Pertemuan pertama begitu berkesan, itu yang Mada rasakan saat bertemu Rindu. Gadis galak dan judes, tapi cantik dan menarik hati Mada. Rupanya takdir berpihak pada Mada karena kembali bertemu dengan gadis itu.
Rindu Anjani, berharap sang Ayah datang atau ada pria melamar dan mempersunting dirinya lalu membawa pergi dari situasi yang tidak menyenangkan. Bertemu dengan Mada Bimantara, tidak bisa berharap banyak karena perbedaan status sosial yang begitu kentara.
“Kita ‘tuh kayak langit dan bumi, nggak bisa bersatu. Sebaiknya kamu pergi dan terima kasih atas kebaikanmu,” ujar Rindu sambil terisak.
“Tidak masalah selama langit dan bumi masih di semesta yang sama. Jadi istriku, maukah?” Mada Bimantara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 - Tanda - tanda
Kontras, itu yang Rindu rasakan. Melihat begitu mewahnya pesta pernikahan salah satu ahli waris dan Bimantara Property dan kehidupan dirinya yang bisa dibilang menyedihkan meski tetap mensyukuri. Nyatanya perbedaan status sosial itu begitu nyata.
Rindu memarkir motornya dan melepas helm menatap ke arah pintu rumah. Ada dua motor terparkir, mungkin milik tamu atau kerabat yang datang. Terdengar teriakan dari dalam rumah. Suara Bude Sari, menjerit lalu menangis.
“Bude,” panggil Rindu memasuki rumah dan hampir bertabrakan dengan pria yang berdiri tidak jauh dari pintu. Ada tiga orang pria dengan tampang sangar dan tinggi besar.
“Makanya bayar, jangan mau enaknya doang.”
“Kami pasti bayar,” ujar pakde sambil menenangkan istrinya.
“Ini ada apa?” tanya Rindu.
“Siapa kamu?” tanya salah satu pria itu.
“Dia, keponakan kami. Pekerjaannya bagus, dia yang akan bantu bayar hutang,” tunjuk Bude Sari sambil menghapus air matanya.
“Oh jadi kamu yang mau bayar.”
“Eh, tunggu dulu. Maksudnya gimana Bude, bayar apa?” Rindu melangkah mundur, tidak siap dan takut dengan situasi tersebut. Apalagi ketiga pria itu menatap ke arahnya.
“Pasangan itu berhutang dan tidak bisa bayar. Rumah ini jadi agunan, tapi tidak cukup untuk penuhi hutangnya.”
“Rindu, uangnya ada ‘kan.” Bude Sari menghampiri Rindu dan mengedipkan matanya.
“A-da, tapi--”
“Tuh ada, saya bilang juga apa kami pasti bayar. Orangtua Rindu baru saja menjual warisan di kampung. Kami pasti bayar.”
“Kapan? Jangan janji-janji doang.”
“Secepatnya,” sahut Bude. “Dua hari lagi, ia dua hari.”
“Bude,” tegur Rindu lirih menatap bergantian dengan ketiga pria itu. Ada khawatir kalau Bude tidak bisa memenuhi apa yang dijanjikannya. Tidak mungkin hutang dengan nominal kecil kalau rumah saja tidak cukup untuk menjadi jaminan.
“Sudah kamu diam saja,” bude bicara sangat lirih.
“Dua hari lagi kami kemari, siapkan uangnya. Jangan kebanyakan janji. Waktu pinjam mulutnya manis, ditagih bayar lagaknya pahit.”
Ketiga pria itu menaiki motor dan menggerung sebelum meninggalkan rumah.
“Bude, kenapa aku lagi yang ditumbalkan.” Rindu mengekor Bude ke dapur, sedangkan pakde sudah menghilang ke kamarnya.
“Tumbal apa sih, Cuma pinjam nama doang. Tenang aja, pasti dibayar.”
“Iya, tapi pakai apa?” tanya Rindu heran. Bisa-bisanya orang ini menjanjikan uang entah dari mana. Padahal dua hari itu waktu yang sempit.
“Berisik kamu. Apa susahnya nurut. Selama ini kami mengurus dan mendidik kamu, sesekali bantu kami dan nggak usah bawel.”
“Tapi --”
“Nggak usah tapi-tapi. Ibu kamu pergi cuma nitip kamu, tanpa ngasih apapun dan bapakmu entah di mana. Ngasih duit sesekali doang, sekarang nggak jelas di mana juntrungannya.”
