Harin Adinata, putri kaya yang kabur dari rumah, menumpang di apartemen sahabatnya Sean, tapi justru terjebak dalam romansa tak terduga dengan kakak Sean, Hyun-jae. Aktor terkenal yang misterius dan penuh rahasia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Mobil Hyun-jae berhenti di depan sebuah penginapan kecil di pinggir jalan pegunungan. Lampu papan kayu bertuliskan Hot Spring Guesthouse berkelap-kelip di bawah hujan. Uap hangat dari pemandian tampak tipis keluar dari sisi bangunan, bercampur dengan aroma belerang dan kayu basah.
Hyun-jae mematikan mesin. Suara hujan di atap mobil perlahan mereda, menyisakan desis pelan dari pemanas yang masih menyala. Ia menoleh ke arah Harin yang memeluk dirinya sendiri sambil menggigil. Rambut gadis itu menempel di pipi, dan matanya memerah karena dingin.
"Masuk dulu," ucap Hyun-jae akhirnya.
"Kau nanti masuk angin."
Mereka turun. Angin gunung menggigit kulit. Hyun-jae langsung menurunkan jaket tebalnya yang lain dalam mobil dan menyelimutkannya di bahu Harin. Gadis itu menatap, ragu.
"Oppa, nanti jaket oppa kotor."
"Diam. Aku tidak akan membiarkanmu sakit, besok masih harus kerja." potongnya.
Harin tersenyum masam. Kerja terus kerja terus pikirannya.
Mereka melangkah cepat melewati teras kayu menuju lobi kecil. Seorang wanita tua menyambut dengan senyum ramah, lalu menunduk dalam.
"Kami ingin menyewa dua kamar." kata Hyun-jae.
"Maaf, nak. Malam ini hanya tersisa satu kamar. Yang lain sudah penuh.
Harin menatap Hyun-jae, bibirnya setengah terbuka.
"Satu kamar?"
Hyun-jae mengembuskan napas berat.
"Ambil saja. Lebih baik daripada bermalam di mobil dalam keadaan begini."
Harin terdiam menunduk.
"Kami ambil kamar itu."
Wanita itu memberikan kunci, dan mereka menaiki tangga sempit menuju lantai dua. Begitu pintu kamar terbuka, hawa hangat langsung menyambut, ada tungku kayu kecil di sudut ruangan, sebuah kasur futon lebar di tengah, dan jendela kaca besar yang menghadap ke hutan berkabut.
Harin berdiri di ambang pintu, menatap ke dalam.
"Wah, kamar ini ... lumayan juga."
"Lumayan," jawab Hyun-jae sambil menutup pintu. Ia menatap dirinya dan Harin yang sama-sama berlumuran lumpur.
'Kita perlu mandi. Aku tanya dulu tempat pemandian air panasnya."
Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di area pemandian luar. Di balik tirai kayu bambu, kolam air panas beruap lembut di bawah atap setengah terbuka. Suara hujan masih terdengar jauh di luar sana. Batu-batu di sekeliling kolam tampak mengilap terkena uap.
Harin menyentuh air dengan ujung jari.
"Hangat sekali."
"Kau duluan. Aku tunggu di luar," kata Hyun-jae.
"Tunggu, kalau oppa kedinginan gimana?"
Hyun-jae menoleh separuh.
"Aku tidak selemah itu."
"Tapi aku nggak enak."
Hyun-jae berhenti dan menatapnya lagi.
"Apa kau ingin aku melihatmu telanjang di dalam?" alisnya bergerak naik turun.
Harin melotot.
"Nggak! Bu-! bukan itu maksud aku!" Serunya panik. Hyun-jae mencibir.
"Kalau begitu cepat. Jangan cerewet."
Beberapa menit berlalu. Dari balik tirai, terdengar cipratan lembut air dan suara Harin yang bergumam lega. Lega sekali rasanya. Setelahnya giliran Hyun-jae masuk. Ia melepas kemejanya yang berat karena air hujan dan menurunkan tubuh ke air panas itu. Sensasi hangat langsung menjalar, menenangkan otot-otot yang kaku.
Tak lama kemudian, tirai bergeser. Harin masuk perlahan, masih mengenakan pakaian dalam yang kini tertutup handuk besar dari penginapan. Wajahnya tampak ragu tapi matanya berani.
"Boleh aku ... di sini juga? Di luar terlalu dingin."
Hyun-jae menunduk, menahan napas.
"Terserah."
Mereka duduk di dua sisi berlawanan kolam. Uap menebal di antara mereka, tapi tatapan mereka sesekali bertemu. Wajah Harin merah muda, entah karena panas atau malu.
"Oppa..." katanya pelan.
"Apa wartawan-wartawan itu akan kembali lagi besok?" Ia bertanya tentang masalah tadi siang.
