Damian, duda muda yang masih perjaka, dikenal dingin dan sulit didekati. Hidupnya tenang… sampai seorang cewek cantik, centil, dan jahil hadir kembali mengusik kesehariannya. Dengan senyum manis dan tingkah 'cegil'-nya, ia terus menguji batas kesabaran Damian.
Tapi, sampai kapan pria itu bisa bertahan tanpa jatuh ke dalam pesonanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencuri
BEBERAPA HARI KEMUDIAN – KANTOR DAMIAN
Pagi itu kantor kembali sibuk seperti biasa. Suara mesin fotokopi, nada dering telepon, dan obrolan ringan antar karyawan mengisi udara. Aletha duduk di balik mejanya dengan wajah serius, mengetik cepat sambil menjawab beberapa email penting. Tangannya sibuk, matanya fokus—ia benar-benar tenggelam dalam rutinitas.
Tiba-tiba, telepon meja di sampingnya berdering. Ia menghela napas sebelum menjawab.
"Ruang CEO," sapanya singkat.
Suara Damian terdengar di seberang, khas dan datar. "Bawa kopi ke ruangan saya. Hitam, tanpa gula."
Klik.
Sambungan terputus begitu saja. Aletha memutar bola matanya kesal.
"Bisa tolong? Tolong siapa? Dia pikir aku robot kali," gerutunya sambil bangkit dari kursi. "Padahal aku lagi sibuk, kenapa harus minta aku yang bikinin sih? Nyebelin banget si Damian!"
Dengan langkah cepat namun malas, ia menuju pantry. Mengisi cangkir dengan kopi hitam, lalu membawanya ke ruang Damian yang berada di ujung lorong. Tanpa mengetuk, Aletha membuka pintu.
"Kopinya, Tuan CEO," ucapnya ketus, meletakkan cangkir di meja dengan sedikit dorongan.
Damian menatapnya sekilas dari balik laptop. "Lama."
Aletha menatapnya tajam. "Bikin sendiri sana kalau nggak sabar."
"Kalau aku harus bikin sendiri, buat apa ada asisten?" kata Julian seenaknya.
Aletha melipat tangan di dada dan menatap sinis. "Aku punya tugas sendiri, Pak CEO. Tugasku bukan bawain kamu kopi, tapi mengatur semua keperluan di kantor."
"Tapi kamu istriku, kan? Jadi, tugas kamu double di sini."
Aletha mendengus pelan, tapi tak membalas.
Damian mengulas senyum kecil di bibirnya, gemas melihat Aletha yang tampak kesal padanya.
Damian mengambil cangkir dan meniup kopi panas itu dengan santai. Aletha berdiri di sana beberapa detik, menatap sosok lelaki yang menyebalkan tapi tentunya sangat ia cintai sejak dulu.
"Udah gak ada lagi yang kamu butuhkan? Aku mau balik ke ruanganku, masih banyak pekerjaan," kata Aletha.
Damian menggeleng.
"Oke," ucap Aletha.
Wanita itu akhirnya berbalik hendak pergi, tapi suara Damian menahannya.
"Aletha."
Ia menoleh malas. "Apa lagi? Tadi katanya udah gak ada yang di butuhkan."
"Baju kamu kusut. Kamu gak bisa duduk rapi biar baju kamu gak kusut gitu?"
Aletha menahan napas. "Serius? Aku udah kerja dari jam tujuh pagi dan kamu masih sempat kritik penampilan? Kamu kira aku duduk seperti apa sih, sampai-sampai baju kusut sedikit aja dibilang aku gak bisa duduk tenang!"
Damian mengangkat alis, wajah tampannya menyebalkan. "Kamu kan asisten pribadiku. Harusnya tampil profesional. Setidaknya untuk jaga image."
Aletha cemberut, bibirnya mengerucut, tampak sekali kesal pada suaminya sendiri. Melihat itu, Damian bangkit dari duduknya dan mendekati Aletha, ia berdiri di hadapannya.
