NovelToon NovelToon
Hanya Sebuah Balas Dendam

Hanya Sebuah Balas Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Fantasi Isekai
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hazelnutz

Wu Lan Cho, adalah sebuah Negeri yang sangat penuh dengan misteri, pertumpahan darah, perebutan kekuasaan. salah satu kekaisaran yang bernama Negeri Naga yang di pimpin oleh seorang Kaisar yang sangat kejam dan bengis, yang ingin menguasai Negeri tersebut.

Pada saat ini dia sedang mencari penerusnya untuk melanjutkan tekadnya, dia pun menikahi 6 wanita berbeda dari klan yang mendukung kekaisarannya. dan menikahi satu wanita yang dia selamatkan pada saat perang di suatu wilayah, dan memiliki masing-masing satu anak dari setiap istrinya.

Cerita ini akan berfokus kepada anak ketujuh, yang mereka sebut anak dengan darah kotor, karena ibunya yang bukan seorang bangsawan. Namanya Wēi Qiao, seorang putri dengan darah gabungan yang akan menaklukan seluruh negeri dengan kekuatannya dan menjadi seorang Empress yang Hebat dan tidak ada tandingannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kegigihan Seseorang

Malam semakin larut. Asrama pemimpin kelompok Wēi Qiao tenggelam dalam sunyi, hanya suara napas teratur dari para murid yang lelah setelah hari panjang terdengar samar. Lampu kristal spiritual di sudut ruangan memancarkan cahaya lembut, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di dinding.

Namun, satu orang tidak bisa memejamkan mata.

Liang Riu terbaring dengan gelisah. Kedua matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, sementara kata-kata Wuan Ce berputar-putar di kepalanya, menusuk tanpa ampun.

"Jika kau masih merasa kemampuanmu jauh di bawah rata-rata, bagaimana mungkin kau menjadi pemimpin? Ini bukan soal gengsi… ini soal hidup dan mati pengikut lainnya."

Kalimat itu terngiang lagi dan lagi, seperti palu yang menghantam dadanya. Liang Riu menggertakkan gigi, menutup mata, lalu membuka kembali. Tubuhnya bergetar kecil, bukan karena dingin, tapi karena kemarahan pada dirinya sendiri.

[Liang Riu] :

"Kenapa aku selalu jadi yang terlemah? Kenapa aku tidak bisa menguasai teknik jurus seperti yang lain? Bahkan dasar-dasar tenaga dalamku masih berantakan…"

Tangannya terkepal erat hingga buku jarinya memutih.

"Chen Haoran, Han Yoran… mereka selalu mengejekku. Dan memang benar, aku tak sebanding dengan mereka. Bahkan Wuan Ce, orang yang jarang bicara, dengan mudah mengatakan kelemahanku di depan semua orang…"

Matanya mulai memerah. Liang Riu duduk perlahan di atas ranjang, punggungnya membungkuk. Suara hatinya semakin keras, bercampur dengan rasa putus asa.

"Apakah aku memang hanya beban? Jika aku terus begini… suatu hari nanti aku benar-benar akan menyeret mereka ke dalam kematian. Tidak… tidak! Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi."

Ia memejamkan mata, mengingat bayangan Wēi Qiao. Tatapan dingin namun lembut, sikap yang selalu tenang, membuatnya semakin malu.

"Putri Wēi Qiao percaya padaku, setidaknya… sampai sekarang. Jika aku menyerah, aku bukan hanya menghancurkan diriku, tapi juga kepercayaan itu. Tidak… aku harus berubah. Aku harus membuktikan bahwa aku layak berdiri di samping mereka."

Dengan tekad yang membara, Liang Riu bangkit berdiri. Langkahnya hati-hati, menahan napas agar tidak membangunkan yang lain. Ia meraih pedang latihan yang tergeletak di samping ranjang, lalu melangkah pelan menuju pintu.