"Jangan pikirkan itu lagi. Aku yang akan mengurus semuanya." balasnya.
Mereka terdiam lagi. Hanya bunyi air dan desis uap yang terdengar. Lalu Harin menunduk, menggenggam tangan di pangkuannya.
"Oppa... waktu aku jatuh di atasmu tadi aku ... aku nggak sengaja.'
Hyun-jae mengangkat alis.
'Aku tahu. Aku tidak menyalahkanmu.'
"Tapi oppa marah?"
"Aku tidak marah." Ia menatap langsung ke matanya.
"Tapi perasaanku oppa marah."
"Berhentilah bicara. Kau cerewet sekali."
Harin terdiam. Wajahnya sedikit menekuk. Ketika ia mengangkat wajah, Hyun-jae masih menatapnya.
Tatapan mereka terkunci. Udara di antara mereka seolah ikut memanas. Harin menelan ludah.
Ya ampun, tampannya. Kenapa bisa setampan ini sih? Aku berendam bareng aktor terkenal astaga. Mimpi apa ini Hariin...
Harin memekik dalam hati.
"Apa yang kau pikirkan?"
"Oppa ganteng sekali!"
Harin buru-buru menutup mulutnya rapat-rapat dan berteriak dalam hati. Auww! Malu sekali. Kenapa harus keceplosan sih? Hyun-jae terkekeh.
"Aku tahu. Kalau kau mau tanda tanganku akan kuberikan."
Harin dengan cepat membalikkan badan tak mau menatap pria itu lagi. Hyun-jae yang melihatnya tersenyum lebar. Sangat lebar. Ah, menggemaskan sekali.
Beberapa saat setelah itu, mereka kembali ke kamar. Tubuh masih hangat, rambut sedikit lembap. Harin mengenakan kimono tipis yang disediakan penginapan, sementara Hyun-jae hanya mengenakan kaus putih dan celana panjang longgar.
Suasana kamar menjadi tenang. Di luar, hujan mulai berhenti. Cahaya api dari tungku memantul di wajah mereka. Harin duduk di tepi kasur, mengeringkan rambut dengan handuk. Hyun-jae mengambil pengering rambut yang disediakan, lalu mendekat. Tanpa mengatakan apa pun, ia membantu mengeringkan rambut Harin.
Harin menatapnya,
"Oppa, nggak per ..."
"Diam saja."
Gadis itu pun terdiam patuh.
Udara hangat dari pengering berembus pelan, menyibakkan rambut Harin yang panjang. Hyun-jae berdiri di belakangnya, tangannya sesekali menyentuh ujung rambut gadis itu. Harin bisa mendengar napas pria itu di belakang telinganya, tenang tapi berat.
"Sudah kering," bisik Hyun-jae setelah beberapa menit.
"Terima kasih," jawab Harin lirih. Ia berbalik, jarak mereka hanya sejengkal.
Mata mereka bertemu. Api di tungku berderak kecil. Tidak ada suara lain. Hyun-jae menatap wajah Harin lama, lalu menunduk sedikit. Hidung mereka hampir bersentuhan. Harin menahan napas, jantungnya berdetak keras.
Namun Hyun-jae berhenti di antara jarak itu. Ia menatap mata gadis itu sekali lagi, lalu berbisik,
"Apa aku tampan dari dekat?"
Harin kaget dengan pertanyaan itu. Wajahnya makin merah.
Hyun-jae tersenyum samar, lalu bangkit dan mematikan lampu utama. Cahaya tungku menjadi satu-satunya penerangan, memantulkan warna keemasan di seluruh ruangan. Ia berbaring di sisi kasur, memberi jarak.
"Aku tidak akan menggodamu lagi. Tidurlah. Besok kita harus kembali pagi-pagi."
Harin hanya mengangguk. Ia ikut berbaring, membelakangi Hyun-jae. Tapi detak jantungnya masih terlalu cepat untuk tidur.
Di belakangnya, Hyun-jae menatap punggung gadis itu dalam diam. Ia mengangkat tangannya setengah, seolah ingin menyentuh bahunya, lalu menurunkannya lagi.
"Selamat malam," bisiknya akhirnya.
Beberapa detik sunyi. Lalu suara pelan terdengar dari arah Harin.
"Selamat malam... oppa."
Hyun-jae tersenyum. Ia terus menatapi punggung Harin sampai matanya tertutup dengan sendirinya.
Kebenaran selalu terungkap pada akhirnya, akan muncul di atas kepalsuan bagai minyak di atas air.
Sekeras apa pun seseorang berusaha menyembunyikan atau menghentikannya.
Kebohongan hanyalah penundaan sementara dari sesuatu yang tak terelakkan..😭😭
buktikan pada dunia bahwa kamu bisa berdiri sendiri di atas kaki mu sendiri....💪
jangan menangis..