Damian membenarkan blazer yang Aletha kenakan, merapikan rambut wanita itu dengan jari jemarinya. Aletha menatap Damian, akhir-akhir ini si pria menyebalkan memang lebih sering menunjukkan perhatian kecil padanya. Ia pun tak tahu alasannya apa, tapi yang jelas Aletha senang.
"Kamu harus lebih sering memperhatikan penampilan selama ada di kantor. Bukan tanpa alasan, tapi aku pengen orang-orang di kantor menilai kamu sebagai wanita yang cantik, profesional dan memiliki image yang rapi. Kamu istrinya CEO, jadi gak boleh terlihat kusut," tutur Damian penuh perhatian.
"Tapi aku kan kerja, Dam... Aku di kantor tuh bukan cuma diam, banyak yang aku lakuin. Kalau penampilanku kusut dikit ya wajar, yang penting masih cantik!" balas Aletha, nada bicaranya judes.
"Ya, aku paham... Tapi aku lebih suka melihat kamu selalu kelihatan fresh."
Bola mata Aletha berputar malas. "Oke, Pak Damian Alexander Pramono..."
Damian tersenyum, matanya menatap mata Aletha intens.
'Kriiing!'
Telepon di ruangan itu berbunyi, Damian mengalihkan pandangannya dari Aletha ke telepon. Ia duduk dan menerima telepon tersebut, sementara Aletha masih di sana memperhatikan.
"Oh, ya. Saya ada di ruangan dan sedang free. Suruh langsung datang saja ke ruangan saya," kata Damian, menjawab pertanyaan seseorang di seberang telepon.
"Ya, terima kasih banyak," tutupnya.
Damian menutup telepon dan meletakkan gagang telepon itu di tempatnya. Ia kemudian menatap Aletha, tangannya terulur seolah meminta Aletha meraihnya.
Aletha mengerutkan kening. "Kenapa? Aku mau ke ruanganku," ucapnya.
"Kamu gak boleh pergi sebelum semuanya selesai," jawab Damian.
"Selesai apanya? Aku udah bikinin kopi, udah dengerin komentar jelek kamu, terus sekarang apa lagi?" tanya Aletha sebal.
"Masih belum selesai, makanya raih tangan aku," jawab Damian dengan tangan masih terulur pada Aletha.
Aletha ragu, tapi kemudian meraih tangan suaminya. Damian menggenggam tangannya, lalu ia menarik Aletha hingga duduk di pangkuannya.
Aletha terkejut bukan main, berusaha melepaskan diri tapi kedua tangan Damian menahan tubuhnya agar tak bisa pergi.
"Dam, kamu apa-apaan sih? Lepasin ah! Nanti ada yang masuk dan lihat kita!" Aletha berusaha keluar dari dekapan suaminya.
"Kenapa harus malu? Kan suami istri," kata Damian santai.
"Ya gak gitu juga, tetap aja ini di kantor!"
"Aku gak peduli."
"Hish! Damian, lepasin!"
"No, no, no..."
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di luar ruangan Damian. Aletha semakin berusaha untuk melepaskan diri, tapi Damian malah mempererat dekapannya. Lalu tanpa aba-aba, pria itu menarik tengkuk Aletha dan mencium bibirnya.
Aletha sungguh terkejut, ini kedua kalinya Damian mencium bibirnya, sungguh tak terduga. Damian bukannya melepaskan ciuman itu, tapi malah memperdalamnya hingga Aletha merasa Damian sengaja melakukannya.
Saat itulah pintu terbuka, dua orang masuk dan berdiri mematung menyaksikan bagaimana kemesraan Damian dan istrinya. Damian menyadari itu, namun seolah tak peduli dan bahkan sengaja.
"Ekhem!"
Seseorang berdeham keras, membuat Aletha terkejut. Ia dengan cepat menarik diri dari suaminya dan berbalik. Aletha terkejut bukan main saat melihat Pak Hartman dan Pak Pramono berdiri menyaksikan mereka.
