Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembunuh itu Mendatangi rumah Dante!!!
Begitu masuk lewat pintu depan apartemenku sepulang kerja hari senin itu, aku langsung tau ada yang tidak beres. Kamarku dimasuki orang.
Pintu tidak rusak, jendela tidak dicongkel dan tidak ada tanda-tanda vandalisme, tapi aku tau. Sebutlah indra keenam atau apa, terserah.
Pokoknya ada yang masuk kemari. Mungkin aku mampu membaui sisa feromon si penyusup di molekul udara. Tidak masalah bagaimana aku tau. Pokoknya tau saja. Ada orang masuk ke apartemenku tanpa izin saat aku di kantor.
Buat sebagian orang, mungkin bukan masalah besar. Namanya juga Shadowfall City. Orang pulang kerumah menemukan TV mereka hilang, juga perhiasan dan barang-barang elektronik.
Privasi di langgar. Tapi ini beda. Melihat sekilas, aku langsung tau tidak ada barang yang hilang.
Dan ternyata benar. Tidak ada yang hilang.
Malah bertambah.
Butuh beberapa menit mencari benda itu. Lazimnya orang kalau merasa kecurian pasti memeriksa hal-hal yang paling mungkin dicuri. Itu juga yang aku periksa.
Tapi tidak ada yang disentuh. Semua masih utuh... bahkan koleksi kecil kaca mikroskop berisi darah korban-korbanku di kotak kayu juga masih utuh.
Berikutnya kuperiksa daerah pribadi agar lebih yakin, kamar tidur, kamar mandi, lemari obat. Juga masih utuh. Namun ada atmosfer aneh di benda-benda itu, seolah masing-masing telah diperiksa, di sentuh dan dipindahkan dengan begitu hati-hati sampai tidak mengusik debu yang menempel.
Apa menariknya seorang Dante sampai ada yang ingin masuk hanya sekedar melihat-lihat? Tidak ada apa pun yang hilang atau rusak.
Bingung. Sama sekali tidak ada apa pun yang diusik.
Kenapa ada yang penasaran masuk rumah ini? Rasanya tidak ada yang istimewa, aku pastikan itu. Bertindak dan bertingkah normal. Jangan lakukan atau miliki apa pun yang memancing komentar. Ini aku patuhi.
Untuk apa repot-repot masuk tapi tidak mengambil apa pun, tidak melakukan apa pun, atau meninggalkan jejak? Aku memejamkan mata, bersandar pada kursi. Pasti khayalanku saja.
Akibat stres, kurang tidur dan terlalu mencemaskan karier Nadia. Satu tanda lagi bahwa aku beranjak sinting, dalam transisi halus dari sosiopat menjadi psikopat. Tidak lama aku bakal dijebloskan ke rumah sakit jiwa.
Entah kenapa perasaan ini begitu kuat. Aku coba menepis. Mencoba berpikir positif.
Tidak bisa. Aku menggelengkan kepala dengan kesal, lalu pergi ke dapur untuk minum air dingin dari kulkas. Di situlah dia.
Barang yang bertambah itu.
Aku berdiri bengong di depan kulkas. Entah berapa lama. Bengong seperti orang bodoh.
Di pintu kulkas sebelah atas, sebuah kepala boneka barbie ditempel dengan magnet hiasan buah. Aku tidak ingat punya beginian. Aku pasti ingat kalau punya.
Kusentuh dengan jari, benda itu bergoyang lembut, membenturi pintu dengan suara ketukan halus.
Tanganku bergerak sendiri membuka pintu freezer. Di dalamnya, di atas kotak es batu, ada sisa tubuh si Barbie dalam kondisi terlepas-lepas, namun disusun rapi membentuk tubuh utuh. Salah satu tangannya menggenggam mainan aksesori kecil, sebuah cermin dandan.
Lama aku pelototi dengan otak kosong, kututup pintu freezer. Aku jadi ingin berbaring menempelkan pipi ke permukaan lantai. Jemariku malah meraih memainkan kepala Barbie.
