NovelToon NovelToon
Ayo, Menikah!

Ayo, Menikah!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Romantis / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Cintapertama
Popularitas:957
Nilai: 5
Nama Author: QueenBwi

Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.

Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.

Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?

Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lima Belas

Seperti biasa, Arkan menjalani harinya dengan disiplin: kerja, rapat, tanda tangan dokumen, lalu kencan dengan tunangannya kalau sedang tak sibuk.

Pertanyaannya: apakah Arkan sudah benar-benar mencintai Elira?

Mungkin.

Kenapa mungkin?

Karena Arkan sendiri juga tidak yakin. Ia belum tahu, apakah perasaan itu benar cinta, atau hanya rasa penasaran campur efek dopamin dan kebanyakan kopi. Kalau hanya penasaran, ia tak akan menikah. Ia terlalu waras untuk membuat gadis secantik Elira menangis karena salah diagnosis rasa. Tapi kalau ini memang cinta… ya, sepertinya Arkan sudah tidak punya jalan keluar selain pasrah dan mencintai Elira habis-habisan.

Pria itu menghela napas, menyandarkan diri di kursi kerjanya yang mahal tapi tetap bikin pegal. Kenapa ia jadi tidak paham isi hatinya sendiri, sih?

Omong-omong, sudah dua hari ini Elira ada pemotretan di Bandung. Mereka masih rutin video call—kalau jaringan tidak rewel. Kadang cuma saling menatap tanpa bicara. Romantis? Tidak juga. Aneh malah. Pernah Elira ketiduran di tengah panggilan saat ngotot menemani Arkan lembur, lalu pagi-paginya ribut sendiri minta maaf karena “melanggar janji suci menemani Daddy kerja.”

Lucu. Sekaligus… menggemaskan.

Padahal, buat Arkan, cukup memikirkannya saja sudah bikin senyum.

Tunggu sebentar.

Arkan, apakah itu artinya kau—

Tok, tok.

Lamunannya ambyar. Di depan mejanya berdiri Ayana, dengan ekspresi seperti guru yang baru menangkap murid menyontek.

“Oh, Kak?”

Ayana mendengus. “Sudah kuduga kau melamun. Aku panggil dari tadi, telingamu dititip di mana?”

“Tidak ada…” sahut Arkan asal, lalu matanya menangkap sosok gadis kecil yang seperti mau sembunyi di balik Ayana.

“Oh, iya. Ini Salva, anak magang. Dia akan ditempatkan di bagianmu selama sebulan. Bimbing baik-baik, ya. Sip. Urusan selesai!” Ayana menjelaskan cepat tanpa jeda napas, lalu kabur meninggalkan dua manusia bingung itu.

Arkan refleks berseru, “Kak! Apa-apaan ini?!”

Dari jauh terdengar balasan datar, “Berisik! Aku sibuk.”

"Sibuk apa?! Kakak hanya menonton dari tadi!" kesalnya tapi Ayana mengabaikan.

Jadinya Arkan menatap si anak magang yang masih berdiri menunduk. Ini pertama kalinya dia jadi mentor. Dan entah kenapa gadis itu tampak seperti kelinci yang nyasar ke kantor.

“Jadi, namamu Salva?”

Gadis berambut pink pastel itu kaget dan mengangguk cepat. Daun telinganya merah muda lebih terang dari rambutnya.

“Kenalkan, aku Arkan. Kau boleh panggil aku Kak Arkan kalau mau.”

“Be-benarkah, Kak?” cicitnya.

Arkan tersenyum ramah. “Iya. Jadi, siap dibimbing olehku?”

Salva sedikit mendongak. Dan Arkan langsung sadar — oh, wajah gadis itu manis juga. Tapi belum ada apa-apanya dibanding Elira kalau sedang tersenyum sambil merajuk.

Nah, kenapa dia jadi membandingkan?

Sementara itu, Ayana yang tampaknya tidak sibuk tapi pura-pura sibuk melirik mereka diam-diam. Ia tersenyum tipis. Drama gratis di jam kerja, siapa yang nolak?

Lagipula, Elira tak bisa selalu bergantung padanya untuk menjauhkan Arkan dari “penggoda berkedok rekan kerja.” Sekali-kali biarkan gadis itu belajar berjuang, pikir Ayana.

***

“Daddy sedang apa?” suara Elira terdengar manja di telepon.

Arkan tersenyum. Ia menyesap kopi hitam sebelum menjawab. Jaringan Bandung lagi jelek, jadi mereka hanya bisa telepon suara.

“Sedang istirahat. Kamu bagaimana? Pemotretan sudah selesai?”

“Sama, Dad~ Lagi istirahat juga. Masih tiga hari lagi sebelum aku balik ke Jakarta. Lira rindu Daddy~”

“Daddy miss you too~” jawab Arkan dengan nada rendah menggoda.

Dan boom—di ujung sana, Elira hampir tersedak udara. Wajahnya langsung semerah cabai rebus. Kalau Arkan lihat, pasti sudah dia capture buat bahan ejekan sebulan penuh.

“Baby…”

“D-daddy~ hentikan! Jangan menggoda Lira~”

Arkan makin tergoda. “Kenapa? Bukankah itu yang kamu mau, hm, sayang?”

