Reni adalah pemuda pekerja keras yang merantau ke kota, dia mengalami insiden pencopetan, saat dia mengejar pencopetan, dia tertabrak truk. Saat dia membuka mata ia melihat dua orang asing dan dia menyadari, dia Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidelse, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lyra-ku yang sempurna
Pagi harinya, Penginapan Alexa Noviert beraroma teh mahal dan bunga yang segar. Marlina Von Elemendorf tiba di suite Lyra dan Gilga, mengenakan jubah biru muda yang elegan. Gilga sudah berpakaian rapi, sementara Lyra duduk di sofa, bersiap untuk pelajaran Etiket.
Marlina memulai sesi dengan brutal.
"Kita tidak punya waktu, Lyra. Dalam tiga hari, kau harus tampil bukan hanya sebagai Archmage cilik, tetapi sebagai Nyonya Astrea-Elemendorf yang sempurna. Kau akan bertemu para Pangeran, Count, dan Duke yang akan mencoba mencungkil informasi darimu,"
kata Marlina, berdiri tegak di depan Lyra.
"Pertama, tatapan. Kau tidak boleh menatap mata mereka terlalu lama. Itu tantangan. Tataplah mereka di antara alis—terlihat menghormati tetapi menjaga jarak emosional. Sekarang coba."
Lyra mencoba, matanya yang tajam berusaha untuk melunak dan menjadi tenang, tetapi naluri Temporal Leap-nya selalu membuatnya waspada.
"Terlalu dingin, Lyra! Kau tampak seperti ingin membekukan mereka, bukan menyapa. Coba lagi,"
tegur Marlina.
Setelah beberapa kali mencoba memperbaiki postur, cara memegang cangkir teh, dan cara merespons pujian tanpa terlihat sombong, Lyra memutuskan untuk mengambil kendali percakapan.
Lyra meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi klik yang disengaja.
"Nenek,"
kata Lyra, menggunakan nada yang sangat formal dan serius, menirukan nada bicara ayahnya.
"Ada hal yang lebih penting daripada cara memegang cangkir teh."
Marlina memandangnya, terkejut dengan perubahan mendadak putrinya menjadi seorang politisi.
"Apa itu, Lyra?"
"Tingkat sihirku,"
kata Lyra.
"Aku telah menguasai sihir Distorsi Spasial tingkat tinggi dan Papa serta Mama sudah melatihku sebagai Archmage."
Lyra tahu, berdasarkan informasi yang ia simpan, Archmage adalah Tingkat sihir kedua, hanya di bawah Sage.
"Dan aku bangga karenanya!"
seru Marlina, tersenyum lebar.
"Tetapi itu adalah jebakan,"
potong Lyra.
"Jika aku masuk Akademi Elorick dan terdaftar sebagai Archmage pada usia 13 tahun, itu akan langsung membuatku menjadi target dua kali lipat. Aku akan menghadapi tantangan akademik yang tidak perlu, dan yang lebih penting, faksi lain akan segera mencoba merekrutku atau menghabisiku sebelum aku lulus."
Lyra mencondongkan tubuh sedikit.
"Valerius sudah membuktikan itu. Aku tidak ingin menjadi target yang bersinar terang."
Lyra menatap Marlina, meniru tatapan penuh perhitungan Neneknya.
"Nenek, aku ingin Nenek memastikan bahwa di semua dokumen pendaftaran, dan saat Hari Penyambutan, tingkat sihirku disembunyikan. Catatlah aku hanya sebagai Mage."
Mage adalah Tingkat sihir ketiga—tingkat yang luar biasa untuk anak usia 13 tahun, tetapi masih memberikan ruang bagi Archmage lain untuk meremehkannya.
Marlina menatap Lyra selama beberapa saat. Dia tidak membantah, dia tidak mempertanyakan kebohongan itu. Sebaliknya, senyum bangga muncul di wajahnya.
"Kau belajar dengan cepat, Lyra,"
puji Marlina, merasa puas.
"Pintar. Di Ibu Kota, kita menunjukkan 80% kekuatan kita dan menyembunyikan 20% sisanya. Kau ingin menyembunyikan 50% kekuatanmu?"
Marlina mengambil cangkir tehnya.
"Tentu saja. Itu adalah langkah politik yang sangat cerdas. Aku akan menghubungi Dewan Akademi sore ini. Lyra Astrea akan masuk sebagai Mage yang jenius, bukan sebagai Archmage yang mengancam."
