Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17
Mobil sedan hitam itu melaju perlahan di bawah langit sore yang mulai beranjak senja. Di dalamnya, keheningan sempat menguasai sebelum suara berat dan tenang milik Tuan Rais Danuarta memecah suasana.
“Livia, mulai besok kamu yang pimpin RD Grup lagi ya. Kakek mau istirahat, sudah waktunya mundur pelan-pelan,” ucapnya tanpa menoleh, tapi nada bicaranya penuh makna.
Livia diam. Ia menelan ludah perlahan. Suara itu bukan sekadar titah, tapi amanah besar yang tak mungkin ditolak. Tangannya meremas jemarinya sendiri, mencoba menyerap kekuatan dari dalam diri yang belum sepenuhnya siap.
Lintang yang duduk di kursi belakang, diam-diam mencuri pandang ke arah wajah Livia melalui pantulan kaca. Dadanya sesak, tapi wajahnya tetap datar.
Tak ada satu pun yang tahu kalau hatinya seperti diremas. Ia tidak suka keputusan itu, namun ia tak kuasa berkata tidak. Ia bukan siapa-siapa di hadapan lelaki tua yang penuh kharisma itu.
“Livia yang paling cocok, toh? Sudah waktunya anak muda naik panggung,” imbuh Tuan Rais dengan senyum kecil yang hampir tak terlihat.
Livia hanya mengangguk pelan. “Baik, Kek,” katanya singkat, meski di dalam benaknya suara-suara keraguan mulai ribut sendiri.
Lintang menunduk, pura-pura sibuk membenarkan dasinya yang tak kusut. Dalam hati ia berseru lirih, kenapa harus dia lagi?
Namun, seperti biasa, perasaan itu hanya ditelan dan dikubur dalam diam.
Mobil masih melaju, tapi dada Lintang terasa lebih gaduh dari deru mesin. Matanya menatap kosong ke luar jendela, seolah mencari jawaban di balik pepohonan yang berlarian mundur. Tapi, tak ada yang mampu menjawab satu pertanyaan yang sejak tadi berkecamuk dalam benaknya.
Kenapa selalu Kak Livia?
Ia menunduk, bibirnya mengatup rapat, menahan kata-kata yang rasanya ingin tumpah. Tapi seperti biasa, semua hanya mengendap. Diam adalah satu-satunya bahasa yang ia kuasai sejak kecil ketika merasa tak dianggap.
“Padahal aku juga belajar, kerja keras, ikut bantu perusahaan, tapi tetap aja yang dilihat cuma dia,” lirihnya dalam hati.
Tuan Rais tak pernah marah padanya, tapi juga tak pernah benar-benar menaruh harap. Seolah Lintang cuma pelengkap, bukan penerus. Tak seperti Livia, si sulung kebanggaan keluarga, yang sejak dulu sudah dianggap pewaris takhta RD Grup.
Lintang tahu Livia cerdas, tenang, penuh wibawa. Tapi apakah karena itu ia harus terus berada di belakang, sekadar bayangan?
“Kakek nggak pernah lihat aku ya?” bisiknya dalam hati, perih.
Senyumnya tetap ia pasang, sopan, seperti biasa. Tapi siapa yang tahu di balik senyum itu ada anak laki-laki yang hanya ingin sekali saja dipanggil dengan nada bangga. Sekali saja diberi peran utama, bukan figuran.
Dan hari itu, untuk kesekian kali, ia hanya bisa menelan kenyataan dalam diam yang panjang.
Setelah beberapa saat terdiam, Livia akhirnya membuka suara. Pelan, tapi penuh tekanan dalam dadanya yang sulit dijelaskan.
“Semoga... aku nggak bikin kakek kecewa,” katanya lirih, nyaris berbisik, tapi cukup terdengar oleh dua orang yang bersamanya di mobil itu.
Tuan Besar Rais Danuarta menoleh sekilas, bibirnya membentuk senyum tipis. “Kakek yakin kamu bisa,” katanya mantap, lalu menambahkan dengan nada lebih serius, “Mulai besok, Ganendra akan jadi asisten pribadi kamu. Sekalian body guard juga.”
Livia menoleh cepat, sedikit terkejut. “Ganendra?” ulangnya tak percaya.
Tuan Rais mengangguk, matanya menatap lurus ke depan. “Dia jago karate, muaythai juga. Badannya udah cukup kuat buat jagain kamu. Lagian sekarang dia mulai kuliah, sekalian aja disiapin dari sekarang.”
Lintang mencibir dalam hati, nyaris tak tahan untuk tidak mengeluarkan suara. Ganendra lagi sekarang dia juga dikasih posisi? Berarti dia akan dekat dan bertemu setiap saat dengan kak Livia.
Livia menghela napas pelan, mencoba mencerna semua yang datang bertubi-tubi hari ini. Ia tahu, tanggung jawab besar bukan cuma soal jabatan, tapi juga segala mata yang akan memandangnya termasuk mata adiknya sendiri yang sedari tadi tak pernah benar-benar menatapnya.
