Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nizan Menghilang
Hingga keesokan paginya, belum juga ada kabar dari Nizan. Baru juga baikan kemarin, udah ngajak ribut lagi tu anak. Nggak jelas. Katanya mau ngabarin,tapi malah menghilang. Rasanya males banget harus mikirin soal dia lagi, tapi kepalaku tetap muter-muter tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir.
Hari ini aku datang pas banget sama bel masuk, jadi nggak sempat buat nyariin Nizan ke kelasnya. Aku langsung masuk kelas, berjalan cepat menuju bangkuku.
"Mir, gue pindah belakang ya," ucapku sambil lempar tas ke bangku paling pojok.
Mira menoleh cepat. "Ih, masa gue sendiri, Sya? Jam pertama Pak Bani loh. Kaga berani gue sendiri. Nanti dia nanya-nanya."
"Gue ngantuk tau. Kalau duduk depan bisa-bisa disuruh keluar sama Pak Bani. Lo tau sendiri kan gaya gue kalo ulangan."
Belum sempat Mira jawab, Erina yang duduk di belakang kami menawarkan diri. "Gue aja deh duduk sama lo Mir. Nanti ngintip dikit ya pas ulangan." Dia menutup ucapannya dengan cengiran khasnya.
"Dasar, ada maunya aja lo Rin," kataku sambil geleng-geleng. Dia malah tertawa puas.
Saat aku berjalan ke kursi belakang, Khalif nyaut dari pojok kursi baris kedua. "Sya, duduk sama gue aja sini. Jevan suruh pindah."
Jevan yang dari tadi rebahan malas-malasan di mejanya, langsung melirik tajam. "Kurang ajar banget lo. Kalo ulangan aja milih duduk ama yang pinter. Ga usah Sya, nanti dia nyontek."
"Ngga lah Lif. Gue mau duduk sendiri aja, mau tidur."
Akhirnya, aku duduk di bangku paling belakang, baris terakhir. Di situ ada beberapa anak yang sering dijuluki "BerBiSa" alias Berandal Bina Bangsa. Mereka bukan anak-anak berandalan dalam arti kriminal, cuma ya anak-anak yang doyan ngeyel, bolos, suka ribut, dan langganan remedial.
Baru lima menit kami duduk, Pak Bani Sinaga masuk. Wajahnya kayak biasanya,sangar, serius, dan tanpa senyum. Suara langkah sepatunya di lantai keramik membuat suasana kelas langsung hening.
"Pagi anak-anak. Baik. Hari ini kita akan ulangan," katanya langsung, tanpa basa-basi. "Namun sebelum ulangan, Bapak akan bertanya beberapa pertanyaan. Biar nggak banyak yang remedial seperti kemarin."
Semua murid langsung duduk tegak. Beberapa bahkan kelihatan menahan napas.
Satu persatu murid ditanya. Ada yang bisa jawab, ada juga yang cuma bisa geleng-geleng. Yang jadi perhatian mencolok adalah Naraya.
Naraya, sang biduan kelas. Si biang gosip sekolah. Roknya selalu kependekan beberapa senti, make upnya selalu berani, bibirnya merah menyala seperti lipstik baru diendorse, tapi otaknya ya begitulah.
"Nara," panggil Pak Bani. "Sebutkan jenis pajak berdasarkan lembaga pemungutnya!"
Naraya diam. Matanya celingak-celinguk, berharap ada yang akan berbaik hati memberinya jawaban. Tapi siapa juga yang berani curang di depan Pak Bani?
Karena tak ada jawaban, Pak Bani mengambil spidol, lalu dengan tenang berjalan ke arah Naraya dan mencoret jidatnya dengan tanda silang besar. Beberapa anak terkekeh pelan, tapi langsung menahan tawa begitu Pak Bani mendelik dan menyadari kalau mungkin mereka akan menjadi sasaran Pak Bani selanjutnya.
"Kalau tahu nggak pinter, isi tas jangan cuma gincu. Nanti kalau udah pinter, mau banyak gaya pun saya nggak masalah. Tapi ini? Tebal make upnya nggak sebanding sama isi otaknya. Jangan dihapus tanda silang yang sampai kelas saya berakhir."
Naraya hanya bisa cemberut. Aku nyaris tertidur di atas meja ketika tiba-tiba namaku dipanggil.
"Tisya!" suara Pak Bani menggema.
Aku langsung angkat kepala, nyaris kelepasan ngiler. "Iya Pak?"
"Coba jawab tadi, apa jawabannya?"
"Hmm... Emang pertanyaannya apa Pak?" Aku masih setengah sadar.
Pak Bani menarik napas panjang, nyaris marah. Seluruh kelas serempak menyaut, "Jenis pajak berdasarkan lembaga pemungutnya, Sya!"
"Ooooh," kataku sambil menggaruk kepala. "Pajak pusat dan pajak daerah, Pak."
Pak Bani menyipitkan mata, belum puas. "Coba jelaskan satu persatu."
Aku mengangguk pelan. "Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak, contohnya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan. Sedangkan pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Contohnya seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, dan Pajak Restoran Pak."
Pak Bani akhirnya mengangguk puas. "Bagus."