"Itu akan memberimu waktu, dan waktu adalah senjata termahal di Sincorta. Sekarang,"
Marlina tersenyum puas,
"kembali ke etiketmu. Jika kau ingin menyembunyikan kekuatanmu, kau harus menyembunyikan amarahmu saat memegang cangkir teh!"
Sore harinya, setelah sesi Etiket yang melelahkan, Lyra memutuskan untuk meninjau Ibu Kota secara langsung. Strategi terbaik adalah pengamatan.
Lyra dan Gilga keluar dari Penginapan Alexa Noviert. Lyra tetap tampil formal:
jas formal yang dipadukan dengan jubah putih panjang yang elegan, membuatnya tampak menonjol di keramaian tetapi juga tidak melanggar aturan berpakaian bangsawan. Gilga, sebaliknya, tampak menentang etiket; ia hanya mengenakan kaos merah longgar yang memperlihatkan tato rune samar di lengannya, dan celana gelap—tampilan santai yang hanya bisa lolos karena ia adalah seorang Rabiot.
"Kita sekarang berada di Distrik Alexa, yang terletak di Middle Grail,"
jelas Lyra, mengingat informasi yang ia simpan. Distrik ini dipenuhi rumah-rumah bangsawan dan Archmage, dan Akademi Elorick tidak jauh dari sini.
Lyra menganalisis tata letak kota di benaknya:
* First Grail (Distrik Akari): Komersial.
* Fall Olympus (Distrik Sona): Hiburan.
* Middle Grail (Distrik Alexa): Bangsawan dan Akademi Elorick (tempat mereka berada).
* Heaven Grail: Petinggi Kerajaan Elemendorf.
Saat mereka berjalan, Distrik Alexa memancarkan kemewahan yang tenang, penuh dengan butik-butik mahal dan taman-taman kecil.
Tiba-tiba, Lyra dan Gilga mendengar tawa dan teriakan. Mereka melihat dua orang anak kecil, seorang laki-laki dan perempuan, berlari di trotoar.
"Kitty! Jangan lari!"
teriak anak perempuan itu.
Anak-anak itu sedang bermain dengan seekor kucing berbulu jingga yang lincah. Kucing itu, yang terkejut oleh kebisingan, melompat dari pelukan anak itu dan berlari kencang.
Anak laki-laki itu berhenti tepat di depan Lyra dan Gilga. Matanya yang polos menatap Gilga yang tinggi dan Lyra yang tampak seperti bangsawan.
"Tolong, Kakak!"
pinta anak laki-laki itu.
"Kucing kami lari! Tolong tangkap dia!"
Kucing itu telah berbelok tajam dan menghilang di antara dua bangunan.
Gilga tertawa, senang mendapat gangguan.
"Tentu saja, Nak. Tugas yang mudah."
Gilga bersiap untuk mengaktifkan Mana, tetapi Lyra menghentikannya dengan tatapan tajam.
"Jangan gunakan Mana. Kita sedang di Distrik Alexa,"
bisik Lyra, sambil tersenyum ke arah anak-anak.
"Ayo, Kakak Gilga. Kita bantu mereka."
Lyra, yang sebenarnya membenci gangguan, melihat ini sebagai peluang sempurna untuk menyelinap keluar dari Distrik Alexa tanpa dicurigai.
Mereka pun mulai mengejar kucing itu. Kucing itu sangat gesit, membawa mereka jauh dari area bangsawan yang rapi. Anak-anak kecil itu berlarian di belakang Lyra dan Gilga.
Pengejaran itu membawa mereka semakin jauh, sampai Lyra menyadari mereka sudah berada di perbatasan Distrik Sona (Fall Olympus), Distrik Hiburan yang lebih ramai dan liar.
Kucing itu, dengan naluri binatang, melompat dan menghilang ke dalam pintu bar yang terlihat suram, pintunya terbuka, dan di dalamnya terdengar musik yang keras serta gelak tawa yang gaduh.
"Masuk ke sana!"
teriak anak laki-laki itu.
Lyra menghela napas, menukar jubahnya dengan Mana Angin yang tebal, dan melangkah masuk ke dalam bar yang gelap dan berasap. Gilga mengikutinya, seringai kejam muncul di wajahnya.
Seketika mereka masuk, suasana berubah total. Cahaya remang-remang, bau alkohol yang tajam, dan suara keributan langsung menyelimuti mereka. Mereka dikelilingi oleh pria-pria berpenampilan kasar, pedagang, tentara bayaran yang sedang cuti, dan beberapa orang yang tampak mabuk.