Cahaya kristal spiritual berkilau di ujung matanya saat ia berbisik dalam hati:

"Mulai malam ini… aku akan melatih diriku sampai darahku habis sekalipun."

Pintu kayu asrama berderit pelan saat ia dorong. Liang Riu menahan suara napasnya, lalu menyelinap keluar ke dalam gelapnya malam.

Namun, baru beberapa langkah meninggalkan bangunan, sesuatu terjadi.

Di dalam benaknya, Wēi Qiao yang sedang terlelap mendadak mendengar suara monoton Micro Bots.

[Micro Bots] :

“Peringatan. Gerakan terdeteksi.”

“Satu individu meninggalkan ruang asrama pemimpin.”

“Identifikasi: Liang Riu.”

Mata Wēi Qiao terbuka perlahan. Sorot matanya tenang, namun alisnya sedikit berkerut. Ia menatap ke langit-langit sebentar, lalu menutup mata lagi sambil berkomunikasi dalam hati.

[Wēi Qiao] : “Liang Riu…? Apa yang kau lakukan di malam seperti ini?”

[Micro Bots] :

“Deteksi emosi: fluktuasi tinggi. Kemungkinan alasan: latihan rahasia, tekanan mental, atau upaya pembuktian diri.”

“Risiko: 38% cedera akibat kelelahan.”

Wēi Qiao menghela napas perlahan. Belum sempat ia bangun, suara micro bots kembali bergetar dingin.

[Micro Bots] :

“Tambahan peringatan. Gerakan kedua terdeteksi. Ada individu lain yang mengikuti Liang Riu.”

“Identifikasi… gagal. Data samar, penyamaran energi spiritual terdeteksi.”

Mata Wēi Qiao langsung terbuka lebar kali ini. Ia segera bangkit dari ranjangnya tanpa suara, jubahnya bergoyang halus saat ia berdiri. Pandangan matanya tajam, tubuhnya bergerak ringan, nyaris tanpa jejak.

[Wēi Qiao – dalam hati] : “Seseorang mengikuti Liang Riu? Malam ini… apa yang sebenarnya akan terjadi?”

Dengan langkah senyap, ia melangkah keluar dari asrama, membiarkan pintu menutup perlahan di belakangnya. Malam yang sepi kini terasa semakin mencekam.

Malam itu, hutan di belakang Kastil Kaki Naga Langit diliputi ketenangan. Embun mulai turun, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Dari sela-sela pepohonan, samar terdengar langkah kaki seorang pemuda. Itu adalah Liang Riu, wajahnya masih menyimpan amarah bercampur tekad.

Tangannya mengepal, napasnya berat. Ia berjalan cepat menuju lapangan terbuka di tengah hutan. Setibanya di sana, ia berdiri tegak, menatap langit malam yang dihiasi bulan pucat.

Liang Riu (lirih, pada dirinya sendiri):

“Semua orang boleh meremehkanku… tapi aku akan buktikan… aku bukan sampah yang mereka kira. Aku akan jadi lebih kuat… bahkan jika tubuhku hancur sekalipun.”

Ia menarik pedangnya, lalu mulai berlatih. Tebasan demi tebasan mengoyak udara, tapi gerakannya kaku, langkah kakinya goyah, napasnya tak teratur. Suaranya terdengar penuh tekanan, seolah setiap ayunan pedang bukan latihan, melainkan pertempuran melawan dirinya sendiri.

Namun Liang Riu tak sendirian. Dari kejauhan, seorang sosok dengan rambut emas panjang mengikuti diam-diam. Sepasang mata itu penuh rasa bersalah, menatap punggung Liang Riu dengan berat hati. Dan di belakang sosok itu, tersembunyi lebih dalam di antara bayangan pepohonan, Wēi Qiao juga mengikuti dengan langkah ringan, penuh kewaspadaan.

Sesampainya di lapangan, Wēi Qiao menahan napas, matanya tajam memperhatikan. Ia melihat sosok berambut emas itu berdiri terpaku, matanya tak lepas dari Liang Riu.