"P-papa... Papa mertua..." ucapnya
Aletha membeku di tempat, wajahnya merona merah padam karena malu bukan main. Ia tidak tahu harus menyembunyikan wajahnya ke mana. Tangannya mencubit lengan Damian dengan kesal, tapi pria itu malah tetap santai, bahkan tersenyum puas seolah tak ada yang salah dengan apa yang baru saja mereka lakukan.
Pak Hartman hanya menghela napas berat, berusaha menjaga ekspresi wajah tetap profesional. Pemandangan yang tak seharusnya ia lihat kini justru tersaji dengan jelas di depan mata. Sementara Pak Pramono, berdiri dengan ekspresi sulit ditebak—antara ingin tertawa atau menegur.
"Dasar anak muda," gumamnya.
"Sepertinya kami datang di waktu yang... salah," ucap Pak Hartman kaku sambil berdeham, jelas berusaha menahan kekesalan bercampur rasa canggung.
Aletha buru-buru berdiri dari pangkuan Damian, membungkuk kecil penuh hormat, wajahnya makin merah. "M-maaf, Papa, Papa mertua... aku benar-benar minta maaf... aku gak bermaksud berbuat tidak senonoh..." Kalimatnya terputus karena saking gugupnya.
Aletha menatap Damian. "Dia yang mulai duluan, aku udah berusaha melepaskan diri..."
Damian menahan tawa, puas sekali membuat Aletha segugup itu.
Pak Pramono akhirnya angkat bicara dengan suara datar, namun tak bisa sepenuhnya menyembunyikan nada geli dalam suaranya. "Lain kali, kalau mau bermesraan, cari tempat yang lebih... private, Damian."
Damian malah tersenyum lebih lebar. Ia berdiri santai, merapikan sedikit bajunya, lalu menatap santai kedua orang tua itu. "Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Bukannya lebih bagus semua orang tahu hubungan kami sehat?"
Aletha ingin menjerit di tempat saking malunya.
Pak Hartman mengerti maksud Damian, perkataan pria itu ditujukan padanya yang selalu meragukan hubungan Aletha dan Damian sejak awal. Pak Hartman pun tampaknya mengerti, bahwa menantunya itu sengaja menunjukkan kemesraan tadi di hadapannya.
Pak Hartman memejamkan mata sejenak, mencoba mengendalikan emosinya, lalu berkata, "Baiklah, sepertinya kita perlu bicara soal urusan rapat direksi... kalau sudah selesai... bermesraan," katanya dengan nada tajam, meski masih berusaha terdengar profesional.
Pak Pramono hanya mengangguk. "Kami tunggu di ruang rapat dalam lima menit, Dam."
"Baik," jawab Damian datar.
Mereka berdua kemudian keluar, meninggalkan Damian dan Aletha yang masih berdiri di sana.
Begitu pintu tertutup, Aletha langsung melotot ke arah Damian. "Kamu gila ya?! GILA!"
Damian malah terkikik kecil, ekspresi jahil tidak hilang dari wajahnya. Ia mencoba meraih tangan Aletha lagi, tapi wanita itu segera menarik diri.
"Jangan sentuh aku!" bisik Aletha keras, matanya berair karena malu. "Aku mau undur diri aja! Malu banget sumpah!"
Tanpa menunggu Damian membalas, Aletha buru-buru merapikan bajunya dan membungkuk kecil ke arah pintu—seakan membungkuk pada sosok ayahnya yang tidak lagi di situ—lalu cepat-cepat keluar dari ruangan, nyaris berlari.
Damian hanya tersenyum melihat punggung Aletha yang menjauh.
"Dasar. Lucu banget sih kamu," gumamnya santai sambil mengambil berkas rapat dan berjalan santai menuju ruang rapat, siap menghadapi 'serangan' baru dari ayah mertuanya sendiri.
___________________
Di Ruang Rapat Direksi – Lima Menit Kemudian
Damian melangkah masuk ke ruang rapat dengan percaya diri. Raut wajahnya sudah kembali serius dan profesional, menyimpan jauh ekspresi jahil yang tadi ia tunjukkan saat bersama Aletha. Di ruangan itu sudah duduk Pak Pramono dan Pak Hartman, yang memegang cabang perusahaan di Medan.
