Dilahirkan dalam keluarga kaya, Alea Lily Armstrong tumbuh dalam penolakan. Dianggap pembawa sial, ia dikucilkan dan dibenci. Luka hati mengubahnya menjadi wanita dingin. Pertemuannya dengan Alexander, ketua mafia terluka, membawanya ke dunia gelap.
Lea menjadi "Ratu Mafia Tersembunyi," menyembunyikan identitasnya. Dendam membara, menuntut pembalasan atas luka lama. Di tengah intrik mafia, Lea mencari keadilan. Akankah ia temukan kebahagiaan, ataukah dendam menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chery red, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Api Kemarahan yang Membara
Darah segar mengucur deras dari pelipis Alea, mengotori seragam putihnya dan menetes ke lapangan basket. Kesadarannya samar, dunia berputar, namun ada satu suara yang menembus kabut: Axel.
"Lea.. Sayang .. Lea... Alea! Astaga, Alea!" Axel berteriak tanpa sadar dia memanggil Sayang pada Alea, suaranya dipenuhi amarah dan kepanikan. Ia berlari melintasi lapangan, meluncur ke samping Alea yang terkulai lemas di dekat tembok beton. Darah di kepala Alea membuatnya panik. Dengan cepat, ia dibantu oleh ketujuh sahabatnya—Dion, Jeremy, Thomas, Arya, Putra, Michael, dan Jordan—mengangkat tubuh Alea.
"Jeremy .. Cepat ambil mobil dan kita akan membawa Alea ke Mahardika. Thomas hubungi kedua orang tua ku, bilang pada mereka jika Alea terluka dan tidak mendapatkan perhatian dari para guru-guru di sini. Dion hubungi Papamu cepat, minta beliau segera menyiapkan tenaga medis untuk menangani Alea." seru Axel pada teman-temannya. Sementara dia membopong tubuh Alea yang semakin terasa dingin.
"Lea Sayang, jangan tidur.. Bertahanlah... Kita akan segera sampai di rumah sakit." gumam Axel.
"Lebih cepat lagi Jem... Aku khawatir Lea tidak bisa bertahan." seru Axel panik.
Mereka bergerak cepat, membawa Alea keluar dari kerumunan yang terkejut, menuju mobil yang sudah menunggu. Axel membopong Alea masuk ke dalam mobil dan Jeremy pun mengendarai mobil nya dengan gila-gilaan disusul dibelakangnya oleh ke lima temannya yang lain menggunakan mobil lainnya Tanpa membuang waktu, mereka melaju kencang menuju Rumah Sakit Mahardika.."Lebih cepat lagi Jem... Aku khawatir Lea tidak bisa bertahan." seru Axel panik.
Di Rumah Sakit Mahardika, milik keluarga Dion, Alea segera mendapatkan penanganan medis terbaik. Dokter Satri Mahardika, ayah dari Dion dan juga dokter senior pemilik rumah sakit, dengan wajah serius, memeriksa luka-luka Alea. Pelipisnya robek dalam dan memerlukan sembilan jahitan, ditambah beberapa lebam di tubuhnya yang menjadi bukti kekejaman Kevin Amstrong dan si kembar Amstrong. Setelah memastikan Alea ditempatkan di kamar VVIP, mendapatkan perawatan intensif dan dalam kondisi stabil, amarah Axel meledak.
Wajahnya merah padam, rahangnya mengeras. Tanpa ragu, Axel kembali ke sekolah dan melangkah menuju kantor kepala sekolah diiringi oleh Jeremy, Thomas, Arya,dan Putra sementara Dion, Michael dan Jordan menunggu di rumah sakit. Ia tidak peduli dengan tatapan terkejut guru-guru atau siswa lain. Ia hanya ingin meluapkan amarahnya.
"Apa yang terjadi di sekolah ini?! Kenapa tidak ada tindakan apa pun saat Alea diserang?!" Axel membanting pintu kantor kepala sekolah, membuat Kepala Sekolah, Pak Budi Santoso, terlonjak dari kursinya. "Ini sekolah atau arena tinju?! Anak murid sampai babak belur begitu, kalian di mana saja?!"
