Aku Sang Pewaris Yang Kamu Hianati

" Leo, ayah peringatkan jangan terlalu mengikuti kemauanmu sendiri jika tidak ingin menyesal." kata yang keluar dari mulut William dengan tatapannya yang tajam. Leo mendengarnya seperti sebuah ancaman.

" Anda hanya membuang buang waktu mengurusi sesuatu yang bukan urusan anda." ketegasan Leo dapat di lihat dari rahangnya yang mulai mengeras.

" Beraninya kamu menentangku." ucap William sambil menunjuk ke arah Leo.

Sementara Edward hanya diam di kursi dengan dada yang memburu. " kenapa anak sial itu makin berani sekarang?."

" Sekali lagi saya katakan, jangan membuat saya marah. Sesuatu yang bukan urusan kalian jangan pernah coba coba untuk ikut campur." kecam Leo dengan nada datar dan dingin. Rahangnya mengeras menandakan yang ia katakan merupakan sebuah peringatan keras.

Leo meninggalkan ruangan itu dengan langkah cepat dan lebar, sementara Steven mulai mengekor dari belakang. Leo masuk ke dalam mobil dan menyilangkan kedua kakinya sambil meletakkan tangannya pada jendela kaca mobil.

Kemarahannya membuat semua urat nya terlihat, genggaman itu mengisyaratkan kekesalan dan kemarahan yang mendalam.

" Jalankan mobilnya Steven." perintah Leo dengan nada datar.

"Baik tuan." Steven melajukan mobil menuju apartemen yang selama ini menjadi tempat pulang bagi Leo.

.

.

Dion mendobrak pintu kamar Alis dengan kasar, sementara Alis yang sedang berbaring terperanjat dan langsung berdiri.

" Kurang ajar kamu Alis."

PLAAAK

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Alis. Baru kali ini ia mendapatkan perlakuan kasar dari Dion.

" Kak, ada apa?." ucap Alis yang kini sudah meneteskan air mata. Ia tersungkur kelantai. Ia menyentuh pipinya yang berdenyut perih.

" Ternyata selama ini kamu menjadi seorang pelacur. Apa kurang uang yang kakak berikan ha?." teriak Dion dengan amarah yang membuncah. Urat lehernya terlihat hingga kuping dan pipinya me merah.

Alis yang menyadari kakaknya sudah tahu perbuatannya langsung merangkak dan memeluk kaki kakaknya. "Kak, maafkan alis. Alis menyesal." Rintihnya.

Dion masih marah, ia menarik kasar kakinya seolah merasa jijik di sentuh oleh Alis. Dion menampar alis sekali lagi sambil mengumpat.

"Kakak sudah berusaha melindungimu dari pergaulan bebas, tapi kamu sendiri yang sukarela terjun ke sana. Dimana ot*k mu Alis. Dimana?!." Dion terkulai lemas di atas lantai dingin itu. Ia menangis sejadi jadinya di hadapan alis. Kekecewaannya begitu besar pada Alis. Yang ia tahu adiknya selama ini sedang berkuliah, tak di sangka ia menjadi seorang pelacur.

" Kakak, maafkan Alis." alis menangis pilu saat melihat Dion menangis. Rasa sakit di pipinya seolah terlupakan, tangisan Dion mengisi seluruh rumah.

Anggy yang mendengar keributan langsung bergegas menyusul. Di sana ia melihat Dion sudah bersujud dengan badan yang bergetar hebat. " Kenapa Alis, kenapa?." lirih Dion dengan suara menangis.

Sementara Alis terlihat memegang lututnya sambil bersandar di dinding dengan air mata yang terus mengalir. Ia terperanjat saat melihat ibunya.

Saat akan merangkak menuju ibunya, Dion mendorong kasar tubuh Alis. " Jangan sentuh ibu, pergi kamu dari sini!." teriak Dion lagi membuat hati Alis semakin terenyuh.

" Kakak, maafkan Alis..." lirihnya dengan sesenggukan.

" Apa yang sebenarnya terjadi Dion, mengapa kamu kasar begitu pada adikmu?." Anggy tak terima dengan perlakuan Dion pada Alis. Ia menghampiri Alis dan memeluk putrinya itu.

" Dia....dia pelacur." dengan sisa tenaga yang ada, Dion menunjuk Alis dengan telunjuknya. " Dia,,, tidak pantas tinggal di rumah ini." ucap Dion lagi. Anggy sangat terkejut dengan apa yang di dengar.

