Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Yang Merindukan
Ibu Nur menatap putranya serius. Meski terlihat adanya kelembutan seorang ibu dari tatapannya itu, namun di dalamnya juga terdapat sorot keseriusan, dimana ia hanya ingin mendengar kejujuran saja dari bibir putranya.
Ruang makan yang sunyi dipilih sebagai tempat untuk berbicara dari hati ke hati. Setelah penghuni lainnya tidur serta tamu tak terduga juga tak lagi menampakkan batang hidungnya, di sinilah mereka berada sekarang.
Armand sendiri sebenarnya tahu apa yang hendak ibunya bicarakan. Dari tatapan yang diarahkan oleh wanita paruh baya yang sangat dikasihinya itu, Armand tak perlu lagi bertanya apa yang sedang dipikirkan oleh sang ibu tercinta. Ia hanya menunggu seraya meneguk perlahan teh hangat yang dibuatkan untuknya.
"Jujur sama ibu, Man. Omonganmu siang tadi itu serius dari hatimu atau hanya sekedar ingin melindungi Nissa dari kedua pamannya?"
Hela napas Armand terdengar lega saat akhirnya mendengar apa yang ingin ibunya bicarakan. Semuanya sesuai dengan apa yang dipikirkannya.
Tak ingin tergesa-gesa, Armand meneguk sekali lagi teh hangat di gelasnya dan kemudian kembali meletakkan gelas tersebut ke atas meja.
"Jawab ibu, Man." ibu Nur mendesak. Sikap tenang yang ditunjukkan anaknya malah membuatnya merasa tidak sabar. "Jangan cuma diam dan membiarkan ibu menerka-nerka. Situasi kita sekarang ini nggak bisa dipakai buat main-main lagi. Perkataanmu itu akan menjadi bumerang, nggak hanya bagimu tapi juga bagi Nissa, jika seandainya kamu nggak serius dengan hal itu."
"Siapa bilang kalau aku hanya ingin main-main saja, Bu?" ketenangan yang Armand tunjukkan patut diacungi jempol. Di saat ibunya mulai dilanda rasa panik dan khawatir, pria yang sudah menginjak usia 40 tahun itu malah sempat-sempatnya tersenyum melihat kepanikan serta ketidak-sabaran ibunya.
"Kalau begitu, jelaskan semuanya sama ibu." ucap ibu Nur menuntut.
"Aku ini sudah bukan anak remaja lagi, Bu." Armand berucap tenang seraya menyandarkan punggungnya di kursi yang ia duduki. "Segala apa yang aku lakukan, baik itu tindakkan maupun ucapan, semua itu sudah aku pikirkan baik. Jadi, kalau ibu tanya apakah aku serius ingin menikahi Nissa, jawabannya adalah iya. Bahkan kalau saja bisa, aku bersedia untuk menikahinya sekarang juga." imbuh Armand dengan keseriusan yang kuat, tidak hanya dari sorot mata tapi juga nada suaranya.
Ibu Nur terdiam sejenak.
Dalam diamnya itu, wanita paruh baya yang sudah lebih dari 15 tahun menjanda itu menatap putra semata wayangnya lekat-lekat, mencoba menelisik apa yang sebenarnya dirasakan oleh sang putra melalui kedua bola matanya.
Mendapati sang putra kesayangan membalas tatapannya tanpa ragu, bahkan tak sedikitpun mengalihkan pandangan, seolah mempersilahkannya untuk membaca isi hati dan pikirannya, ibu Nur akhirnya menghela napas panjang seraya bertanya, "Kamu cinta sama Nissa, Man?"
"Cinta."
"Benar-benar cinta?"
"Benar-benar cinta!"
"Bukan karena kasihan?"
Armand mendesah dengan senyum tipis tersungging di bibir. "Rasa kasihan itu pasti ada, Bu. Bohong kalau sampai aku bilang nggak ada. Tapi, rasa cintaku untuknya, tolong jangan dipertanyakan. Karena rasa cinta itu sudah jelas pasti ada. Hanya saja kalau ditanya seberapa besar, aku sendiri nggak tau gimana jawabnya. Yang aku tau, aku ingin memberikan segala yang terbaik untuknya. Aku ingin mengisi ruang-ruang kosong di hatinya dengan kenangan yang hanya berisi kami berdua. Aku ingin membahagiakannya semampu yang aku bisa. Bila perlu, aku akan membawanya pergi ke tempat yang jauh, tempat dimana nggak akan ada lagi kata-kata menyakitkan yang ditujukan untuknya."
Penjelasan Armand akan isi hatinya mau tidak mau membuat ibu Nur menggeleng pelan.
Tidak membutuhkan banyak penjelasan lainnya sekali pun, kini ibu Nur bisa mengerti isi hati dan juga pikiran dari anaknya itu.