“Daddyyyy~!”

Tawa Arkan meledak. Reaksi gadis itu priceless. Kadang dia lupa, Elira memang paket lengkap: manis, nyebelin, dan 50% berbahaya.

“Baiklah, aku bercanda,” ujarnya akhirnya.

Dari seberang, terdengar dengusan. Arkan tahu persis: itu suara gadis ngambek.

“Daddy, aku tutup dulu ya. Pemotretan mau lanjut. Tapi ingat, Daddy jangan nakal. Kalau Lira dengar hal aneh-aneh, Daddy bakal Lira hukum~ paham?”

“Iya, iya. Kamu juga jangan nakal di sana. Kalem-kalem begini pun, aku bisa menghukummu loh~”

“Ugh, Daddy! Jangan ngomong gitu. Kalau aku jadi terangsang bagaimana?! Aku kan tidak bisa main sendiri!”

Arkan langsung tertawa keras.

Elira memang terlalu frontal untuk ukuran calon istri pengusaha.

“Oke, aku tutup ya sebelum kamu tambah kacau,” katanya, lalu menutup panggilan di tengah suara protes manja gadis itu.

Ponselnya menampilkan wallpaper: Elira memakai bando kelinci dan tersenyum cerah. Itu ide gila Elira juga—katanya biar Arkan “selalu ingat siapa pemilik hatinya.”

Masalahnya, mana bisa lupa kalau tiap hari gadis itu muncul di otak seperti iklan Youtube.

***

“A-anu, Ka-Kak Arkan…”

Suara kecil itu membuat Arkan mendongak. Salva berdiri di depan meja, membawa nampan penuh makanan.

“Bo-boleh duduk di sini?”

“Tentu. Silahkan, Salva.”

Gadis itu makin merah. Duduk dengan canggung. Nampannya seperti prasmanan kecil.

“Kau lapar atau memang hobi makan?”

“A-aku memang suka makan, Kak… Ka-kak terganggu ya? A-aku pindah aja…”

“Bukan begitu, santai saja. Makan yang banyak, biar kuat magang.”

Sambil bicara, Arkan mengusap lembut rambutnya. Refleks. Kebiasaan dari memperlakukan Elira.

Tentu saja Salva membeku seperti komputer hang. Setelah Arkan pergi untuk mengangkat telepon, gadis itu langsung menyentuh rambutnya pelan dan tersenyum bodoh.

Sepertinya aku jatuh cinta pada Kak Arkan… pikirnya dalam hati.

***

Di sisi lain, Ayana menatap adegan itu dengan ekspresi datar tapi jelas menikmati.

“Kak, kau akn diam saja? sepertinya anak magang itu baper,” komentar Raka sambil ngunyah sandwich.

Ayana mengangkat bahu. “Tidak. Seru. Lagi pula, ini bahan gosip berkualitas. Nih, lihat.” Ia menunjuk layar ponselnya, memperlihatkan foto-foto Arkan mengusap kepala Salva.

Raka hampir tersedak. “Astaga! Kakak tidak mungkin kirim itu ke Elira, kan?!”

Ayana cuma tersenyum licik. “Oops. Sudah terkirim~ Hehehe.”

“Kak Aya! Kalau Elira salah paham bagaimana?!”

“Itu urusan mereka. Lagipula, Arkan terlalu baik. Dia harus belajar tegas. Aku tidak mau adikku menikah dengan pria yang bahkan tidak paham perasaannya sendiri. Elira terlalu berharga untuk disakiti.”

Raka terdiam. Ia tahu Ayana bermaksud baik, tapi metode gadis itu… lebih cocok disebut teror lembut. Membuat orang sadar dengan cara bikin masalah dulu.

Kalau begini terus, bukan tidak mungkin yang lahir dari cinta mereka nanti malah… perpisahan.

Tapi Raka bukan pemeran utama. Tugasnya cuma jadi saksi dan penyelamat cadangan kalau situasi keburu chaos.

***

Sementara itu di Bandung…

Elira baru saja menyelesaikan pemotretan. Ia membuka ponsel, melihat pesan masuk dari Ayana. Dan di sana—foto Arkan tersenyum pada gadis lain. Mengusap kepala gadis itu.

Tangan Elira mencengkeram ponsel kuat-kuat.

Dadanya panas.

Matanya berair.

Ia marah.

Marah sekali.

Arkan tidak boleh tersenyum seperti itu pada siapa pun selain dirinya. Tidak boleh menyentuh siapa pun selain dirinya.

Arkan miliknya. Titik.

“Nona muda, Anda baik-baik saja?” tanya Farhan hati-hati.

Elira menoleh perlahan, suaranya dingin, “Farhan, kita pulang ke Jakarta. Sekarang.”

“Tapi, Nona, jadwal pemotretan—”

“Farhan. Apakah aku perlu ulangi perintahku?”

Farhan langsung tegak lurus seperti prajurit, menunduk sopan. “Baik, Nona muda. Saya mengerti.”

Dan di matanya, Farhan tahu: badai bernama Elira baru saja bangkit, dan targetnya satu— Arkan.

1
QueenBwi
💜
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!