Beberapa direktur lainnya juga sudah hadir. Semua menoleh saat Damian masuk dan duduk di kursi utamanya, di ujung meja panjang. Ia membuka berkas rapat yang dibawanya, lalu menatap para hadirin dengan tatapan tenang namun tajam.
"Baik, kita mulai," ucap Damian tegas. "Agenda rapat hari ini adalah evaluasi performa kuartal pertama dan rencana ekspansi proyek logistik terpadu di wilayah Sumatera Utara, terutama di jalur Medan-Pekanbaru."
Pak Hartman mengangguk pelan. "Saya sudah lihat datanya, Pak Damian. Potensinya besar, tapi kita punya tantangan besar juga soal infrastruktur dan tenaga kerja lokal yang belum sepenuhnya siap."
Pak Hartman dan Damian tampak profesional dalam pekerjaan, mengesampingkan masalah pribadi mereka yang belum sepenuhnya baik-baik saja.
Damian mengangguk. "Betul. Karena itu saya usulkan kerja sama dengan pihak swasta lokal sebagai mitra. Mereka sudah lebih dulu paham medan dan karakter wilayah, jadi efisiensi waktu dan biaya bisa terjaga."
Pak Pramono menyela dengan suara tenang namun penuh wibawa. "Tapi kamu tahu, Dam... kerja sama dengan swasta lokal juga berisiko. Banyak pengusaha di daerah yang masih main 'bawah meja'. Kalau tidak hati-hati, nama besar perusahaan bisa tercoreng."
Damian membuka presentasinya di layar besar di ujung ruangan. Ia menampilkan profil beberapa calon mitra dari pihak lokal yang sudah disaring ketat oleh tim audit dan legal.
"Ini tiga kandidat utama, semuanya sudah diaudit dan punya rekam jejak bersih. Bahkan dua di antaranya pernah bekerja sama dengan pemerintah dalam proyek pengadaan."
Pak Hartman menyipitkan mata menatap layar. "Tapi kenapa yang diusulkan justru CV Batubara Jaya sebagai mitra utama? Bukankah mereka masih tergolong baru?"
"Betul, mereka pemain baru," ujar Damian. "Tapi mereka agresif, punya komitmen ekspansi, dan—penting—mereka memiliki akses eksklusif ke pelabuhan darat di Deli Serdang. Itu yang kita butuhkan."
Pak Pramono menatap Damian beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk kecil. "Anda sudah kalkulasi semuanya?"
Damian menjawab mantap. "Sudah, dan ini bukan hanya soal kalkulasi. Ini langkah strategis untuk menyaingi pesaing kita, PT Nirwana Cargo, yang sudah lebih dulu masuk ke jalur Pekanbaru-Siak."
Suasana ruangan mulai menghangat dengan diskusi serius. Damian menjawab semua pertanyaan dengan lugas. Ia menyajikan analisis risiko, potensi keuntungan, dan proyeksi lima tahun ke depan. Bahkan Pak Hartman yang semula tampak ragu mulai mengangguk setuju dengan beberapa poin.
Namun begitu rapat memasuki sesi terakhir, Pak Hartman tiba-tiba menatap Damian dengan tatapan tajam.
"Pak Damian, saya akui Anda pintar dan punya strategi bagus. Tapi Anda juga harus ingat, Anda CEO bukan hanya karena kompeten, tapi karena Anda adalah anaknya Pak Pramono. Semua orang di luar sana memperhatikan Anda. Termasuk... soal urusan pribadi."
Damian menahan senyum, ia tahu arah pembicaraan itu. Tapi ia menjawab dengan tenang, "Saya paham, Paman sekaligus Ayah mertua. Tapi biarkan saya menyampaikan satu hal: citra saya akan tetap profesional, tapi saya tidak akan menyembunyikan kebahagiaan pribadi saya hanya untuk menjaga formalitas. Selama itu tidak mengganggu pekerjaan, saya pikir itu bukan masalah."