Belum sempat amukan Axel mereda, pintu kantor kembali terbuka. Arman, dengan wajah tegang, marah juga cemas melangkah cepat, masuk ke ruangan. Di belakangnya, Harun dan Indira mengikuti, aura kemarahan dan kecemasan jelas terpancar dari wajah mereka. Mereka baru saja menerima telepon dari Dion, Jeremy, dan teman-teman Axel lainnya, memberitahu bahwa Alea terluka parah diserang Kevin Amstrong dan David-Devan Amstrong, sementara pihak sekolah tak melakukan apa pun.
Pak Budi Santoso terkejut bukan main. Arman adalah sosok yang sangat berkuasa di yayasan yang menaungi sekolah mereka. Kehadirannya, ditambah orang tua Axel yang juga punya pengaruh besar, membuat Pak Budi Santoso sedikit ketakutan.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Pak Kepala Sekolah?!" suara Arman menggelegar, lebih menakutkan dari amukan Axel. "Bagaimana bisa seorang murid diserang brutal di lingkungan sekolah tanpa ada yang menghentikannya?!"
Pak Budi Santoso tergagap. "Sa.. saya... kami sudah berusaha, Pak Arman. Tapi Kevin... dia sangat emosional."
"Emosional?! Atau kalian memang tidak becus?!" timpal Indira tajam. "Putri angkat kami disiksa di sini, dan kalian hanya menonton?!"
Geram dengan sikap kepala sekolah yang tidak menunjukkan rasa bersalah atau penyesalan, Arman akhirnya mengambil keputusan. "Pak Budi Santoso, saya nyatakan Anda dipecat dari jabatan Kepala Sekolah mulai detik ini!"
Kepala sekolah itu tergelak. "Pecat? Anda tidak punya kuasa untuk itu, Pak Arman! Bahkan jika Pak Arman membawa pengacara pun tidak bisa memecat saya begitu saja! Silakan saja coba! Anda, dan Anda berdua," ia menatap Harun dan Indira dengan merendahkan, "Bisakah kalian memecat saya?"
Axel mengepal tangan, menahan diri untuk tidak menghajar pria congkak itu. Namun, ia tidak perlu menunggu lama. Pintu kembali terbuka, dan Richard Amstrong masuk dengan wajah angkuh, diikuti oleh Kevin Amstrong, David Amstrong, dan Devan Amstrong yang berjalan dengan congkak dan sombong. Kevin, yang masih memegangi lututnya, menatap Axel dengan tatapan penuh pembangkangan. Si kembar duduk di sofa di hadapan Arman dan orang tua Axel dengan tidak sopan, seolah menantang.
"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" suara Richard Amstrong dingin. Ia sama sekali tidak peduli dengan kehadiran Arman atau orang tua Axel, apalagi tentang Alea. Yang ia pedulikan hanyalah kondisi Kevin dan si kembar. "Kevin, David, Devan, kalian baik-baik saja?"
Melihat sikap sombong dan pembangkangan Kevin dan si kembar, amarah Axel yang sudah membara kembali memuncak. Sebelum ada yang bisa menahannya, Axel sudah melayangkan tinju keras ke hidung Kevin. "Kau bajingan!"
Bugh!
Kevin tersungkur, hidungnya mengeluarkan darah. Sebelum Kevin sempat membalas, Arman dengan sigap menahan Axel, memegang lengannya kuat-kuat. "Axel, jangan!"
Richard Amstrong membelalakkan mata, ia tidak menyangka Axel berani melakukan itu. "Berani-beraninya kau?! Kau tahu siapa dia?!" Richard berteriak, menatap Axel tajam. "Saya akan menuntut kalian semua! Dan Alea Lily Amstrong! Saya tidak peduli apa yang terjadi padanya! Dia anak kurang ajar, tidak punya adab dan sopan santun! Saya akan mempolisikan Alea atas dasar penganiayaan! Ini akan memberikan efek jera padanya!"
"Kau memang tidak punya hati Richard, kau menyia-nyiakan putri sahabat ku , Rosalind, kau lebih mementingkan ketiga anak bodoh ini daripada anak gadismu sendiri? Keterlaluan kamu!" seru Indira penuh emosi dengan suara gemetar. Mata Indira melotot dan nafasnya tersengal-sengal menahan amarahnya. Richard hanya melengos dan menghindari tatapan Harun dan Arman.
"Aku telah menganggap Alea sebagai putri ku sendiri, aku akan meminta pengacaraku untuk mengurus masalah ini hingga tuntas. Kita lihat saja nanti siapa yang akan menangis di akhir!" ucap Harun penuh geram dan kesal melihat Richard yang malah sibuk mengurusi Kevin dan si kembar.