" Apa?, tidak mungkin. Adikmu ini wanita baik baik. Kamu jangan salahkan Alis atas semua yang terjadi. Pasti kamu menyalahkan adikmu karena bercerai dari Amara kan?." Anggy masih membela Alis dan menghapus air mata putrinya.

Dion mengeluarkan ponselnya dan menekan benda pipih itu dengan tangan bergetar. " Ini, ibu lihat." Dion mengarahkan layar ponselnya pada Anggy. Dengan cepat Alis menepis ponsel itu.

" Nggak Bu, itu tidak benar. Alis tidak seperti itu." alis menatap marah pada Dion.

" Beraninya kamu alis." ucap Dion geram. Ia kembali memungut ponselnya dan memperlihatkan kembali vidio itu pada ibunya. " Lihat Bu. Lihat!."

Anggy menahan Alis untuk tidak menghalangi pandangannya, Anggy memperhatikan dengan seksama Vidio dewasa di hadapannya. Ia sontak menutup mulut saat melihat wajah wanita dalam Vidio itu.

Anggy menatap nyalang ke arah Alis, " Anak kurang ajar. Siapa yang menyuruhmu berbuat kotor seperti itu ha?. Siapa?." teriak Anggy. Ia lalu menampar Alis dan menjambak rambut Alis.

" Bu, sakit. Alis melakukannya karena butuh uang." ucap Alis sambil merintih.

Sementara Anggy memukul mukul pahanya sendiri seolah menyalahkan dirinya sendiri atas perbuatan Alis. Dion kemudian bangkit dan menarik lengan Alis. Ia menyeret tubuh Alis dan melemparkannya ke luar rumah.

"Kak, maafkan Alis." lirihnya. Alis kembali memeluk kaki Dion lalu ia memohon agar tidak di usir.

" Pergi dari rumah ini sebelum tanganku sendiri yang menghabisimu Alis." tegas Dion. Alis menelan ludah dengan susah payah, Dion terlihat serius dengan perkataannya. Alis perlahan melepaskan pelukannya pada kaki Dion, ia mundur beberapa langkah.

Dion sama sekali tak menatap ke arahnya, ia seakan tak menganggap Alis ada di sana. Dion berbalik dan membanting pintu dengan kasar membuat Alis melonjak kaget.

Hening menyerang, sesekali Alis menarik nafas dengan sesenggukan. Ia tak tahu harus kemana. Rasanya seperti di hantam batu besar yang menghancurkan kakinya.

.

.

Kediaman Sinclair

" Sayang, kamu sangat hebat saat berpidato tadi." puji Sania saat mereka sedang makan malam.

"Aku mengikuti instruksi Daddy. Dia bilang kalau mau tampil sempurna harus tegas dan jangan menunduk."

David tertawa mendengar ucapan putrinya. " Kamu memang putri Daddy." ucapnya. mereka menikmati makan malam dengan tentram dan damai.

Setelah lima belas menit kemudian, mereka telah selesai. kini Amara sudah berada di dalam kamarnya.

" Clarissa, apa Dion sudah melihat vidio yang kamu kirim?." ucap Amara saat Clarissa sudah berada di dalam kamarnya.

"Sudah nona, Dion bahkan sudah mengusir Alis."

" Bagus, satu persatu Dion akhirnya merasakan penderitaan. Adiknya yang paling ia banggakan sudah merusak semuanya. Kita lihat saja sejauh mana pria itu akan bertahan." ucap Amara sambil menyeruput minuman kaleng.

" Saya yakin Dion tak akan bertahan lama nona, jika ia tidak bunuh diri mungkin ia akan mengalami depresi berat." jelas Clarissa mencoba memberikan argumennya.

Amara diam sejenak, ia memandangi malam dari balik jendela kamar. " Apa menurutmu aku terlalu kejam Clarissa?." Amara kembali meneguk minuman kaleng yang bertengger di tangannya.

" Tidak nona, bahkan rasa sakit nona belum sembuh hanya karena balasan kecil seperti itu untuk mereka. Nona dulu lebih menderita dari mereka. itu belum apa apa nona." jelas Clarissa. " Anda tidak perlu merasa bersalah." tambahnya lagi.

Amara menarik nafas dalam, "Clarissa."

" Ya nona,"

" Hubungi Beatrice Lin, aku ingin bertemu dengannya." ucap Amara.

" Baik nona." Clarissa menatap Amara dengan ragu sebelum akhirnya meninggalkan kamar.