“Baik, Kek. Kalau itu memang keputusan kakek,” imbuh Livia akhirnya.
Sementara Lintang menatap keluar jendela, menyembunyikan sorot mata yang mulai redup. Diam-diam ia menyimpan satu harapan kecil semoga suatu hari nanti, kakek melihatnya bukan hanya sebagai Lintang, tapi sebagai seseorang yang juga pantas dibanggakan.
Perjalanan pulang dari bandara hampir tanpa suara. Hanya gemuruh jalanan dan bisik radio mobil yang menemani. Udara di dalam kabin terasa teduh, tapi ada yang menggantung di tengah-tengah. Sebuah rasa yang tak terucap.
Livia sibuk membalas pesan di ponselnya, sementara Lintang bersandar santai di kursi penumpang, menatap ke luar jendela, sesekali melirik ke arah depan.
Ganendra duduk di balik kemudi, tenang dan fokus, namun sesekali matanya melirik ke spion tengah, mengawasi dua kakak-beradik di belakangnya.
Tiba-tiba Lintang bersuara, nada bicaranya terdengar ringan seolah-olah hanya obrolan iseng biasa.
“Enak dong Kak… jadi CEO, terus ditemani pria muda dan ganteng kayak Mas Ganendra,” katanya sambil tersenyum, setengah tertawa kecil. “Komplit sudah hidupmu,” imbuhnya dengan nada jenaka.
Livia mengangkat wajahnya sebentar, lalu mendesah pendek. “Ih, apaan sih, Lang…” katanya sambil menggeleng pelan, mengira adiknya sekadar bercanda.
Namun Ganendra yang mendengar dari kursi depan, hanya menarik napas pelan. Matanya menatap lurus ke jalan, tapi ekspresinya berubah sedikit cukup untuk menyadari bahwa kalimat Lintang barusan bukan sekadar candaan polos.
Sorot matanya bertemu dengan bayangan Lintang di spion tengah. Tak ada kata, hanya sepasang pandang yang saling mengerti bahwa apa yang terselip di antara tawa itu bukan sekadar gurauan kosong.
Lintang tersenyum tipis, memiringkan kepala ke sisi jendela. Dalam hati ia bergumam, Kamu paham kan, Mas? Tapi tenang aja, cuma kita berdua yang tahu maksudnya.
Dan Ganendra, yang selama ini terbiasa membaca gerak tubuh dan bahasa diam orang-orang, tahu betul kalimat Lintang barusan bukan untuk ditanggapi, tapi untuk diingat.
Mobil melaju tenang di jalan protokol, suasana di dalam kabin masih senyap sejak dari bandara. Livia duduk tenang di sebelah kanan, sesekali mengecek pesan masuk di ponselnya.
Lintang di sisi lain tampak santai, tapi matanya menyimpan gerak yang tak bisa ditebak. Di kursi depan, Ganendra fokus mengemudi, diam seperti biasanya. Tuan Besar Rais Danuarta duduk di samping Ganendra, bersedekap, matanya menatap lurus ke depan.
Lalu tiba-tiba, Lintang membuka suara. Nada bicaranya dibuat seolah bercanda, meski setiap katanya punya arah yang jelas.
“Enak dong Kak jadi CEO, terus ditemani pria muda dan ganteng kayak Mas Ganendra,” ujarnya sambil terkekeh pelan, seolah-olah hanya iseng mengusik.
Livia menoleh cepat. “Apaan sih kamu,” ucapnya dengan tawa hambar.
Tak ada yang benar-benar menanggapi serius, kecuali satu orang.
Ganendra, yang duduk di balik kemudi, hanya menarik napas tipis. Matanya tetap mengarah ke depan, tapi rahangnya sedikit menegang. Ia tak menjawab, tak menoleh, tapi cukup cerdas untuk memahami bahwa kalimat itu lebih dari sekadar lelucon kakak-adik.
Dan di kursi depan, tanpa suara, Tuan Rais Danuarta hanya melirik sekilas ke arah Lintang sejenak saja. Tatapannya cepat, singkat, tapi membuat Lintang terdiam sepersekian detik. Seolah dari lirikan itu saja, ia tahu kakek paham atau setidaknya menangkap ada nada tak beres dalam ucapan tadi.
Tapi seperti biasa, kakek tak berkomentar. Ia hanya kembali menatap lurus ke depan, seakan menyimpan semuanya dalam lemari rahasia pikirannya sendiri.
Lintang tersenyum kecil, tapi tawanya sudah tidak sebening tadi. Dalam hati ia berkata lirih, melirik pun cukup itu artinya, aku tetap bukan cucu yang benar-benar bisa bicara bebas.
Dan Ganendra, yang menyetir tanpa sepatah kata, hanya menahan satu helaan napas panjang yang tak jadi dilepaskan.