Tes Tes Tes
Air mata Airin tertahankan lagi ketika mendapatkan tudingan yang begitu menyakitkan dari sang ayah.
Bahkan pipinya memerah, di tampar pria yang begitu dia harapkan menjadi tempat berlindung, hanya karena dia mengatakan ibunya telah dicekik oleh wanita yang sedang menangis sambil merangkulnya itu.
Dugh
"Maafkan aku nona, aku tidak sengaja"
Airin mengangguk paham dan memberikan sedikit senyum pada pria yang meminta maaf padanya barusan. Airin menghela nafas dan kembali menoleh ke arah jendela. Dia akan pulang, kembali ke ayah yang telah mengusirnya tiga tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Hujan Deras dan Petir
Hujan turun dengan begitu deras malam itu. Malam menggulung bumi dengan kelam yang pekat. Langit seolah marah, petir menyambar tiada henti, mengguratkan cahaya putih keperakan di antara gulungan awan hitam yang menggelayut rendah.
Hujan mengguyur deras, deras sekali, memukul atap kaca dan jendela-jendela besar rumah Rahardian yang luas dan mewah. Suara tetes hujan berubah menjadi dentuman, seperti ribuan batu kecil dijatuhkan dari langit.
Angin meraung-raung, menyusup lewat celah pohon-pohon di taman belakang dan mengguncang dahan-dahan tinggi yang menari liar seperti hendak lepas dari akar.
Di dalam rumah, segala kemewahan tampak suram. Lampu-lampu gantung kristal bergoyang ringan, menciptakan kilau yang tak nyaman. Lorong-lorong marmer terasa lebih dingin dari biasanya.
Felix memang masih marah. Dia bahkan belum melihat anaknya itu datang padanya dah minta maaf. Baik pada dirinya maupun pada Vivi.
Namun suara petir yang menggelegar di luar sana. Membuat nuraninya sebagai seorang ayah terbangun. Putrinya sejak dulu takut pada petir. Saat kecil, jika badai seperti ini. Airin akan mengetuk kamar orang tuanya karena tidak berani tidur.
Felix yang tadinya sudah tertidur, terbangun karena suara petir itu. Felix menyalakan lampu tidur di samping tempat tidurnya. Dan itu membuat Susan terbangun.
"Mas, kamu butuh sesuatu?" tanya wanita itu mengusap wajahnya menunjukkan perhatiannya pada Felix.
"Tidurlah Susan, aku mau lihat Airin sebentar. Dia takut pada petir..."
"Jadi mas belum tahu!" kata Susan tiba-tiba menyela ucapan suaminya.
Susan merasa saat ini adalah momen yang tepat untuknya memberitahukan pada suaminya itu. Kalau Airin bahkan tidak pulang selama dua hari.
"Tentang apa?" tanya Felix.
Kening pria itu tampak berkerut, menambah kesan tua di usianya yang memang sudah tidak muda lagi.
"Airin tidak pulang mas, sudah dua hari! aku sudah coba menghubunginya, tapi tidak bisa!"
"Apa?" tanya Felix terkejut.
"Mas, dia semakin membuat khawatir saja. Sebenarnya tidak masalah juga kalau dia tidak mau meminta maaf pada Vivi. Tapi setidaknya dia tidak boleh seperti ini. Pergi begitu saja, tidak memberi kabar. Dihubungi tidak bisa. Aku sangat khawatir, aku bahkan tidak tenang setiap hari memikirkan dia. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya, dia itu wanita. Bagaimana dengan kehormatannya!"
Susan membuat Felix tidak berpikir tenang. Wanita itu terus menyecar pikiran Felix dengan kata-kata, seolah Airin membuat malu keluarga dan membuat semua orang di rumah ini khawatir karena dia malah tidak pulang selama dua hari.
Susan menghela nafasnya semakin panjang.
"Vivi bahkan ikut khawatir, dia baru sembuh. Dia merasa sangat bersalah mas. Dia pikir, pasti karena dia, Airin jadi marah dan tidak pulang. Vivi baru pulang dari rumah sakit, tapi dia sudah bersikeras mengajakku mencari Airin. Kami tidak kenal banyak temannya, kami tidak tahu harus mencarinya dimana?"
Susan terlihat sedih. Atau lebih tepatnya, dia membuat dirinya itu terlihat sedih.