Mereka dikelilingi orang mabuk.
Kucing itu sudah meringkuk di bawah meja, aman. Namun, para pelanggan bar kini mengalihkan perhatian mereka dari minuman ke dua bangsawan muda yang tiba-tiba muncul di sarang mereka.
Seorang pria besar dengan janggut tebal dan Mana kelas rendah yang kacau, menyeringai. Dia berjalan terhuyung-huyung ke arah Lyra, yang berdiri kaku dengan jubah putihnya yang mewah.
"Wah, wah, wah,"
kata pria itu, suaranya serak karena alkohol. Dia mengulurkan tangan yang kotor dan mencoba menyentuh pipi Lyra.
"Lihat siapa yang tersesat dari Middle Ring! Gadis cantik! Apakah Nona sedang mencari hiburan, ya?"
Pria itu menggoda Lyra dengan sentuhan yang tidak senonoh.
Gilga, yang berdiri di samping, seketika menghentikan senyumnya. Matanya yang merah menyala, dan tangannya sudah bergerak di balik punggung, siap menarik sabitnya.
"Aku akan mengurusnya, Lyra,"
desis Gilga, Mana-nya siap meledak.
Lyra tidak mengizinkannya. Lyra sudah terlalu sering melihat Gilga menggunakan kekerasan. Kali ini, ia akan menggunakan kekuatan politik dan sihir dinginnya sebagai Archmage yang tersembunyi.
Lyra melangkah maju, menjauhkan dirinya dari sentuhan pria itu. Ia menatap pria itu dengan tatapan yang sangat dingin, tatapan yang ia tiru dari Nenek Marlina saat menghukum pelayan yang ceroboh. Ia merapal Silent Step dan Stabilisasi Spasial dalam skala mikro di sekitar pria itu.
Pria itu tiba-tiba merasakan berat Mana yang tak terlihat menekannya, dan kakinya terasa kaku.
"Mundur,"
kata Lyra, suaranya tenang, tetapi dipenuhi otoritas yang mutlak.
"Atau aku akan memastikan kau tidak akan bisa berjalan keluar dari sini."
Lyra telah menekan pria pertama itu dengan Mana yang tak terlihat, menciptakan keheningan singkat di bar. Namun, suasana tegang itu segera dipecahkan.
Dari pojok ruangan, seorang pria lain yang jauh lebih besar dan tampak lebih mabuk, setelah meneguk habis sebotol wine murahan, berjalan ke arah Lyra dengan terhuyung-huyung. Matanya liar dan Mana-nya sangat kacau.
"Memangnya apa yang bisa dilakukan bocah seperti mu?"
tantang pria itu dengan nada mengejek, suaranya dipenuhi arogansi.
Pria itu menopang tubuhnya yang besar di atas meja, melirik Lyra dengan pandangan merendahkan.
"Kau pasti tersesat. Ikutlah denganku, aku akan membawamu ke kastil mewahku, mendapatkan kasih sayang dariku dan memanjakanmu, Nona muda."
Tiba-tiba, pria itu mengayunkan lengannya dan melempar botol wine kaca yang kosong itu ke arah kepala Lyra. Lemparan itu cepat dan berbahaya.
Lyra sudah siap merapal Temporal Leap mikro untuk mengelakkan diri. Namun, Gilga lebih cepat.
"TIDAK!"
teriak Gilga.
Dengan kecepatan kilat, Gilga menghadang botol itu menggunakan dadanya.
PRANGK!
Botol wine itu pecah menghantam dada Gilga. Kaos merah yang ia kenakan sedikit sobek di bagian dada, dan setetes darah terlihat merembes di kulitnya.
Bukan karena rasa sakit, tetapi karena harga diri dan pertahanan dirinya terhadap Lyra, amarah Gilga meledak. Mana-nya yang selama ini ia kendalikan dengan sangat hati-hati, kini memancar liar dalam aura merah tua. Gilga sangat marah karena mereka berani menyentuh Lyra, dan bahkan melukainya sedikit, meskipun itu hanya luka fisik kecil.
"Hei kalian orang-orang bejat!"
teriak Gilga, suaranya rendah dan mengancam, mematikan.
"Jangan berani-beraninya menyentuh Lyra-ku yang sempurna!"
