Wallace Huang, dikenal sebagai Mafia Iblis yang tanpa memberi ampun kepada musuh atau orang yang telah menyinggungnya. Celine Lin, yang diam-diam telah mencintai Wallace selama beberapa tahun. Namun ia tidak pernah mengungkapnya.
Persahabatannya dengan Mark Huang, yang adalah keponakan Wallace, membuatnya bertemu kembali dengan pria yang dia cintai setelah lima tahun berlalu. Akan tetapi, Wallace tidak mengenal gadis itu sama sekali.
Wallace yang membenci Celina akibat kejadian yang menimpa Mark sehingga berniat membunuh gadis malang tersebut.
Namun, karena sebuah alasan Wallace menikahi Celine. pernikahan tersebut membuat Celine semakin menderita dan terjebak semakin dalam akibat ulah pihak keluarga suaminya.
Akankah Wallace mencintai Celine yang telah menyimpan perasaan selama lima tahun?
Berada di antara pihak keluarga besar dan istri, Siapa yang akan menjadi pilihan Wallace?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Di ruang tamu yang hening, hanya terdengar detakan jarum jam tua di sudut ruangan. Wallace duduk tegak di kursi kulit hitam, sorot matanya tajam menatap ke arah jendela yang memantulkan cahaya senja. Tak lama kemudian, Nico datang dan berdiri dengan tegap di hadapannya.
Wallace akhirnya memecah keheningan, suaranya tenang namun berat, seakan menggali sesuatu dari masa lalu.
"Nico, apakah kau masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, saat dalam perjalanan pulang kita diserang oleh kelompok Ethan?" tanyanya perlahan.
Nico mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat. Sesaat kemudian ia mengangguk pelan.
"Ingat, Tuan," jawabnya. "Saat itu kita baru kembali dari luar negeri. Kalau bukan karena ada orang dalam sebagai pengkhianat, Ethan tidak mungkin tahu kepulangan kita. Dan... karena kejadian itu juga Anda kehilangan barang berharga."
"Kalung giok pemberian kakek—selama ini ternyata ada di tangan Celine Lin. Dia mengenakan kalung itu," ujar Wallace.
Nico terkejut, matanya membelalak. "Apa? Kenapa dia bisa memilikinya? Kalung itu hilang saat baku tembak! Bagaimana bisa jatuh ke tangannya?"
Wallace menggeleng pelan, masih belum percaya sepenuhnya pada apa yang diketahuinya. "Seingatku, kita tidak pernah bertemu dengan Celine Lin pada sebelumnya Bahkan ketika aku dirawat di rumah sakit, aku tidak ingat pernah melihatnya."
Nico menatap lantai, pikirannya melayang ke masa lalu. Perlahan, ingatannya mulai menyatu seperti potongan puzzle yang tercerai-berai.
"Tuan... aku baru ingat sesuatu," katanya dengan nada ragu, lalu matanya menyipit seolah mencoba melihat kembali kejadian itu di benaknya. "Setelah kita mengalahkan kelompok Ethan, kita terluka dan ingin segera ke rumah sakit. Saat itu, ada seorang gadis yang menahan taksi dan datang menolong kita. Sepertinya... dia adalah Celine Lin. Tapi kenapa aku baru mengingatnya sekarang?"
Wallace memejamkan mata. Suara Nico menghidupkan kembali momen samar yang dulu tertimbun oleh rasa sakit dan kelelahan.
"Beberapa tahun lalu saat kejadian itu... aku terluka. Aku tidak memperhatikannya sama sekali. Hanya ingat seorang gadis, tapi aku tak pernah melihat wajahnya," ujarnya lirih.
Nico kembali merenung, lalu wajahnya menunjukkan pencerahan.
"Tuan, sepertinya aku juga baru ingat sesuatu lagi. Celine Lin bukan hanya gadis yang pernah membantu kita. Dia juga adik kelas kita. Saat kita di University Jiao Tong, dia adalah mahasiswi baru. Tapi dia dikenal sangat tertutup dan lebih suka menyendiri. Mungkin itulah kenapa kita tidak pernah menyadari kehadirannya."
Ia menghela napas pendek, menambahkan, "Aku mengenalnya karena pernah tanpa sengaja menabraknya di koridor kampus. Tapi dia tidak berkata apa-apa, hanya pergi begitu saja, seolah aku tidak ada."
Wallace bangkit dari tempat duduknya. Tatapannya tajam penuh tekad, seperti singa yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.
"Selidiki semua tentangnya," perintahnya dingin. "Jangan sampai ada yang ketinggalan."
Nico mengangguk dengan tegas. "Baik, Tuan."