Aku kembali ke kursi. Tenggelam di sofa sambil memejamkan mata. Jika aku manusia normal, mestinya timbul perasaan marah, kesal, takut, paranoid dan murka karena privasi di langgar.
Tapi tidak. Aku malah merasa, apa ya? Lebih dari pusing. Penasaran atau bergairah?
Tidak diragukan lagi siapa yang telah masuk ke apartemenku.
Ini pasti pekerjaan si pembunuh. Seniman favoritku. Tidak penting bagaimana dia menemukan rumahku. Mencatat nomor mobilku kemarin malam saja sudah cukup.
Dia pasti menahan senyum melihat data diriku di layar komputer. Setelah itu tinggal menyelinap masuk, melihat berkeliling dengan hati-hati, lalu meninggalkan pesan.
Dan pesannya seperti itu, sebuah kepala boneka tergantung, sementara sisa potongan lain terbaring rapi di atas kotak es batu. Plus cermin sialan itu. Kesimpulannya memuncak ke satu titik.
Tapi apa?
Dia mau bilang apa?
Dia bisa meninggalkan apa saja atau tidak sama sekali. Pisau jagal penuh darah misalnya.
Tapi kenapa harus Barbie? Selain refleksi paling jelas bahwa ini merujuk ke korban terakhirnya, kenapa repot-repot menyampaikan padaku?
Apakah maknanya lebih dalam dan mengerikan dari dugaan atau tidak? Apakah berarti, aku mengawasi dan akan menghabisi kamu nanti?
Bagaimana dengan cermin itu? Adanya cermin kali ini pasti memberi makna lebih dari sekedar refleksi peristiwa truk berpendingin dan kejar-kejaran di jalur lintas.
Apa maksudnya?
Kenapa harus melihat diri sendiri? Aku tidak senarsis itu untuk bisa menikmati, setidaknya bukan soal penampilan fisik. Lagi pula, untuk apa aku melihat diri sendiri sementara yang aku inginkan justru melihat di pembunuh?
Sampai sini pun aku belum yakin. Mungkin tidak berarti apa-apa. Pesannya bisa jadi bermakna pribadi, aneh dan sakit.
Aku putuskan untuk tidak bertindak apa-apa. Menunggu dan melihat saja dulu. Juga tidak melapor ke kantor.
Mau melapor apa? Tidak ada yang hilang. Kecuali, "Ah, Kapten Jackson, saya pikir Anda harus tau bahwa seseorang baru saja menyusup apartemen saya dan meninggalkan kepala boneka Barbie di pintu kulkas."
Kedengarannya bagus. Pasti bakal langsung heboh di departemen. Mungkin Sersan Daniel berkenan menyelidiki secara pribadi dan akhirnya diizinkan mengembangkan bakat tersembunyi interogasi ala preman.
Atau mungkin aku bakal langsung masuk daftar Pengawasan Karyawan Bermental Tidak Stabil bersama Nadia sekalian, karena kasus sudah ditutup secara resmi.
Sungguh tidak ada yang perlu di katakan atau dijelaskan, karena aku sendiri juga tidak tau harus menjelaskan bagaimana. Jadi, dengan resiko siksaan di tulang rusuk, aku terpaksa juga tidak memberi tau Nadia.
Untuk alasan yang aku sendiri belum jelas, peristiwa kali ini aku masukkan sebagai masalah pribadi. Dengan menganggapnya pribadi seperti ini, masih membuka kemungkinan mendekati si pembunuh.
Setelah mengambil keputusan, aku merasa lebih ringan. Entah apa hasilnya, tapi aku siap menghadapi apa pun.
Aku berada dalam kondisi penuh kesiapan menghadapi kejutan apa pun.
Aku pikir begitu.
Aku baru tiba di apartemen, bersandar di kursi, merasa rileks. Tiba-tiba ponselku berdering. Kubiarkan saja. Aku ingin bernapas sejenak. Yang lain harus menunggu dulu.