Dengan cepat, Wēi Qiao bergerak. Ia melesat seperti bayangan, lalu bruk! — mendorong sosok itu ke pohon terdekat dan memutar tubuhnya.

Keduanya saling terkejut.

Chen Haoran (terperanjat, matanya melebar):

“Pu–Putri Wēi Qiao?!”

Wēi Qiao (mengerutkan dahi, dingin tapi lirih):

“Kenapa kau ada di sini?”

Chen Haoran terdiam. Rambut emasnya jatuh menutupi sebagian wajah, matanya mulai berkaca-kaca. Dengan suara bergetar ia menjawab:

Chen Haoran:

“Putri… aku… aku menyesal. Kata-kata yang kuucapkan tadi pada Liang Riu… terlalu kasar. Aku tidak bermaksud meremukkan hatinya. Aku hanya… hanya ingin dia bangkit lebih cepat. Tapi ternyata aku salah… aku menyakitinya.”

Wēi Qiao menarik napas panjang. Ia melonggarkan tangannya dari bahu Chen Haoran. Wajahnya sedikit melunak, namun suaranya tetap tegas.

Wēi Qiao:

“Haoran… penyesalan itu baik, tapi jangan ulangi. Kata-kata tajam lebih berbahaya dari pedang. Sekali kau gores, bekasnya tak akan hilang.”

Chen Haoran menunduk, bahunya gemetar menahan air mata.

Chen Haoran (lirih):

“Putri… aku benar-benar menyesal…”

Tiba-tiba suara berisik terdengar di kepala Wēi Qiao.

[Micro Bots]:

“Tuan, dataku menunjukkan: distribusi tenaga dalam Liang Riu kacau 68,3%. Jaringan ototnya hanya mampu bertahan 24 menit pada ritme ini.”

“Efisiensi gerakan? Nol besar. Dia hanya membuang energi. Dengan pola itu, dia tidak akan berkembang bahkan dalam tiga bulan.”

Wēi Qiao mengerutkan dahi, menahan sakit kepala.

Wēi Qiao – dalam hati: Kamu selalu saja ribut…

[Micro Bots]:

“Hei, aku tidak ribut. Aku hanya jujur. Tuan, kau lihat sendiri kan? Langkah kakinya seperti bebek pincang. Ayunan pedangnya? Terlalu lebar. Nafasnya? Hancur.”

“Kalau aku jadi gurunya, aku akan suruh dia berhenti sekarang juga, lalu ulang dari dasar.”

Wēi Qiao – dalam hati, ketus: Kamu pikir semua orang bisa belajar dengan angka-angkamu? Hidup tak sesederhana itu.

[Micro Bots] (suara seperti teman cerewet, setengah nyinyir):

“Ya ya, Tuan memang jago bicara. Tapi tubuh manusia tunduk pada batasan fisik. Kau bisa memotivasi sepuasmu, tapi kalau ototnya sobek, apa kata-kata bisa menjahitnya kembali?”

Wēi Qiao mendengus pelan. Tangannya refleks menekan pelipis, menahan denyutan di kepalanya.

Chen Haoran melihat itu, langsung panik.

Chen Haoran:

“Putri… wajahmu pucat. Kau baik-baik saja? Jangan-jangan… kau sakit?”

Wēi Qiao (pelan, menenangkan):

“Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku.”

(sejenak menatap Liang Riu, lalu melanjutkan)

“Lebih baik kau khawatirkan dia. Liang Riu sedang bertarung… bukan dengan pedang, tapi dengan dirinya sendiri.”

Chen Haoran menggigit bibirnya, menatap Liang Riu dengan mata penuh penyesalan.

Chen Haoran:

“Putri… apa yang harus kita lakukan? Aku tidak ingin dia semakin jatuh… tapi aku juga tidak tahu bagaimana membantunya.”