Malam telah larut, dan langit di luar jendela tampak kelabu pekat, tanpa bintang. Di dalam ruangan pribadinya yang remang dan penuh bayangan, Wallace duduk seorang diri. Asap rokok perlahan mengepul dari jari-jarinya yang kokoh. mengisi udara dengan aroma tembakau yang pahit.
Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi empuk, menatap hampa ke langit-langit ruangan. Di matanya yang sayu, ada jejak kegelisahan yang tak ia tunjukkan pada siapa pun. Sebuah kenangan lama tiba-tiba menyeruak, membawa suara Mark yang terngiang begitu jelas di dalam benaknya.
"Celine menolakku. Dia mencintai seorang pria selama bertahun-tahun. Dia bahkan masih mengenakan kalung itu hingga hari ini. Dia sangat setia pada cinta."
Wallace menunduk. Rokok yang terbakar di tangannya kini hanya tinggal separuh, abunya jatuh perlahan ke lantai kayu.
“Mahasiswi Jiao Tong… mencintai seorang pria selama bertahun-tahun... kalung yang dia kenakan hanya satu,” pikir Wallace, mengulang kata-kata itu dalam benaknya. Kalung giok. Kalung yang dulu miliknya. Kalung yang ia kira telah hilang dalam kekacauan bertahun lalu.
"Kami bahkan tidak pernah bertemu sebelumnya... pertemuan di malam itu sangat singkat... jadi tidak mungkin aku adalah pria itu," batinnya.
Tapi pikirannya tidak bisa diam. Bayangan Celine, sosoknya yang teguh berlari ke hadapannya saat peluru nyaris mengenainya, terus menghantui benaknya.
"Kenapa dia harus menyelamatkan aku, padahal sebelumnya aku hampir saja membunuhnya..." gumam Wallace, suaranya nyaris seperti bisikan pada dirinya sendiri.
Keesokan harinya.
Langit di luar jendela masih dipenuhi awan kelabu ketika Nico melangkah masuk ke ruang kerja Wallace. Pagi itu udara terasa berat, Wallace duduk di kursi favoritnya, seperti biasa, ditemani sebatang rokok yang menyala di antara jari-jarinya. Asapnya menari-nari di udara, mengambang lambat seperti pikirannya yang belum sepenuhnya jernih.
Nico berdiri tegap di hadapannya.
“Tuan, saya sudah selidiki Celine Lin seperti perintah Anda,” ucap Nico, suaranya serius. “Dia sempat terdaftar sebagai mahasiswi di University Jiao Tong, tapi hanya bertahan selama tiga bulan. Setelah itu, dia putus sekolah.”
Wallace mengangkat alis, namun tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Nico sambil menghembuskan asap rokok pelan.
“Alasannya karena masalah keuangan,” lanjut Nico. “Saat itu, keluarganya mendesaknya untuk berhenti. Celine terpaksa bekerja untuk mengumpulkan uang demi kakaknya, Mike, yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Keputusannya itu mendadak, dan sejak saat itu namanya seperti menghilang dari lingkungan kampus.”
Wallace menyentuhkan rokok ke asbak, menggeser abu yang menggumpal.
“Lalu,” ujarnya datar, “apakah ada hal lain selain kejadian yang telah kita ketahui?”
Nico membuka halaman berikutnya di map.
“Ada satu hal yang cukup menarik. Dari data medis kampus, diketahui bahwa Celine pernah pingsan di area kampus akibat asap rokok. Dokter menyimpulkan dia mengalami alergi terhadap asap tersebut. Paru-parunya sensitif. Ia mengalami sesak napas setiap kali terpapar asap rokok, bahkan dari mahasiswa lain.”
“Selain itu,” Nico melanjutkan, “dia dikenal sangat tertutup. Hampir tidak pernah terlihat berinteraksi dengan mahasiswa lain. Banyak yang bahkan tidak tahu siapa dia. Tapi, setelah saya selidiki lebih dalam, ditemukan satu catatan menarik...”
Nico mengangkat pandangannya, memastikan Wallace menyimaknya.
“Dia tercatat hadir di pertandingan basket antar fakultas. Pertandingan itu kita yang menangkan. Kita menjadi juara.”
Wallace akhirnya menoleh, matanya tajam.
“Jadi dia sudah mengenal kita sejak dulu,” gumamnya.
“Ya, Tuan. Dari posisi tempat duduknya di tribun penonton, bisa dipastikan dia melihat pertandingan dengan jelas. Mustahil dia tidak mengenal kita. Dia hanya memilih untuk tidak menunjukkan itu,” ujar Nico mantap.
"Itu artinya... dia sudah mengenalku saat di rumah sakit," ucap Wallace perlahan, suaranya dalam dan berat.