Dua dering. Aku memejamkan mata. Mengambil napas dalam. Rileks. Tiga dering. Membuang napas.
Tidak lama, ada pesan masuk dari Abigail.
"Hai, Dante. Hmm... aku minta maaf, aku... Dengar, Dante, aku sungguh minta maaf. Aku pikir kamu bakal meneleponku, ternyata tidak. Aku jadi... aku ingin bicara. Aku sadar bahwa... maksudku... kamu bisa menelepon aku? Hmm... Kamu pasti taulah."
Aku jelas tidak tau.
Aku sama sekali tidak tau apa itu. Juga tidak tau bagaimana cara mencari tau. Apa yang sebenarnya yang hendak disampaikan Abigail?
Sejauh yang aku tau, saat mencium Abigail akibat dorongan mendadak dan tidak jelas tempo hari, aku telah melanggar perjanjian etika kencan yang kami setuju bersama.
Dari sudut pandang Abigail, ciuman itu setaraf dengan pembunuhan. Aku telah membunuh hubungan yang telah kami jalin sangat hati-hati dengan menjejalkan lidahku ke hatinya, mendorong sampai masuk jurang.
Buum! Matilah. Aku tidak memikirkan Abigail sejak itu. Menyangka hubungan kami sudah tamat gara-gara ketololanku sendiri.
Kenapa begitu ya? Apa dia mau menghukum? Mengejek dan mencela kebodohanku, memaksa memahami betapa fatal akibat perbuatanku?
Semua ini mulai membuat aku jengkel. Aku berputar-putar di Dalam apartemenku. Untuk apa aku memikirkan Abigail?
Tapi...
Aku kembali ke dapur, mencolek kepala Barbie. Hmm... perasaan apa yang muncul ini? Ingin bermain-main? Entahlah.
Kepala serasa mau pecah saking sumpek oleh rentetan peristiwa: pengakuan palsu tersangka bodoh, pelanggaran privasi oleh orang asing dan sekarang Abigail.
Kesabaran orang ada batasnya. Bahkan untuk manusia palsu macam aku. Aku menghampiri jendela, melihat keluar.
Bisikan itu datang lagi. Tidak berupa suara. Hanya perasaan kehadiran seolah ada yang memanggil nama. Tidak jauh. Sangat dekat dan makin dekat. Wajahku memanas.
Suara itu datang lagi. Lembut, sedikit di tepian telinga. Aku berbalik, meski tau tidak ada orang. Bukan telinga yang mendengar, tapi teman gelap dalam diriku.
Dibangkitkan dari bawah sadar oleh teman di luar sana, dan sang bulan.
Betapa banyak yang ingin aku sampaikan dan ingin aku ungkapkan, aku sadar waktunya salah. Aku jadi nekat. Mencoba melawan hasrat dengan segala daya upaya.
Aku menelepon Abigail.
"Oh, Dante. Aku cuma... aku cemas. Takut. Terima kasih sudah menelepon. Aku..." balasnya.
"Aku tau," meski tentu saja aku tidak tau.
"Bisakah kita... entah kamu sebut apa... Bisa kita ketemu nanti, sekedar... aku ingin sekali bicara."
"Tentu." Kami berjanji bertemu di rumahnya.
Setelah menutup telepon, selama setengah jam perhatianku sukses teralihkan sebelum bisik batin itu kembali menyelinap ke otak dengan tekanan bahwa malam ini harus jadi malam istimewa.
Berputar-putar di apartemenku dari kamar ke kamar, menyentuh semua benda sambil meyakinkan diri bahwa aku sedang mengecek ulang apakah ada barang yang hilang.
Tidak kuat berdiri, aku ambruk ke sofa dekat situ. Dan karena sofanya dekat meja yang ada komputenya, sekalian saja aku nyalakan komputer. Begitu nyala...
Tapi ini belum selesai. Aku belum siap.
Tidak masalah lagi sekarang. Siap atau tidak, tidak ada bedanya. Sesuatu dalam diriku jauh lebih siap.