“Bude pernah ketemu bapak. Di mana dia?” cecar Rindu. “Aku mau ketemu, di mana dia.”
“Nggak tahu,” seru Bude. Wanita itu meninggalkan dapur menuju kamarnya. Rindu masih mencecar menanyakan keberadaan sang ayah. Nyatanya Sari malah menutup pintu kamar. mengabaikan semua pertanyaan sang keponakan.
“Bude,” ucap Rindu.
"Berisik!" teriak bude dari dalam kamar.
***
Rindu mengatur nafasnya, berusaha untuk fokus dan menghilangkan semua beban serta masalah yang ada di kepala. Ia harus melakukan yang terbaik dengan tugasnya sekarang, berharap berhasil menjual dan mendapatkan bonus yang jumlahnya lumayan.
“Fokus Rindu, fokus.”
Sejak kemarin kepalanya dipenuhi dengan pikiran bagaimana Sari dan Yanto membayar hutang mereka. Kedatangan debt collector ke rumah juga dicecar lewat telpon sungguh mengganggu.
Bude Sari pun bungkam masalah ayah Rindu. Padahal itu satu-satunya harapan agar bisa keluar dari rumah itu dan mendapatkan hidup yang lebih layak dan nyaman. Pilihan lain yaitu menikah dan ikut dengan suami sepertinya tidak memungkinkan. Belum ada kekasih, sekalipun ada pria yang datang, dengan gaya macam preman.
Mematut wajahnya di cermin, terlihat sudah cantik. Rambut dibuat gelombang dan make up flawless. Setelan seragam SPG yang tidak mempertontonkan keseksian. Menyemprotkan parfum dan menghis4p permen mint untuk menyempurnakan penampilannya.
“Oke, semangat.”
Sudah lebih dari dua jam bertugas, Rindu menghampiri sales supervisor nya.
“Rin, tadi bawaan kamu bagus loh. Sudah saya catat nih kontaknya, besok saya follow up. Kayaknya dia minat sama apartemen Grande.”
“Iya kah mbak? Semoga goal deh, terus saya kecipratan bonus.”
“Aamiin. Semangat kerjanya. Nggak usah pake rayu dan gaya centil kayak gitu.” Rindu menoleh ke arah yang ditunjuk. “Kalian tuh bukan SPG rokok, tapi property."
“Oke, siap mbak.” Rindu mengambil beberapa lembar brosur lagi.
“Busyet ada bos.”
“Siapa mbak?” tanya Rindu.
“Itu, Pak Arya sama Pak Mada.”
Rindu menelan saliva menatap Mada dengan setelan kerja membuat pria terlihat gagah, berkelas dan juga tampan. Di sampingnya seorang pria yang lebih berumur, tapi masih terlihat tampan. Kalau dilihat agak mirip dengan Mada.
Kebetulan Mada memandang ke arah Rindu dan mereka saling tatap. Mada tersenyum, Rindu mengangguk.
“Saya kerja lagi ya, mbak,” pamit Rindu saat melihat Mada dan rombongannya bergerak ke arahnya.
Arya dan Doni tampak serius mendengarkan penjelasan jumlah yang sudah terjual dan memperhatikan suasana pameran yang cukup ramai. Sedangkan Mada menghampiri salah satu sales.
“Rindu kemana?”
“Oh, kerja lagi pak. Mau saya panggilkan?”
“Nggak usah. Kerja dia bagus nggak?” tanya Mada lagi.
“Profesional sih. Bawaannya ada yang bisa diprospek. Saya yakin dia bisa menjual kok. Kenapa Pak, mau direkrut jadi karyawan atau jadi pacar?”
“Ck, kamu ini … nggak usah berisik.”
“Waduh pak, kalau cewek-cewek dengar bisa patah hati. Untungnya saya udah nikah, jadi nggak ikutan patah hati.”
“Kamu bimbing si Rindu ya,” ujar Mada.
“Siap, pak. Eh, tapi bimbing apa dulu nih.”
“Bimbing jadi wanita solehah, mana tahu bisa dikenalin ke mama terus dibawain penghulu.”
“Bisa diaturlah itu.”
“Awas lo, gue nitip ya,” ujar Mada sebelum menghampiri Arya.
mendingan Rindu la,jaaaauuuh banget kelakuan kamu dan Rindu...
gimana mau jatuh cinta ma kamu
😆😆😆😆
kamu gak masuk dalam hati Mada Arba,lebih baik sadar diri...
jauh jauh gih dari Mada
babat habis sampai ke akarnya...
🤬🤬🤬🤬🤬