Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Fakta Kedua
“Jangan panggil namaku sebelum kamu jawab satu pertanyaan,” potong Noah tajam. “Kenapa kamu menemui Jimmy diam-diam? Dan uang itu, untuk apa? Apa uang yang aku berikan nggak cukup untukmu?”
Ivy menatapnya tajam, dengan mata yang sudah terlalu lelah untuk menangis lagi. “Karena kamu bukan suamiku. Kamu hanya penyewa. Dan aku tidak berutang penjelasan apa pun padamu!”
Kalimat itu menghantam dada Noah seperti palu godam. Akan tetapi, Ivy belum selesai.
“Kamu mencurigai aku berselingkuh, memperkosaku secara emosional, dan sekarang kamu datang ke sini seperti pahlawan yang dikhianati?”
Noah menatap Ivy lama. Napasnya berat. Namun, dia mencoba menahan ledakan yang hampir pecah dalam dirinya.
“Kalau begitu ... kenapa kamu menangis saat mengambil uang dari Jimmy? Apa itu juga bagian dari drama?”
Tamparan Ivy mendarat di pipi Noah dengan suara nyaring. Jimmy bergerak refleks, tetapi Ivy menahan tangannya.
“Aku nggak terima kamu menghinaku kayak gini, No!” teriak Ivy.
"Berapa yang Jimmy berikan kepadamu? Aku akan memberikannya tiga kali lipat dari yang dia berikan!" seru Noah sambil menarik kertas cek dari saku kemejanya.
Ivy bergeming. Hanya ada tatapan tajam yang dia berikan kepada sang suami. Matanya masih berkaca-kaca dengan bibir terkunci rapat.
"KATAKAN BERAPA YANG KAMU MAU!" seru Noah sambil melemparkan kertas cek ke arah Ivy.
Rahang Ivy langsung mengeras. Dia mengemasi barang dan keluar dari kamar hotel tersebut. Jimmy hendak mengikuti Ivy, tetapi ditahan oleh Noah.
"Sebenarnya apa yang kalian lakukan di belakangku?" Suara Noah terdengar begitu dingin, tetapi penuh ketegasan.
"Bukan urusanmu, No. Kamu tidak akan pernah bisa memahami Ivy! Kamu suaminya, tetapi aku lebih mengenalnya jauh lebih baik dari kamu!" Jimmy menarik pergelangan tangannya dari cengkeraman Noah.
Langkahnya cepat ketika mengikuti jejak Ivy. Saat keluar dari hotel, Ivy sudah masuk ke taksi. Jimmy hendak ikut masuk, tetapi ditahan oleh perempuan tersebut.
"Terima kasih bantuanmu, Jimmy. Aku akan mengembalikan semua secepatnya. Jangan katakan kepada siapa pun ke mana aku pergi. Hanya kamu yang bisa aku percaya saat ini."
"Vy, akhiri saja kontrak pernikahanmu dengan Noah. Aku bisa memberikan kehidupan lebih baik dari yang sudah diberikan oleh Noah. Bukan hanya soal materi, tapi segalanya. Aku akan ...." Ucapan Jimmy menggantung di udara.
"Nggak Jimmy, aku nggak bisa berhenti begitu saja. Aku harus menyelesaikan apa yang sudah aku mulai dengan cara sebaik mungkin. Kamu tahu aku." Ivy menghapus air matanya kemudian menaikkan kaca mobil.
Taksi akhirnya melaju menjauhi Jimmy. Tatapannya pilu mengantar kepergian Ivy. Jauh di dalam lobi, Noah menatap mereka sambil mengepalkan tangan.
"Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, Lucas!" seru Noah.
Lucas maju selangkah mendekati sang atasan. Dia menunggu perintah dari Noah dengan jantung berdetak cepat. Noah pun mengucapkan sebuah perintah yang harus segera dilaksanakan olehnya.
"Korek lebih dalam tentang Ivy, termasuk keluarganya. Latar belakang, hingga masa lalunya. Paling lambat satu minggu, aku ingin mendapatkan hasilnya."
"Baik, Pak." Lucas mengangguk patuh kemudian merentangkan tangan sebagai tanda agar Noah berjalan lebih dulu.
Sejak hari itu, Ivy tak pulang ke rumah. ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Noah yang kembali kehilangan jejak Ivy mulai kalang kabut. Ada kekosongan yang kini merongrong hatinya.
Tepat lima hari setelah kebohongan Ivy terungkap, Lucas menemui Noah di ruang kerjanya. Lelaki tersebut membawa beberapa berkas berisi tentang semua tentang Ivy. Semua data sejak Ivy lahir ada di sana.