Aku hanya bisa manggut-manggut sambil menahan kantuk.
Ulangan pun dimulai setelahnya. Tapi pikiranku terus melayang ke Nizan.
Begitu ulangan selesai dan Pak Bani keluar kelas, aku langsung beranjak dari tempat duduk. Mira dan Erina masih sibuk ngomentarin soal ulangan tadi. Mereka bilang, "ngasal aja deh, yang penting yakin", "pusing kepala gue, jawabannya panjang semua."
Langkahku langsung menuju kelas sebelah.
Kepalaku menoleh ke kiri dan kanan, berharap melihat sosok Nizan duduk santai di bangkunya. Tapi kosong. Bahkan batang hidungnya pun nggak kelihatan.
"Yum," panggilku pada Yumna yang lagi ngobrol sama dua temannya di bangku tengah. "Lihat Nizan nggak?"
Yumna langsung nengok. "Dia nggak masuk, Sya."
"Nggak masuk?" alisku terangkat. "Kenapa?"
Dia nyengir kecil. "Kenapa Sya lo nyariin Nizan? Mau berantem lagi atau mau baikan nih?"
Aku tertawa. "Dua-duanya sih. Tapi serius, dia beneran nggak masuk?"
"Iya, kata Yoga sih sakit. Tapi nggak tahu sakit apa."
"Yoga mana sekarang?"
"Barusan ke kantin bareng Jevan."
"Oke deh, gue duluan ya. Erina sama Mira masih di kelas. Kalian ke tempat biasa aja, nanti gue nyusul."
"Siap, Sya."
Aku langsung melangkah cepat ke kantin depan aula. Tempat ini agak jauh dari kantin utama, biasanya tempat nongkrongnya anak-anak cowok. Dan benar aja, dari kejauhan aku sudah melihat Yoga dan Jevan duduk santai sambil ngemil gorengan.
"Yogaaaa!" panggilku sambil melambai.
"Eh, Tisya," jawab Yoga sambil nyengir.
Aku duduk di depan mereka. "Bibir lo udah sembuh Ga?"
"Aman, aman. Lecet dikit doang."
"Nizan udah minta maaf ngga sama lo?"
"Udah, Sya. Aman. Damai kita."
Aku melipat tangan di dada. "Beneran nih? Atau lo takut Nizan mukul lo lagi?"
Yoga ketawa. "Ngga-ngga, gue malah lebih takut dihajar lo daripada dihajar Nizan."
Aku ikutan terkekeh.
Tapi kemudian aku menatap mereka serius. "Eh Ga, Nizan sakit apa sih? HPnya ga aktif dari semalam. Gue ngechat ceklis satu."
Mendadak keduanya diam. Tatapan Jevan dan Yoga saling nyambung kayak kode Morse.
"Hmm... Kalian gamau kasih tau gue nih?"
Aku berdiri. "Ya udah deh kalo gitu. Gue tanya yang lain aja."
"Eh, Sya..." Jevan buru-buru menahanku. "Tapi lo jangan ngamuk ke Nizan ya."
Aku yang tadinya udah siap pergi, akhirnya duduk lagi.
"Nizan masuk rumah sakit tadi malam," lanjutnya.
"Hah?" aku nyaris melongo. "Kok bisa? Semalam dia baik-baik aja kok."
"Lo nggak tahu Sya?" Yoga mulai menjelaskan. "Dia itu nggak boleh kena air hujan. Dia alergi. Badannya bisa bengkak semua."
"Iya woi," sambung Jevan. "Semalam dia basah kuyup, terus langsung menggigil. Gue sama Yoga yang nganterin dia ke rumah sakit. Dia ga mau lo tahu, katanya takut lo marah."
Aku terdiam.
"Dia segitunya nggak mau lo tahu," tambah Yoga. "Dia bilang gini, ntar Tisya makin kesel kalau tahu gue maksa mandi hujan."
Aku menarik napas panjang. "Hmm... Gue semengerikan itu ya? sampai-sampai Nizan lebih milih sakit daripada bilang jujur aja ke gue."
"Salahnya dia juga sih Sya," kata Yoga. "Udah tahu nggak kuat, masih nekat. Bukannya jujur malah sok kuat."
Jevan ikut membela, "Iya bener. Tapi ya lucu juga sih, lo harus liat ekspresi dia semalem. Mukanya udah kayak ikan buntal."
Aku hampir ketawa.
"Lo mau ditemenin kesana nggak?" tanya Yoga.
"Nggak usah deh Ga, nanti kalian malah berantem lagi," sahutku cepat. "Udah tahu Nizan aneh, bawaannya panas kalo liat lo sama gue. Dia di kamar apa?"
"Ruangan Melati, kamar nomor 3. Kayaknya sih udah baikan sekarang Sya."
Aku mengangguk. "Oke, makasih ya, Ga, Van."
"Siap. Jangan ngamuk ya Sya, nanti lo ngamuk, gantian kami yang diamuk Nizan."
Aku tersenyum, "Sip, Aman tu."
Tapi dalam hati rasanya aneh. Campur aduk. Ada rasa khawatir, tapi juga kesal. Kenapa Nizan lebih milih nyembunyiin sesuatu yang segitu pentingnya?