Saat Mana Gilga meledak, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Pecahan botol wine kaca yang berlumuran darah Gilga di lantai, seketika diselimuti oleh aura merah tua. Pecahan kaca itu tidak lagi terlihat seperti pecahan kaca; mereka tampak seperti kristal darah beku. Pecahan itu terangkat, melayang di sisi Gilga, berputar perlahan, siap menjadi proyektil mematikan.
Pria mabuk yang melempar botol itu, dan semua orang di bar, seketika sadar. Ini bukan hanya pertarungan antara pemuda kaya. Ini adalah seorang Rabiot—seorang Archmage Darah yang sangat berbahaya—yang Mana-nya telah dilepaskan.
Gilga, dengan darahnya sendiri di dadanya, kini terlihat seperti dewa kematian. Matanya yang merah berkobar.
Lyra terkejut, bukan oleh bahaya, tetapi oleh kekuatan Mana Gilga. Gilga telah menyembunyikan kekuatan sejati yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.
"Gilga,"
desis Lyra, mencoba menenangkan Gilga sebelum ia membunuh semua orang di bar itu.
"Gilga, jangan!"
"Kau! Kau akan mati duluan!"
raung Gilga, menunjuk pria pelempar botol dengan tangan. Pecahan kaca berdarah itu segera meluncur, bersiap menembus tenggorokan pria itu.
Pecahan kaca berdarah itu melaju dengan kecepatan mematikan, hanya berjarak beberapa inci dari tenggorokan pria pelempar botol, yang kini wajahnya pucat pasi, sadar akan kematian yang mendekat.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang berat dan tegas memecah ketegangan yang dipenuhi Mana. Seorang pria berzirah lengkap, dengan lambang Sincorta di bahunya, muncul dari belakang kerumunan yang ketakutan.
"Hentikan semuanya!"
teriak penjaga itu dengan suara yang menggelegar, Mana-nya memancarkan aura perlindungan standar. Penjaga itu adalah anggota pasukan keamanan Distrik Sona, yang bertugas menjaga ketertiban.
Namun, yang membuat Lyra dan Gilga terkejut, penjaga itu tidak langsung menargetkan Gilga yang Mana-nya sedang meledak. Penjaga itu justru menunjuk Lyra yang berdiri rapi dengan jubah putihnya.
"Semuanya baik-baik saja di bar ini sebelum Nona datang dan merusak suasana!"
bentak penjaga itu, matanya penuh kecurigaan.
"Distrik Sona adalah tempat bagi orang-orang untuk bersantai, bukan untuk aksi Archmage sombong! Nona dan pria yang terluka itu, ikuti saya keluar!"
Lyra terkejut. Dia menyalahkan Lyra? Ini adalah Distrik Sona, tempat hiburan, yang berarti aturan dan etiket bangsawan Distrik Alexa tidak berlaku di sini. Penjaga itu memihak pelanggan lokal.
Gilga, yang amarahnya dialihkan oleh intervensi tak terduga ini, menghentikan proyektil pecahan kaca itu tepat di udara. Pecahan itu menggantung, meneteskan darah di tengah aura merah.
"Kau menuduh dia?!"
raung Gilga, menunjuk Lyra.
"Pria ini melempar botol ke kepalanya!"
Penjaga itu memasang ekspresi jijik.
"Tuan Muda, dengan segala hormat, area ini penuh dengan orang mabuk yang tidak tahu etiket. Nona ini berpakaian seperti bangsawan di Distrik Alexa dan masuk ke sarang kami. Jelas dia yang menyebabkan provokasi."
Lyra menyadari situasi itu: di Distrik Sona, penampilannya yang terlalu berkelas adalah provokasi.
Lyra tahu Gilga akan membunuh penjaga itu jika ia tidak segera bertindak. Lyra harus menghentikan Gilga dan melarikan diri sebelum bala bantuan Mana yang lebih kuat dari Distrik Alexa (yang pasti sudah mendeteksi Mana Gilga) tiba.
Lyra segera mengambil alih kendali. Ia mengaktifkan Stabilisasi Spasial di sekitar Gilga, membungkus amarahnya dengan ruang yang tenang, meredakan Mana-nya dengan cepat.
"Gilga! Cukup!"
perintah Lyra dengan suara yang tenang namun otoritatif.
Lyra melangkah maju, langsung menghadapi penjaga itu, mengabaikan Gilga dan pecahan kaca yang melayang.
"Maafkan kami, Penjaga,"
kata Lyra dengan nada sopan yang sempurna.