Wēi Qiao terdiam sejenak, lalu berkata pelan namun tegas:

Wēi Qiao:

“Jangan hentikan dia. Biarkan ia melewati batas dirinya malam ini. Jika dia berhasil, besok ia akan lahir sebagai orang yang berbeda. Tapi jika ia gagal…”

[Micro Bots] (langsung memotong, cepat):

“Tuan, jika gagal, maka kemungkinan 82% dia akan lumpuh sementara. Aku ulangi: lumpuh sementara. Kau mau taruh taruhan sebesar itu?”

Wēi Qiao – dalam hati, kesal: Diamlah. Tidak semua hal bisa diukur dengan persentase.

[Micro Bots] (sok akrab):

“Aku cuma bilang yang nyata, Tuan. Kau boleh sebut aku menyebalkan, tapi tuan tahu aku yang selalu benar.”

Wēi Qiao menutup matanya sebentar, lalu tersenyum tipis penuh getir. Ia kembali menatap Liang Riu yang terus berlatih dengan tubuh yang nyaris goyah.

Di sampingnya, Chen Haoran masih menunduk, berusaha menahan tangis. Ia berbisik lirih:

Chen Haoran:

“Putri… kumohon, jangan biarkan dia hancur.”

Wēi Qiao menoleh, menatap Chen Haoran dengan tatapan lembut namun tegas.

Wēi Qiao:

“Tenang saja, Haoran. Selama aku di sini, aku tidak akan membiarkan siapa pun hancur. Tidak Liang Riu… dan tidak juga kau.”

Embun semakin tebal, bulan semakin tinggi. Suasana hutan menjadi saksi tiga orang dengan tekad, penyesalan, dan harapan yang bertubrukan malam itu.

Ayunan pedang Liang Riu semakin kacau. Nafasnya memburu, tubuhnya dipenuhi keringat, bajunya basah, tangannya bergetar hebat. Suara whoosh dari setiap tebasan sudah tak lagi teratur, bahkan beberapa kali pedang hampir terlepas dari genggamannya.

Di bawah sinar bulan, terlihat jelas urat-urat di lengan dan lehernya menonjol. Napasnya tersengal.

Liang Riu (gertak gigi, lirih):

“Aku… tidak akan berhenti… Aku… akan buktikan… aku bisa…”

Tiba-tiba, langkahnya goyah. Tubuhnya terhuyung ke depan. Pedangnya nyaris jatuh ke tanah.

Chen Haoran (membelalak):

“Liang Riu!!”

Ia sontak maju beberapa langkah hendak menolong. Namun sebelum sampai, tangan halus namun kuat menahan lengannya. Itu tangan Wēi Qiao.

Chen Haoran (panik, suara pecah):

“Putri! Dia akan jatuh! Dia bisa melukai dirinya sendiri!”

Wēi Qiao (dingin tapi dalam):

“Biarkan dia.”

Chen Haoran terdiam, matanya gemetar menatap Wēi Qiao.

Chen Haoran:

“Tapi… kalau dia sampai—”

Wēi Qiao (memotong, tajam):

“Haoran. Jika kau menolongnya sekarang, maka semua tekadnya malam ini akan hancur. Dia harus jatuh… dan bangkit dengan kakinya sendiri. Itulah harga dari sebuah kekuatan.”

Chen Haoran terdiam, dadanya naik turun cepat. Air matanya menetes tanpa sadar.

Sementara itu, di dalam kepala Wēi Qiao…

[Micro Bots]:

“Tuan, data vital: jantung Liang Riu melonjak 181 denyut per menit. Otot betisnya sobek kecil 17%, pergelangan tangan kiri retak mikro.”

“Jika dia terus memaksakan diri, kemungkinan tumbang permanen 42%.”

Wēi Qiao – dalam hati: Aku tahu risikonya… tapi dia butuh ini.

[Micro Bots]:

“Butuh? Tuan, ini bukan latihan. Ini penyiksaan diri! Kau mau lihat dia mati di depanmu?”