Cinta...
Ternyata istilah jika cinta tidak mengenal batasan usia itu ternyata benar adanya. Dari sorot mata dan juga nada suara yang tidak sedikitpun terdengar adanya keraguan di dalamnya, ibu Nur tidak lagi merasa ragu akan rasa cinta yang putranya miliki teruntuk gadis belia yang mungkin saja masih belum tidur di kamarnya sana.
"Ibu nggak merestui niatku itu?" tanya Armand saat melihat ibunya hanya terdiam sambil memandanginya.
Ibu Nur menggeleng. "Bukannya ibu nggak setuju. Hanya saja, ibu memikirkan kondisi mentalnya Nissa nanti setelah kalian menikah. Omongan para tetangga, khususnya perempuan-perempuan yang hatinya dipenuhi dengan iri dan dengki itu, mereka pasti akan semakin menggunjingnya. Kasian dia, bisa stress kalau terus menerus diomongin sama mereka?"
"Untuk masalah itu, ibu tenang saja." Armand tampak bersemangat saat menimpali perkataan ibunya. "Aku udah memikirkan solusi terbaik untuk semua itu."
"Solusi seperti apa maksudmu, Man?" kening wanita paruh baya itu berkerut. Pancaran di kedua bola matanya dipenuhi dengan rasa ingin tahu.
"Aku udah beli rumah di kota." Armand tersenyum saat mulai menceritakan apa saja yang sudah ia persiapkan untuk masa depan yang rencananya akan melibatkan Nissa di dalamnya. "Aku akan membawa Nissa ke kota setelah kami menikah nanti. Dia bisa belajar dengan tenang di sana untuk mengikuti ujian paket C."
"Trus, kamu mau menikahinya secara siri gitu?" terdengar adanya ketidaksetujuan dalam nada suara ibu Nur saat menanyakan hal itu.
Kembali Armand menggeleng. "Aku akan menikahinya secara resmi, Bu." jawabanya tenang.
"Gimana caranya coba?" ibu Nur benar-benar bingung. Sikap tenang anaknya malah membuatnya merasa takut. "Nissa masih di bawah umur loh, Man. Bisa-bisa kamu berurusan dengan hukum nanti kalau masalah ini nggak ditangani dengan benar."
"Ibu tenang saja. Aku sudah memikirkan semuanya dengan baik." ujar Armand sambil menggenggam tangan ibunya yang berada di atas meja. Saat melihat kekhawatiran serta rasa takut masih menaungi dari tatapan mata ibunya, Armand pun menjelaskan, "Aku sudah membicarakan masalah ini dengan pengacaraku tadi. Dari mulai mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama sampai tetek bengek lainnya, dia yang akan membantu menyelesaikannya."
"Prosesnya pasti lama dan ribet." kata ibu Nur ragu. "Belum lagi si Herman dan Heri, mereka pasti bakalan bikin masalah dan bikin pusing nanti.
"Biarkan aku yang mengurus semua itu, Bu. Jika harus mengeluarkan uang demi memperlancar semuanya, berapa pun itu, aku nggak masalah. Asalkan aku bisa menjadikan Nissa sebagai istriku, akan 'ku sumpal mulut mereka dengan uang. Lagi pula, mau nggak mau, aku harus melibatkan mereka demi memuluskan niatku ini."
Keseriusan serta keteguhan tak tergoyahkan dalam nada suara putranya pada akhirnya membuat ibu Nur tak bisa lagi berkata apa-apa.
Jika tekad dan juga keteguhan hati putranya sudah tidak lagi bisa digoyahkan, maka ibu Nur akan merestui setiap langkah yang anaknya itu ambil.
****
Jauh dari pedesaan dimana Armand telah berbicara dari hati ke hati dengan ibunya, di dalam sebuah ruangan luas yang hanya mengandalkan cahaya yang masuk melalui jendela, tampak seorang pria paruh baya sedang duduk di balik semua meja.
Ruang kerja yang terasa sepi dan sunyi itu malah membuat pria paruh baya itu merasa tenang saat berada di dalamnya.
Pria paruh baya yang duduk di kursi kebesarannya itu tampak masih sangat gagah. Kedua bahunya yang tegap meski rambut telah hampir sepenuhnya memutih, ditambah kaca mata yang membingkai kedua matanya semakin menambah daya tarik serta pesona yang ada pada dirinya.
Namun, di balik bingkai kaca mata yang menutupi matanya, tampak jelas ada kesedihan di dalamnya. Dan kesedihan tersebut tampak dengan jelas saat pria paruh baya tersebut menatap pria muda yang berdiri di seberang meja kerjanya.
"Bagaimana kabar anak itu sekarang, Ram? Sudah cukup lama kau tidak memberikan kabar apapun mengenai anak itu kepada saya?"