"Kami memang tersesat. Kami datang mencari kucing yang lari."
Lyra menunjuk ke anak-anak yang kini ketakutan di belakangnya.
"Kami akan segera pergi. Mohon maaf atas gangguan yang tidak perlu."
Lyra membungkuk singkat, lalu ia mengaktifkan Temporal Leap mikro. BLIP!
Lyra tidak melarikan diri. Dia bergerak ke belakang Gilga, meraih lengannya, dan—menggunakan Gilga sebagai jangkar—ia merapal Temporal Leap jarak menengah yang kuat, menyeret Gilga yang terluka dan masih marah keluar dari bar, menembus dinding belakang dengan sekali lompatan, dan muncul di gang gelap yang berjarak ratusan meter dari bar.
Mereka telah melarikan diri, tetapi perhatian telah ditarik. Lyra kini menatap dada Gilga yang berdarah, hatinya dipenuhi campuran ketakutan dan rasa bersalah.
"Kau gila, Gilga!"
desis Lyra, segera menarik Mana Angin dari Cincin Alpha-nya untuk menyembuhkan luka Gilga.
"Kau bisa ditangkap! Kenapa kau harus menahan botol itu dengan badanmu?"
Gilga terengah-engah, Mana Darahnya sudah surut, kembali menjadi Mana murni yang terkontrol. Ia tersenyum tipis.
"Itu karena..."
Gilga menunjuk ke jubah Lyra yang sempurna.
"...Aku tidak bisa membiarkan darah rendahan merusak jubah putih Archmage-ku yang sempurna, Lyra."
Lyra mendengar alasan Gilga dan seketika, darah mengalir deras ke wajahnya. Bukan karena amarah atau bahaya, tetapi karena kehangatan yang tak terduga dari pernyataan Gilga. Lyra selalu memprioritaskan logika dan strategi, dan kebodohan Gilga yang didorong oleh kesetiaan itu membuatnya benar-benar tidak siap.
"A-apa yang kau katakan?"
Lyra tergagap, wajahnya yang tadi pucat karena ketegangan kini memerah.
"Itu... itu tindakan yang bodoh! Pakaian bisa diganti! Kau hampir mati!"
Lyra memegangi keningnya sendiri, merasa pusing dan frustrasi karena harus berurusan dengan sepupunya yang menakutkan, kuat, tetapi bertindak dengan naluri yang tidak terduga. Lyra, sang ahli taktik Ruang-Waktu, selalu kalah dalam pertarungan emosi dengan Gilga.
"Darah tidak sebanding dengan etiket, Gilga! Kita sudah menarik perhatian yang tidak perlu! Sekarang Dewan pasti sudah tahu ada Archmage Darah di Distrik Sona!"
Lyra mencoba fokus pada rencana, tetapi sentuhan lembut Mana yang Gilga tunjukkan padanya membuat konsentrasinya buyar.
Tiba-tiba, Lyra merasakan sesuatu yang lembut dan berbulu di kakinya.
Lyra menunduk.
Itu dia. Kucing jingga yang menjadi penyebab seluruh kekacauan ini. Kucing itu meringkuk di kaki Lyra, mendongak dengan mata besar, seolah meminta maaf atas semua masalah yang ditimbulkannya.
Lyra dan Gilga saling pandang, ekspresi mereka bercampur antara terkejut, frustrasi, dan sedikit geli. Lyra menghela napas, kekesalannya mereda melihat makhluk kecil itu.
Lyra mengulurkan tangan dan menggendong kucing itu dengan hati-hati. Kucing itu mendengkur pelan, merasa aman di pelukan Lyra.
"Baik,"
kata Lyra, suaranya kembali datar dan strategis, mencoba mengabaikan Gilga yang tersenyum lebar melihat wajahnya yang memerah.
"Kita punya kucing. Kita sudah menarik perhatian. Sekarang kita harus kembali ke Distrik Alexa dan membuat alibi yang kuat sebelum Nenek Marlina menyadari kita hilang."
"Dan Gilga,"
tambah Lyra, menatap Gilga yang sedang menikmati proses penyembuhan Mana-nya.
"Lain kali, jika ada yang mencoba menyerangku, biarkan aku yang menggunakan Temporal Leap untuk mengelak. Aku tidak butuh pahlawan yang merusak kaos."
"Tidak janji,"
balas Gilga sambil menyeringai.
"Aku lebih suka melihatmu selamat daripada melihatmu berlari."