Rinjani hanya ingin hidup tenang.
Tapi semua hancur saat ia terbangun di kamar hotel bersama pria asing. Dan beberapa jam kemudian mendapati kedua orang tuanya meninggal mendadak.
Dipaksa menikah demi melunasi utang, ia pingsan di hari pernikahan dan dinyatakan hamil. Suaminya murka, tantenya berkhianat, dan satu-satunya yang diam-diam terhubung dengannya ... adalah pria dari malam kelam itu.
Langit, pria yang tidak pernah bisa mengingat wajah perempuan di malam itu, justru makin terseret masuk ke dalam hidup Rinjani. Mereka bertemu lagi dalam keadaan tidak terduga, namun cinta perlahan tumbuh di antara luka dan rahasia.
Ketika kebenaran akhirnya terungkap, bahwa bayi dalam kandungan Rinjani adalah darah daging Langit, semuanya berubah. Tapi apakah cinta cukup untuk menyatukan dua hati yang telah hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Keke Utami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Langit ingin semuanya membaik
“Kamu nggak tidur?”
Suara seseorang yang baru masuk membuat Rinjani menoleh. Dokter Cinta, ia mendekat, mengambil duduk di kursi sebelah brangkar.
“Saya diminta Langit jagain kamu. Dia pulang dan mungkin nggak balik lagi. Mungkin besok baru ke sini.”
Rinjani menghela napas, mengangguk kecil, “Makasih, Dok,” ujarnya.
“Istirahatlah,” pinta Cinta.
Rinjani memejamkan mata, berusaha menanggalkan segela perasaan yang menggangu suasana hati dan pikiran. Berusaha melihat realita di depan sana, dan menerima semua kemustahilan yang sedang ia andai-andaikan sejak Langit berlalu.
“Kamu mikirin Langit, ya?”
Suara Cinta kembali membuat mata Rinjani terbuka. Ia menoleh. Mengangguk kecil.
“Kadang dalam hidup ini … sesuatu yang tampak mustahil bagi kita, tapi tidak bagi takdir,” ucap Cinta, ia tersenyum tipis, tatapannya seolah sedang kembali ke masa lalu.
“Dokter pernah di posisi saya?” tanya Rinjani.
Cinta mengangguk, “Orang tua saya meninggal, saya tinggal bersama ibu tiri yang ingin menjodohkan saya dengan orang yang tidak saya cintai. Lalu, saat saya kabur saya diganggu oleh preman dan diselamatkan oleh seorang pemuda. Dia membantu saya mencari tempat tinggal, tapi kami malah di fitnah hanya karena seekor tikus,” Cinta tertawa kecil.
“Kami menikah. Diam-diam. Nggak ada seorang pun yang tahu. Sampai akhirnya semua terbongkar. Saya pikir … saya akan ditinggalkan, dibuang, tapi takdir berkata lain.” Cinta menyusut sudut matanya.
Rinjani tersenyum kecil, perempuan di depannya sangat beruntung sekali.
“Pasti dokter dan suami hidup bahagia setelah itu … kalian sudah punya anak berapa?”
Cinta mengangguk, “Dua. Laki-laki.”
“Dokter nemenin saya di sini … apa beliau nggak marah?”
Cinta terdiam. Menggeleng. Senyum tipis, “Dia sudah tiada.”
Rinjani syok dan merasa bersalah, “Maaf … saya nggak bermaksud untuk–”
“Its okay …” sela Cinta santai.
Keduanya lanjut menghabiskan malam hingga larut untuk bertukar cerita satu sama lain.
***
Di rumah sakit yang berbeda, Darren membuka mata, kepalanya mendadak pening saat cahaya masuk ke retina. Matanya kembali memicing. Kemudian kembali terbuka untuk kembali menyesuaikan cahaya yang akan ia terima. Setelah Darren merasa matanya siap, ia menatap sekitar yang sepi. Tidak ada siapa pun di ruangan itu kecuali dirinya dan bunyi ‘Bib … bib … bib …’ dari layar EKG.
Darren menghela napas, tangannya terulur menyentuh tombol darurat. Tidak lama dokter dan perawat masuk ke ruangan.
“Apa kepala Anda terasa pusing?”
“Sedikit,” jawab Darren.
Perawat menyuntikkan obat pada selang infus. Kemudian meminta Darren untuk istirahat.
“Kapan saya bisa pergi dari sini?”
“Seminggu lagi, semoga saja dalam waktu satu minggu kondisi Anda membaik.”
“Apa tidak bisa besok pagi?” tanya Darren.
Perawat menggeleng, melirik catatan kesehatan pada kertas yang ia genggam, “Tidak bisa, Pak. Kondisi Anda masih dalam pantauan. Pukulan berulang dan keras membuat kondisi Anda sangat serius.”