"Rumah Sakit Lavalette?" Noah mengerutkan dahi.
"Ya, Pak. Dia terlihat sering mengunjungi rumah sakit itu paling tidak sebulan sekali. Bahkan selama tidak pulang, dia ada di sana. Kami kesulitan menembus informasi lebih lanjut karena keamanan sistem administrasi rumah sakit."
"Kalau begitu aku sendiri yang akan datang ke sana." Noah mengucapkan kalimat itu dengan suara datar, tetapi penuh ketegasan.
Dari balik lorong sepi di lantai empat, Noah berdiri diam. Wajahnya tersembunyi di balik masker dan hoodie hitam. Dia memperhatikan Ivy yang duduk di ruang tunggu ICU dengan mata sembab dan tubuh gemetar. Di tangannya, selembar hasil CT-scan masih terlipat. Ada bayangan besar di otak sang ibu. Glioma.
Noah menggenggam kuat ponselnya. Jemarinya nyaris mati rasa saat membaca ulang laporan yang Lucas kirim.
“Tumor otak, Pak. Glioma stadium lanjut. Biaya operasi dan perawatan bisa tembus ratusan juta. Ivy sudah menggadaikan perhiasan, menjual barang bermerk, dan hampir mengosongkan seluruh tabungannya untuk perawatan ibunya selama ini.”
Noah menunduk. Ada luka dalam hatinya, tetapi dia tidak boleh terlihat. Dia memilih jalan sunyi. Membantu Ivy tanpa pernah terlihat.
Dua Hari Kemudian, hari masih begitu pagi, Ivy berlari kecil ke ruang administrasi rumah sakit sambil menggenggam segepok uang tunai. Dia ingin mencicil biaya operasi. Namun, begitu sampai di meja kasir, wajahnya dipenuhi kebingungan.
“Maaf, atas nama Dini Handayani sudah lunas semuanya, Bu Ivy,” kata petugas administrasi.
Ivy tertegun. “Apa? Siapa yang …?”
“Kami tidak diberi izin menyebutkan nama. Pembayarannya melalui yayasan donatur.”
“Yayasan apa?” desak Ivy.
“Maaf, informasi terbatas. Yang pasti, semua tindakan operasi dan perawatan lanjutan sudah dijamin penuh hingga enam bulan ke depan.”
Ivy melangkah pergi dengan kepala penuh tanda tanya. Di sudut lorong, Noah mengintip dari balik ruang steril. Dia menyaksikan Ivy memeluk amplop berisi uang yang batal digunakan, dengan tatapan linglung dan air mata mengalir diam-diam.
Ivy mulai mengeluarkan ponsel dan menatap layar benda pipih tersebut. Dia mencoba menelepon Jimmy. Ketika sambungan terangkat, suaranya langsung meluncur.
“Kamu yang bayar semua biaya rumah sakit Mama, kan?”
“Apa?” Jimmy terdengar kaget. “Aku? Enggak, Vy. Aku nggak tahu apa-apa.”
Ivy mengernyit. “Tapi katanya ada donatur. Yayasan. Aku kira itu kamu.”
“Bukan aku, Vy. Aku juga sudah memberikan uang itu. Apa masih kurang? Kenapa nggak bilang?”
Ivy menggigit bibir. “Bukan begitu, Jim. Semua administrasi sudah lunas. Bahkan untuk pengobatan enam bulan ke depan sudah dibayar. Jadi ... siapa yang membayar semua ini?” Ivy hanya bisa memandangi langit-langit lorong rumah sakit yang suram.
Operasi dilaksanakan sehari setelah pelunasan administrasi. Operasi berlangsung hampir delapan jam. Noah, lagi-lagi, hadir diam-diam.
Lelaki tersebut duduk di mobilnya, memantau pergerakan Ivy lewat pantulan kaca rumah sakit. Setelah operasi selesai, Ivy terduduk di lantai rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa ibunya selamat, tetapi mengalami koma. Hatinya serasa diperas.
Noah tak tahan. Dia turun dari mobil, masuk ke kafetaria, dan membeli dua cangkir kopi. Satu dikirim lewat petugas, tanpa nama. Ketika Ivy menerimanya, dia hanya diam. Kopi hitam panas, tanpa catatan, tanpa petunjuk. Dia meminumnya pelan.
"Apa yang harus aku lakukan?" gumam Ivy seraya mengembuskan napas kasar.