Wēi Qiao – dalam hati (serius, tegas): "Tidak."

[Micro Bots] (suara jadi lebih pelan, seperti mengalah):

“…kau selalu keras kepala, Tuan. Tapi kali ini… aku harap kau benar.”

Liang Riu akhirnya jatuh berlutut, pedangnya menghunjam tanah. Bahunya naik turun hebat, matanya hampir tertutup. Namun di detik itu juga, dengan sisa tenaganya, ia kembali berusaha berdiri.

Liang Riu (gemetar, suaranya serak):

“Tidak… aku… tidak akan berhenti… Aku… akan berdiri… lagi…”

Chen Haoran menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis.

Chen Haoran (lirih, bergetar):

“Kenapa dia begitu keras kepala… kenapa dia rela hancur begini…”

Wēi Qiao menatap Liang Riu dengan tatapan dalam, di matanya ada sesuatu yang campur aduk: kekaguman, rasa iba, sekaligus harapan.

Wēi Qiao (lirih, pada Chen Haoran):

“Karena hanya dengan keras kepala itulah dia bisa hidup. Dunia tidak pernah memberi ruang bagi orang lemah.”

Chen Haoran terdiam. Ucapannya tercekat. Ia menoleh pada Wēi Qiao, seakan baru pertama kali melihat sisi keras dan bijaksana dari sang Putri.

Liang Riu akhirnya berhasil berdiri lagi meski tubuhnya gemetar hebat. Pedangnya terangkat tinggi, lalu jatuh lagi menghantam tanah. Tubuhnya ikut roboh bersamanya.

Bugh!

Suasana hutan hening. Hanya suara napas terputus-putus Liang Riu yang terdengar.

Chen Haoran lagi-lagi maju, tapi Wēi Qiao mengangkat tangan menghentikan. Kali ini suaranya lebih lembut, namun tetap kuat.

Wēi Qiao:

“Biarkan dia berbaring. Malam ini… bukan soal menang atau kalah. Tapi soal tekad yang tidak bisa dipatahkan.”

Chen Haoran memejamkan mata, air matanya jatuh membasahi pipi. Ia berlutut, menatap punggung Liang Riu yang tergeletak namun masih menggenggam pedangnya dengan erat.

Chen Haoran (lirih, penuh penyesalan):

“Maafkan aku, Liang Riu….”

Wēi Qiao berdiri di sampingnya, diam, matanya masih terpaku pada Liang Riu.

Dalam hati, ia berbisik:

Bangkitlah, Liang Riu… Buktikan pada dunia kalau mereka salah.

Sementara itu, Micro Bots di kepalanya menambahkan komentar terakhir.

[Micro Bots] (lirih, seakan serius kali ini):

“Tuan… jika dia bisa melewati malam ini… maka aku akan akui. Dia bukan hanya manusia biasa.”

Wēi Qiao tersenyum tipis, matanya berkilat di bawah sinar bulan.

Malam itu, hutan sunyi menjadi saksi awal lahirnya tekad baru—tekad seorang pemuda yang dipandang rendah, tapi berani mempertaruhkan segalanya.

1
aurel
hai kak aku udah mampir yuk mampir juga di karya aku
Nanabrum
Gila sejauh ini gw baca, makin kompleks ceritanya,

Lanjuuuuutttt
Mii_Chan
Ihhh Lanjuuuuutttt
Shina_Chan
Lanjuttt
Nanabrum
LANJUUUT THOOOR
Nanabrum
Uwihhh Gilaaa banget
Shina_Chan
Bagus, Tapi harus aku mau tunggu tamat baru mau bilang bagus banget
Gerry
karya nya keren, di chapter awal-awal udah bagus banget, semoga authornya bisa makin rajin mengupload chapter-yang bagus juga kedepannya
Gerry
Sumpaaah kereeeeen
Gerry
Gilaaakk
Teguh Aja
mampir bang di novel terbaruku 😁🙏🏼
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!