Arman dan Harun-Indira hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala penuh emosi. Mereka menatap Richard dengan pandangan campur aduk antara jijik dan tak percaya. Para guru yang berpihak pada Alea, yang diam-diam menyaksikan dari luar ruangan, saling berpandangan heran. Dalam hati mereka semua berkata, orang tua macam apa Richard Amstrong ini? Tidak menyayangi anak gadisnya sendiri.
Dua hari setelah insiden di sekolah, Richard Amstrong diam-diam menyiapkan kejutan untuk Tiara Amstrong. Sebuah pesta ulang tahun ke 15 yang mewah dan megah dirancang di salah satu hotel termewah di kota. Richard mengundang seluruh rekan bisnisnya, teman-temannya, serta para awak media sosial dan media cetak. Pesta itu bukan hanya perayaan, tapi juga panggung untuk dirinya.
Di tengah gemerlap pesta, sebelum acara puncak tiup lilin, Richard Amstrong naik ke atas panggung. Dengan mikrofon di tangan, ia melakukan konferensi pers dadakan. Senyum penuh kebanggaan terukir di wajahnya.
"Selamat malam hadirin sekalian," suara Richard Amstrong menggema di seluruh aula. "Malam ini, adalah malam yang sangat spesial bagi keluarga kami. Malam ini, putri saya tercinta, Tiara Amstrong, merayakan ulang tahunnya yang ke 15." Ia mengusap rambut Tiara yang berdiri di sampingnya. "Tiara adalah putri satu-satunya saya. Dia adalah satu-satunya ahli waris dan penerus saya."
Pernyataan Richard dihadapan para awak media membuat gempar dan heboh, terutama di kalangan rekan kerja dan para sahabat juga teman Richard yang mengetahui kisah hidupnya. Mereka semua tau jika Alea adalah putri kandung Richard dan Rosalind. Namun mengapa Richard tak mengakuinya ? Beragam dugaan dan spekulasi berhembus dikalangan para undangan pesta ulang tahun Tiara.
Jantung Alea serasa diremas. Di kamar VVIP rumah sakit, ia menyaksikan konferensi pers itu melalui siaran langsung di televisi. Setiap kata Richard Amstrong menusuk ulu hatinya.
"Saya sekali lagi ingin menegaskan, di hadapan Anda semua," lanjut Richard Amstrong, nadanya penuh penekanan, "Saya tidak memiliki putri lain selain Tiara Amstrong. Mengenai gadis bernama Alea Lily Amstrong, yang belakangan ini menjadi perbincangan... dia hanyalah anak dari pembantu rumah tangga kami, Bi Ijah. Keluarga kami membiayai pendidikannya dan memberinya tempat tinggal dan menyematkan nama Amstrong di belakang nama nya karena rasa kasihan. Itu saja."
Kata-kata itu menghantam Alea seperti palu godam. Anak pembantu. Karena kasihan. Selama ini ia sudah terbiasa dengan perlakuan kejam mereka, tapi penghinaan di depan publik, disiarkan ke seluruh kota, adalah batas terakhir. Amarah yang selama ini ia pendam, yang ia coba kendalikan, kini meledak.
Wajah Alea memerah padam. Matanya berkilat menahan air mata yang mendidih menjadi kebencian. Tanpa mempedulikan pelipisnya yang masih berbalut perban, atau memar di tubuhnya, Alea bangkit dari ranjangnya. Tekad membara menguasai setiap serat tubuhnya.
"Richard Amstrong... Kau akan menyesal."
Dengan langkah pasti, Alea keluar dari kamar, menuju lift. Ia tidak peduli pada siapapun yang melihatnya. Tujuannya hanya satu: Hotel tempat pesta itu. Ia akan membuat Richard Amstrong menyesali setiap kata yang terucap.
Alea terus berjalan, amarahnya menuntun setiap langkahnya. Pintu hotel mewah menjulang di depannya, di mana suara musik dan tawa riuh terdengar. Cahaya kamera masih berkedip-kedip, menyoroti panggung tempat Richard Amstrong dan keluarganya, dengan Tiara di tengah, bersiap untuk meniup lilin ulang tahunnya. Pesta yang megah itu akan segera berubah menjadi neraka bagi mereka.