Darren hanya diam, kemudian mengangguk singkat. Ia teringat ponselnya.
“Ponsel saya.”
“Ada. Sebentar saya ambilkan.”
Perawat berlalu meninggalkan Darren yang menunggu. Tidak lama perawat datang membawakan ponsel Darren.
Setelah perawat meninggalkannya, Darren menghubungi Alex. Panggilan masuk tapi tidak diangkat.
“Apa kondisi Alex juga bruk?” gumamnya samar.
Darren menggigit bibir, ia teringat dengan Rinjani, “Apa Rinjani juga dirawat di sini?”
Tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaannya. Darren memilih kembali memejamkan mata. Kepalanya masih pusing. Sedangkan ia ingin keluar dari rumah sakit itu lebih cepat dari prediksi mereka.
**************
Pagi menjelang, Langit yang memang tidak sepenuhnya tidur segera bangkit meninggalkan tempat tidur. Segera berkemas dengan rapi dan turun saat semua orang belum duduk di meja makan.
“Mama!! Papa!!” teriakan dari lantai satu membuat Langit menoleh. Langkahnya terhenti saat melihat siapa yang baru saja datang dengan koper dan 3 orang anak.
“Langit, bantuin dong. Kok kamu malah diam aja?”
Langit mendekati Starla– kakaknya. Membantu membawa koper.
“Mama sama Papa mana?” tanya Starla.
“Masih di kamar.”
“Kamu pagi-pagi udah rapi mau ke mana?” tanya Starla lagi.
Belum sempat Langit menjawab pertanyaan Starla, elevator lantai 3 terbuka. Memperlihatkan Olivia yang akan bersiap untuk membuat sarapan.
“Mama!” Starla mendekat, memeluknya. Namun tatapan Olivia tetap tajam pada Langit yang sudah direcoki oleh dua keponakan kembarnya.
“Kalian nggak bilang pulang ke Indonesia,” ujar Olivia.
“Surprise … kan Langit sama Nafa mau tunangan. Jadi, aku nggak balik ke Belanda sampai mereka akad 3 bulan lagi,” ujar Starla. Suaminya datang dengan koper, mereka sekeluarga diminta oleh Olivia untuk istirahat ke kamar. Karena memang lelah, Starla dan keluarganya memilih berlalu. Menyisakan Langit yang sudah ditinggalkan oleh keponakan kembarnya.
Olivia berlalu ke dapur tanpa menyapa putranya itu. Langit menyusul. Memeluk Olivia dari belakang namun justru tangannya ditepis.
“Ma …”
Olivia menatapnya dengan tajam.
“Aku minta maaf …”
Olivia melanjukan pekerjaan bersama Ami. Tanpa menghiraukan Langit.
“Aku pergi dulu, Ma.”
Langit berlalu tanpa Olivia cegah. Olivia memilih meninggalkan dapur saat anaknya justru tidak mendengarkannya.
*
Di luar masih cukup gelap, namun mobil Langit sudah berpacu bersama pengendara lain, saling kejar, mereka memiliki tujuan masing-masing. Langit sampai di rumah sakit tempat Rinjani dirawat. Ia segera menuju ruang rawat karena Rinjani sudah dipindahkan dari ruang observasi.
“Hai,” sapa Langit saat membuka pintu. Rinjani menoleh, ia tidak sendirian, ada Cinta dan Sulis yang baru datang sejak Olivia memecatnya semalam.
Cinta izin keluar, bersama Sulis yang juga beralasan ingin ke kantin untuk sarapan. Menyisakan Langit dan Rinjani yang terjebak canggung di ruangan itu.
“Maaf semalam Mas nggak balik lagi ke sini.”
Rinjani mengangguk ringan, “Bu Olivia pasti marah,” ujar Rinjani. Ia sudah mendapatkan kabar ini dari Sulis, termasuk pemecatannya.
“Mama pasti mengerti nanti. Untuk sekarang biarin Mama tenang dulu.”
Langit menarik kursi, ia menilik nampan milik Rinjani yang masih utuh.
“Nggak dimakan?” tanya Langit.
“Belum,” jawab Rinjani.
Langit mengambil nampan itu, membuka tutup setiap makanan yang ada di atasnya. Ia mulai mengaduk bubur dengan sendok, mengarahkan ke mulut Rinjani.
“Haaa … buka mulutnya.”
Rinjani menerima suapan demi suapan.
“Pintar. Biar kamu cepat keluar dari sini. Dan kita bisa menikah.”
Detik itu juga Rinjani terbatuk. Matanya merah dan berair. Tenggorokan terasa geli. Namun dadanya berdebar saat Langit memberinya minum dan mengusap tengkuknya secara perlahan.
Lanjut" Thor🔥