Bayinya tak selamat, suaminya berkhianat, dan ia bahkan diusir serta dikirim ke rumah sakit jiwa oleh Ibu mertuanya.
Namun, takdir membawa Sahira ke jalan yang tak terduga. Ia menjadi ibu susu untuk bayi seorang Mafia berhati dingin. Di sana, ia bertemu Zandereo, bos Mafia beristri, yang mulai tertarik kepadanya.
Di tengah dendam yang membara, mampukah Sahira bangkit dan membalas rasa sakitnya? Atau akankah ia terjebak dalam pesona pria yang seharusnya tak ia cintai?
Ikuti kisahnya...
update tiap hari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 #Ada Aku Di Sini
Siang itu, cuaca sedang tak bersahabat. Hujan yang turun sejak lima hari lalu setelah merayakan syukuran, belum juga mereda. Sesekali petir menggelegar dahsyat memecah kesunyian hingga dua tangis bayi menggema di kediaman Raymond.
Baby Zee tak bisa tenang meskipun Mauren sudah berusaha menghiburnya. Sementara Tuan Daren dan Raymond, tengah sibuk memerintahkan anak buah mereka membersihkan selokan agar air hujan tak meluap ke halaman. Daren tak mau genangan hujan menjadi sarang nyamuk. Hal itu bisa membahayakan keselamatan cucunya.
“Chia, coba kau gendong anakmu dulu.” Mauren menyerahkan cucunya pada Balchia, tapi tangisan baby Zee malah semakin menjadi-jadi.
Di ranjang, tampak Zander tidur dengan posisi tengkurap sambil menutup telinganya. “Ma, suruh bayi itu diam!” ujar Zander, merasakan telinganya ingin pecah.
“Bagaimana mau diam? Di luar kan lagi hujan, Zan. Coba kau gendong anakmu ini,” ucap Mauren ingin Zander menenangkan cucunya.
“Mungkin dia lapar, kasih saja susu! Tuh suruh dia yang kasih makan.” Zander menunjuk Balchia yang berdiri di sebelah kiri Mauren. Sementara dirinya, masih terbungkus oleh selimut.
“Chia, bagaimana? Asimu sudah keluar?”
Balchia menelan ludah, dan kemudian menggeleng ke kiri kanan. “Dokter sudah membantuku, tapi aku belum bisa mengeluarkan asi, Ma.”
Tiba-tiba sebelah kaki mungil beby Zee menendang pipi Balchia. Mauren cukup terkejut, sedangkan Balchia mulai kesal.
“Ck, dasar bayi tak tahu diuntung. Urus saja dirimu sendiri!” sungut Balchia pergi dari kamar Baby Zee. Sikapnya tak menunjukkan seorang Ibu.
Zander beranjak, ingin juga keluar tapi Mauren tak memberinya jalan. “Ma, dia terlalu berisik, aku bisa gila,” kata Zander tahu maksud Ibunya.
“Zan, sejak kedatangan dia ke rumah ini, Mama belum pernah melihat kau menggendong atau menyentuh anakmu. Kasian cucu Mama, dia lagi membutuhkan kasih sayang orang tuanya,” tutur Mauren dengan sendu.
“Apa kau tak tega pada bayi menggemaskan ini, Nak? Lihat baik-baik, dia mirip sekali denganmu.”
Melihat Mauren yang begitu sayang ke cucunya, mau tak mau, Zander mengulurkan tangannya.
“Sini aku coba gendong dia.”
Senyum sumringah terpacar di wajahnya. Mauren meletakkan dengan hati-hati cucunya ke tangan Zander. “Gendong baik-baik, jangan sampai jatuh.”
Zander mengangguk dan mulai menimang beby Zee. Merasakan tangan besar Ayahnya yang besar dan hangat, tangis bayi mungil itu mulai berangsur-angsur mereda bahkan berkat Zander, ia berhasil membuatnya terlelap.
Mauren terharu melihat cucunya akhirnya tenang. “Mama benar, kan? Baby Zee pasti bisa tenang di tangan Ayahnya.” Hal itu membuktikan Zander memang Ayah biologis bayi menggemaskan itu.
Zander mengangguk dan tanpa sadar tersenyum.
“Tubuhnya ringan sekali. Lebih ringan dari boneka, Ma,” tawa Zander membuat Mauren tersenyum.
Tiba-tiba saja, pembantu datang dengan raut wajah panik. “Nyonya, Tuan, gawat!”
“Ada apa?” tanya Mauren dan Zander serempak.
Apa Daren jatuh ke selokan? Atau Raymond yang mulai kambuh di luar sana? Itulah tebakan mereka dalam benaknya. Tapi tak ada yang tepat sasaran.
“Mbak Sahira sakit, Nyonya, Tuan.”
“Sakit?”
Khawatir, Zander segera keluar menuju ke kamar Sahira, diikuti Mauren yang menggendong cucunya lagi. Gara-gara cuaca yang buruk, Sahira terserang demam tinggi.
