
"Tidak mengganggu sama sekali," Rian tersenyum tipis, walau senyum itu tidak mencapai matanya yang masih dipenuhi kekhawatiran. "Aku sangat peduli padamu, Sinta. Dan melihatmu dalam keadaan seperti ini... sungguh membuatku khawatir setengah mati."
Rian meraih tangan Sinta yang terbaring di atas selimut, menggenggamnya perlahan. Sentuhan itu terasa hangat, penuh perhatian. Sinta, yang di dalam hatinya adalah Bram yang kasar dan tak terbiasa dengan kelembutan, merasakan getaran aneh, sedikit tidak nyaman, namun juga sedikit... tersentuh. Ia buru-buru menarik tangannya dengan alasan ingin membetulkan bantal.
"Terima kasih, Rian," ucap Sinta, tatapannya dialihkan ke jendela. "Terima kasih sudah menolongku. Kalau tidak ada kamu, entah apa yang akan terjadi padaku."
Ia tahu, jika ia bisa menggunakan kekuatan penuh Bram, ia tidak akan selemah itu. Tapi tubuh Sinta ini adalah batasannya, sebuah belenggu yang terus-menerus mengingatkannya pada kutukan tak masuk akal ini. Ia, Bram, harus terus berpura-pura menjadi Sinta, seorang wanita yang kini diselamatkan oleh atasannya sendiri, dan yang kini semakin terjerat dalam situasi yang semakin rumit.
Rian mengangguk. "Tentu saja, Sinta. Sekarang kamu istirahat. Aku akan keluar sebentar, menyiapkan makanan hangat untukmu."
Rian bangkit dan berjalan menuju pintu. Ia sempat berhenti di ambang pintu, menatap Sinta sekali lagi, seolah memastikan wanita itu baik-baik saja.
"Sinta," panggilnya pelan. "Malam ini dan beberapa hari ke depan, kamu akan tinggal di sini. Jangan khawatir soal apa pun. Aku akan menjagamu."
Sinta hanya mengangguk pelan, terlalu lelah untuk berdebat. Begitu Rian pergi, ia menghela napas panjang. Ia benar-benar terpojok. Kini, ia tidak hanya harus menjaga jarak dari keluarga Maya, tetapi juga harus menghadapi Rian, atasannya yang terlalu baik dan terlalu peduli ini, di bawah satu atap.