"Jika dia memang tidak bisa menerima kami, mungkin kami lebih baik pergi saja mas"
"Susan, kenapa bicara seperti itu? aku yang salah mendidik anak itu. Sudah jangan di pikirkan, tidurlah. Besok aku akan cari dia di perusahaan tuan Samuel!"
Susan menyandarkan dirinya di dada suaminya. Mengusap dada pria itu dengan sangat lembut dan perlahan. Membuat dirinya merasa bersalah adalah cara ampuh untuk membuat Felix berada di pihaknya.
Sementara itu di sebuah apartemen mewah, Airin berdiri mematung di balik tirai transparan kamarnya. Hujan menampar-nampar jendela kaca besar di depannya, menciptakan irama kacau yang tak beraturan.
Langit malam di luar seperti terbelah, petir menyala terus-menerus, menyinari kamar sesaat, lalu meninggalkannya kembali dalam gulita. Guntur menggelegar, bersahutan seperti dentuman perang di kejauhan, mengguncang jantung Airin yang semakin tak tenang.
Lampu temaram di sudut ruangan seakan tak mampu melawan bayangan yang menari liar di dinding. Angin dari celah balkon mendesir pelan, tapi dinginnya seperti merayap masuk ke tulang. Perasaan tak enak menggerogoti pikirannya, seolah ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang dia tak mampu kendalikan.
Airin mengatupkan tangan, mencoba menenangkan napasnya, tapi gemuruh langit membuatnya terlonjak.
Detik berikutnya, dia berlari keluar dari kamarnya, jantungnya berdetak tak karuan. Dia tak tahu kenapa, tapi satu-satunya tempat yang terlintas di pikirannya hanyalah satu, kamar Samuel.
Sejak kecil, Airin memang takut sekali pada petir. Hujan deras dan badai seperti ini juga mengingatkannya pada kejadian tiga tahun yang lalu.
Airin membuka kamar itu tanpa mengetuknya. Dia memang sengaja menunggu larut malam, awalnya dia ingin bertahan di kamarnya. Tapi tetap tidak bisa. Dia terlalu takut pada guntur itu.
Airin berlari masuk ke arah tempat tidur, dimana Samuel sepertinya sudah tertidur.
Dia tidak naik ke atas tempat tidur itu, dia duduk di lantai. Di sisi tempat tidur dimana Samuel berbaring.
Airin mengangkat tangannya perlahan. Dan meraih ujung selimut yang digunakan oleh Samuel. Airin menggenggam ujung selimut itu dengan sangat kuat. Sambil memeluk lututnya dan memeluk kedua lututnya itu dengan tangannya yang satu lagi.
Karena Samuel juga orang yang begitu peka terhadap kehadiran orang lain. Dia pun terbangun, dan melihat Airin yang terlihat sangat ketakutan.
Samuel bangkit dan menarik tangan Airin. Airin terkejut, dia berdiri karena tangannya ditarik oleh Samuel dengan cukup kuat.
"Maaf, maaf paman! tapi aku takut" kata Airin dengan mata berkaca-kaca.
Samuel bisa melihatnya dan merasakannya, Airin gemetaran. Wajahnya terlihat pucat.
"Kamu takut Guntur?" tanya Samuel.
Airin yang memang merasa sangat takut mengangguk dengan cepat.
Samuel tampak menghela nafas. Lalu bergeser dari tempatnya tidur. Samuel menepuk sisi sebelah tempat tidurnya dan berkata,
"Kemarilah, tidur disini"
Airin cukup terkejut. Jangankan Airin, kalau Billy ada disini. Rahang pria itu juga pasti akan terjatuh melihat apa yang saat ini terjadi. Kali pertama, Samuel memperbolehkan seseorang tidur di tempat tidur yang sama dengannya.
Perlahan Airin naik ke tempat tidur itu. Dia membaringkan tubuhnya dan menarik selimut sebatas leher.
Tapi suara Guntur itu masih terdengar, kilat juga masih terus mengejek dari celah yang ada.
"Tidak bisa tidur?" tanya Samuel lagi.
Airin tidak berani menjawab, di perbolehkan tidur di sini saja, dia sudah cukup tenang.
Tapi Airin kembali dibuat terkejut, ketika Samuel bahkan mengulurkan tangannya.
"Pegang tanganku, dan tidurlah!" ucapnya sambil menatap Airin.
***
Bersambung...