Tiba di pintu kamar, Zander membeku melihat Sahira menggigil kedinginan di samping bayinya yang menjerit kelaparan.
“Ma, cepat panggilkan Dokter!” titah Zander lalu duduk di tepi ranjang. Dengan cemas, menyelimuti tubuh Sahira menggunakan selimut. Menutupi dari ujung kaki hingga ke atas dada.
Mauren menyuruh para pembantu menghubungi Dokter dan meminta pembantu membuat bubur untuk Sahira segera mungkin. Serta membuatkan susu formula untuk baby Zaena.
“Mama, ada apa ini? Apa yang terjadi?” tanya Daren datang lalu tersentak melihat kondisi Sahira.
Tuan Raymond yang ikut masuk ke kamar Sahira, ia juga terkejut, tapi bukan karena Sahira yang sakit tapi perhatian Zander pada wanita cantik itu.
“Hai, kau! Kenapa semuanya masuk ke kamar Sahira? Apa yang terjadi di sana?” tanya Balchia memanggil seorang pembantu.
“Mbak Sahira demam, Nyonya.”
“Demam?” batin Balchia sedikit terkejut. Tapi senyum jahat terlihat juga dibibirnya. “Bagus deh kalau dia sakit, semoga saja dia cepat mati.”
Pembantu itu tersentak diam mendengar harapan Balchia yang menginginkan kematian Sahira bukan malah mendoakan kesembuhan Ibu Susu anaknya.
Namun, Zander tak akan biarkan hal itu terjadi karena kini ia sendiri yang menjaga, merawat dan menenangkan baby Zaena dengan menimangnya seperti baby Zee. Sekali-kali, Daren ikut membantu Sahira karena tak mau sumber nutrsi cucunya sakit berlama-lama.
“Oh sayang, lihat deh anaknya ini agak mirip cucu kita, kan?” Tunjuk Daren ke wajah mungil baby Zaena yang sedang ditidurkan Mauren di ayunan beby Zee.
“Dari kemarin Mama juga kepikiran begitu, Pa,” ucap Mauren melirik baby Zee di tangan suaminya.
“Kasihan sekali, bayinya masih kecil, masih butuh sosok Ayah di sampingnya. Tapi suaminya tega menceraikan Sahira. Tega membuang anaknya sendiri. Suami kayak gitu seharusnya dibuang ke dasar laut saja,” gerutu Mauren mengepal tangan.
“Sabar, Ma. Sabar.”
.
.
Tiga hari telah berlalu, Sahira masih sakit tapi badannya sudah tak sepanas kemarin. Namun begitu, ia belum sadar sepenuhnya. Sahira sering mengigau menyebut Ayahnya dan bahkan mengira orang yang sedang menyuapinya sekarang adalah Ayahnya. Padahal itu adalah Zander.
“Ayah… Sahira… capek…” Isak Sahira tertunduk, air matanya berderai membasahi pipi.
Melihat Sahira begitu lemah dan rapuh, Zander merasa iba. Ia gapai telapak tangan Sahira, lalu berkata, “Tak apa-apa Sahira, kau pasti bisa cepat sembuh. Kau perempuan yang kuat. Aku tahu kau bukan perempuan yang pantang menyerah,” hibur Zander tersenyum. Sahira menatapnya dan mulai tersenyum.
“Ayah benar, aku kuat, aku pasti bisa melewati semua ini sendirian.”
“Tidak, Sahira. Kau tidak sendirian, ada aku di sini,” ucap Zander mengusap lembut pipi Sahira. Sontak, Sahira memeluknya membuat Zander hampir jatuh ke belakang.
“Terima kasih, Ayah. Aku senang Ayah ada di sini.” Kemudian, Sahira memejamkan mata, terlelap dalam dekapan Zander. Zander pun membaringkan tubuh Sahira dengan hati-hati. Lalu memegang dadanya yang berdegup kencang. Zander senang, namun rasa itu seketika hilang saat Sahira mengigau menyebut seseorang, tapi bukan lagi Ayahnya, melainkan nama pria lain.
“Rames...”
Bagai sembilu yang mengiris ulu hati. Zander yang senantiasa merawat Sahira, namun wanita itu justru memimpikan pria lain.
“Apa kau begitu mencintai pria brengsek itu, Hira?" gumam Zander menggenggam tangan Sahira. Di luar kamar, Balchia mengigit bibir bawahnya. Ia sungguh kesal dan bingung mengapa Zander begitu peduli kepada Sahira. Ia sudah berusaha mengambil hati Zander, tapi pria itu tak mudah ditaklukkan. Walau pernikahannya dengan Zander hanyalah pernikahan bisnis keluarga, tapi Balchia juga mencintai Zander.
“Zan, aku harus bagaimana agar kau mencintaiku juga?”
percays sama jalang, yg akhir hiduo ny tragis, itu karma. ngejahati sahira, tapi di jahati teman sendiri. 😀😀😀