Pak Pramono menoleh ke adiknya dan berkata, "Hartman, biarkan Damian pegang kemudi dengan caranya sendiri. Kita juga dulu pernah muda dan keras kepala. Tapi kalau dia bisa hasilkan angka dan bawa perusahaan ini naik level, kita beri ruang."
Pak Hartman tak langsung menjawab. Tapi ekspresi wajahnya melunak sedikit, lalu ia mendesah pelan. "Baiklah. Tapi ingat, saya akan awasi langsung proyek ini. Kalau sampai gagal, saya tidak akan diam."
Damian mengangguk mantap. "Silakan, Pak. Saya siap bertanggung jawab penuh."
Rapat pun ditutup dengan keputusan bulat: proyek ekspansi jalur logistik Medan-Pekanbaru disetujui dengan CV Batubara Jaya sebagai mitra lokal utama, dan pengawasan langsung dari Pak Hartman.
Setelah rapat selesai, semua orang beranjak keluar. Damian tetap duduk sebentar, menutup berkas-berkasnya dengan perlahan. Ia menarik napas lega, lalu mengulas senyum tipis.
"Langkah pertama berhasil," gumamnya.
Tapi sebelum ia keluar, suara langkah kaki pelan terdengar. Aletha masuk, tampaknya ingin membereskan ruangan.
Damian menoleh, mata mereka bertemu.
"Aletha," ucapnya.
Wanita itu tak langsung menjawab, masih canggung setelah kejadian tadi. Namun Damian tersenyum lembut, lalu berkata, "Tadi aku menang."
Aletha menaikkan alis. "Menang?"
"Rapatnya. Tapi... mencuri ciuman dari kamu juga termasuk kemenangan," ujarnya sambil terkekeh.
Aletha mendesah keras. "Astaga, Damian..."
"Kenapa? Mau marah?"
"Nggak juga, tapi aku sebel banget! Ngapain kamu cium aku di tempat kerja sih? Gak etis, apalagi dilihat Papa sama Om Pramono, sumpah malu banget!"
"Gak apa-apa, aku sengaja."
"Sengaja?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Kamu lupa? Om Hartman kan selalu meragukan hubungan kita, dia masih memantau hubungan kita untuk melihat perkembangannya. Aku sengaja melakukannya supaya dia bisa yakin kalau kita udah saling mencintai, dengan begitu dia gak akan ganggu hubungan kita lagi."
Aletha mangut-mangut. "Oh, jadi karena itu?" katanya. Tapi raut wajah Aletha tampak kecewa. "Aku kira kamu beneran suka aku, tapi ternyata... cuma buat formalitas."
Damian tertegun, dia baru menyadari bahwa apa yang sengaja ia lakukan pada wanita itu memberikan dampak yang tak terduga.
Aletha menatapnya, dia benar-benar terlihat kecewa. "Aku kira kamu udah sembuh dari gay, tapi ternyata nggak. Kamu cium aku bukan karena kamu suka aku, tapi karena kamu pengen ayahku lihat."
Damian mengernyit dalam, merasa dadanya sedikit sesak mendengar kata-kata Aletha. Ia bangkit berdiri, mendekati Aletha perlahan. "Aletha, dengar aku dulu."
Namun Aletha menunduk, berusaha menyembunyikan ekspresi terluka di wajahnya. "Gak usah... Aku ngerti kok. Aku nggak seharusnya berharap terlalu banyak," gumamnya pelan.
Tanpa banyak kata, Aletha pergi dari hadapan Damian dengan air mata yang mengalir di pipinya. Damian tak menyangka telah membuat Aletha menangis karenanya, ini menjadi salah satu kesalahan Damian yang mungkin akan membuat Aletha menjauhinya.
BERSAMBUNG...
padahal Damian sudah menemukan pelabuhannya
selesaikan dulu masa lalumu dam
kamu harus menggunakannya cara yang lebih licik tapi elegan untuk menjaga Damian yang sudah jadi milikmu