Pria muda yang berdiri dengan tegak itu mencoba membalas tatapan pria paruh baya yang merupakan atasannya itu.
Menyadari adanya kesedihan dalam nada pria yang sudah begitu banyak berjasa dalam hidupnya itu, pria muda yang berdiri di seberang meja langsung menjawab, "Maafkan atas keterlambatan saya memberikan informasi, Pak. Semua itu dikarenakan saya tidak bisa terlalu sering mengirimkan orang ke sana untuk memantau anak itu."
"Kenapa bisa begitu?"
"Hampir seluruh desa itu berada dalam kuasa tuan Armand Rizaldi. Dari luar dia memang terlihat santai, tapi sesungguhnya dia menempatkan beberapa orang untuk berjaga-jaga di setiap sudut perbatasan. Salah seorang anak buah saya hampir saja ketahuan saat datang ke sana. Untungnya dia masih bisa meloloskan diri."
Armand Rizaldi!
Pria paruh baya itu menyebutkan nama tersebut dalam hati.
Tiap helaan napas yang diambilnya terdengar berat kala mengingat satu sosok yang tak hanya dikenalnya tapi juga pernah bercakap-cakap dengannya.
"Lalu, apakah sekarang kau sudah mempunyai informasi terbaru mengenai anak itu?" cepat pria paruh itu bertanya. Ia sangat mengenal kebiasaan bawahannya ini. Jika tak ada yang perlu disampaikan, maka bawahannya itu tidak akan mau datang menemuinya di rumah ini.
Benar saja, pria muda yang tampak santai dengan hanya memakai kaos yang dilapisi dengan jaket serta celana jeans sebagai bawahannya itu mengangguk. "Saya baru saja mendapatkan informasi terbaru dari anak buah saya. Tapi saya tidak tahu bagaimana cara menyampaikan informasi ini kepada bapak."
Kedua mata pria paruh baya itu memincing. Keraguan bawahannya itu entah mengapa malah membuat jantungnya berdetak tak karuan, seolah-olah ia akan mendengar kabar buruk sebentar lagi.
"Cerita saja semuanya. Jangan sampai ada yang kau tutup-tutupi." perintah pria paruh baya itu seraya mengendalikan debar jantungnya yang tak mengenakan.
"Kemarin siang, ada sedikit keributan di rumah ibunya tuan Armand. Kedua paman dari anak itu memaksa ingin membawa anak itu pergi dari sana. Entah apa alasannya, mereka yang awalnya menolak, hari itu malah berubah sikap. Dengan mengatasnamakan tanggung jawab sebagai paman, mereka hampir saja berhasil membawa anak itu pergi."
"Lalu?"
"Untungnya tuan Armand datang tepat waktu. Dan dia mengatakan... "
"Apa yang dia katakan?"
"Kalau dia adalah calon suami dari anak itu."
DUARRR...
Bagai mendengar suara guntur yang mengelegar tepat di dekat telinga, pria paruh baya itu terperanjat. Tubuhnya menjadi kaku, kedua matanya membeliak terkejut, sedangkan napasnya terhenti sejenak.
Untuk beberapa menit lamanya pria paruh baya itu seakan tak sanggup lagi untuk mengatakan apapun. Informasi yang baru saja didengarnya benar-benar membuatnya terkejut sampai bahkan tak mampu bergerak sedikitpun.
Tetapi, rupanya informasi yang mengejutkan itu masih lah belum cukup. Karena seakan tak memberikannya waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu, bawahannya malah kembali menyampaikan informasi mengejutkan lainnya.
"Dan tadi pagi, saya mendapat informasi terbaru lagi. Orang yang saya suruh itu mengatakan bahwa tuan Armand sudah menghubungi pengacaranya untuk mengurus segala keperluan yang ada. Dia meminta pengacaranya menyiapkan semua berkas yang diperlukan untuk mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama."
Pria paruh baya itu sekarang semakin sulit bernapas. Di sini ia menanggung rindu yang begitu menyiksa, tapi di sana malah sedang mempersiapkan pernikahan.
Rasanya ingin mengamuk. Namun pria paruh baya itu menyadari jika dirinya tidak punya hak untuk melakukan itu.
"Kesempatanku untuk memeluk dan mengakuinya tidak ada 'kan, Ram?" tanyanya lirih. Sepasang kelopak matanya berair serta senyum ironi terbentuk di bibirnya.
Yang ditanya sudah tentu tidak bisa memberikan jawaban apapun. Kejujuran yang sudah sampai di ujung lidah terpaksa ditahannya karena tidak tega melihat atasannya semakin terpuruk.
Kini yang bisa dilakukannya hanyalah setia menemani sang atasan di dalam ruangan luas dan kedap suara tersebut.